Padukuhan Kwarasan di Kelurahan Nogotirto, Gamping, Sleman, bukan sekadar wilayah pemukiman yang padat. Di balik dinamika warganya, jauh sebelum itu padukuhan ini menyimpan kisah panjang yang menjadi cikal bakal identitasnya hingga hari ini.
Di tengah deretan hunian di sebuah perumahan, terselip struktur bangunan yang masih berdiri. Bukan sekadar reruntuhan, tembok tebal menyerupai bekas benteng yang berdiri kokoh itu dipercaya masyarakat setempat sebagai saksi bisu jejak masa lalu.
Warga setempat meyakini tembok tersebut merupakan bekas gedogan atau kandang kuda. Konon, gedogan itu merupakan milik Pangeran Diponegoro. Bekas bangunan ini juga tidak jauh dari kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo sekitar 2-3 kilometer ke arah utara.
"Di situ ada situs gedogan atau kandang kuda, diyakini punyanya Pangeran Diponegoro. Sampai hari ini, situs dan sekitarnya kami uri-uri (lestarikan)," kata Dukuh Kwarasan Nandar Martolo saat ditemui wartawan, Senin (1/12/2025).
Saat menyambangi lokasi, sisa tembok tersebut memang memancarkan aura masa lalu yang kuat. Nandar menjelaskan, struktur yang tersisa saat ini memiliki panjang sekitar 20 meter dengan tinggi mencapai 2,5 meter. Namun, yang paling mencolok adalah ketebalannya.
"Tebalnya itu hampir 60 sampai 70 sentimeter. Kalau kita lihat langsung, itu besar sekali. Bata-batanya masih asli, sisa masa lalu," ujar Nandar.
Menurut Nandar, tembok ini bukan berdiri sendiri. Berdasarkan penelusuran warga dan sisa pondasi yang ditemukan, area ini dulunya merupakan kompleks bangunan yang sangat luas.
"Kalau ditaksir kelilingnya mungkin sekitar 50 kali 50 meter. Pondasinya apa, kaya semacam paku buminya besar, lebih dari satu meter," tambahnya.
Salah satu narasi sejarah tutur yang menjadi bagian cerita turun temurun adalah bagian tembok yang rusak. Kerusakan ini bukan karena lapuk dimakan usia, melainkan diyakini sebagai jalur pelarian Pangeran Diponegoro saat dikepung Belanda.
"Menurut sesepuh kami, tembok itu dulu sempat dijebol oleh Pangeran Diponegoro untuk ngalih (meloloskan diri). Bentuk jebolannya hampir sama persis dengan yang ada di Tegalrejo," ujarnya.
Meskipun kini situs tersebut berada di dalam area pengembangan perumahan yang dibangun sejak pertengahan 1990-an, keberadaannya tetap dihormati.
"Kami tidak berani mengutak-atik. Bahkan saat pembangunan perumahan, area situs ini khusus dijadikan taman, tidak boleh ada bangunan rumah di atasnya," tegas Nandar.
Tak jauh dari tembok tebal tersebut, hanya berjarak sekitar 10 meter, terdapat sebuah sumur tua. Juga diyakini merupakan bagian dari gedogan tersebut.
Nandar bilang, sumur ini bukan sumur biasa. Bagi warga Kwarasan, air sumur ini memiliki kepekaan terhadap niat manusia.
Nandar menceritakan sebuah fenomena yang kerap menjadi legenda urban lokal. Air sumur tersebut konon akan berubah keruh dan berwarna coklat menyerupai lumpur jika diambil oleh orang yang memiliki kepentingan pribadi atau niat yang tidak tulus.
"Secara mistis, ada yang bilang kalau diambil orang yang punya kepentingan (pamrih), airnya jadi cokelat. Tapi kalau untuk kepentingan bersama, seperti acara Merti Dusun tahun 2023 lalu, airnya diambil tetap bening dan jernih," kisahnya.
Kini, tembok itu berdiri tenang dalam diam. Dia bukan hanya sekadar tumpukan bata merah, melainkan monumen yang menghubungkan generasi masa kini dengan perjuangan Pangeran Diponegoro di masa lalu. Bagi Nandar dan warga Kwarasan, menjaganya adalah bentuk penghormatan tertinggi pada sejarah.
Simak Video "Video RI Siapkan 15 Cagar Budaya untuk Diajukan Jadi Warisan Dunia UNESCO"
(afn/aku)