Kisah Pangeran Diponegoro, Santri Pejuang Kemerdekaan dari Tanah Jawa

Kisah Pangeran Diponegoro, Santri Pejuang Kemerdekaan dari Tanah Jawa

Hanif Hawari - detikHikmah
Senin, 18 Agu 2025 16:00 WIB
Pangeran Diponegoro
Foto: Ilustrasi Pangeran Diponegoro (Dok. Istimewa)
Jakarta -

Pangeran Diponegoro merupakan salah satu pahlawan nasional yang memiliki peran besar dalam melawan penjajahan Belanda di tanah Jawa. Sosoknya dikenal tegas, berani, sekaligus religius sehingga meninggalkan jejak perjuangan yang menginspirasi hingga kini.

Putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III ini lahir dengan nama Raden Mas Ontowiryo pada 11 November 1785 di Yogyakarta. Ia dikenal luas karena memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa, sebuah perlawanan terbesar yang pernah dihadapi Belanda selama masa kolonial.

Selain keberaniannya dalam menghadapi penjajah, Pangeran Diponegoro juga dikenal dengan kehidupan spiritualnya. Diketahui, beliau adalah seorang santri dan mempelajari agama Islam secara mendalam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perjuangan dalam Perang Diponegoro

Dirangkum dari laman Direktorat SMP Kemdikbud, Perang Diponegoro merupakan salah satu perlawanan terbesar rakyat Jawa terhadap penjajahan Belanda pada abad ke-19. Perang ini dipimpin langsung oleh Pangeran Diponegoro yang dikenal sebagai sosok religius sekaligus pejuang.

ADVERTISEMENT

Penyebab utama pecahnya perang adalah campur tangan Belanda yang semakin dalam terhadap urusan kerajaan Yogyakarta. Selain itu, rakyat Jawa juga menderita karena penyalahgunaan tanah oleh penduduk asing, seperti orang-orang Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman.

Pangeran Diponegoro kemudian menggalang kekuatan dengan mengandalkan dukungan dari rakyat. Ia menerapkan pajak Puwasa agar petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan memenuhi kebutuhan logistik perang.

Kemarahannya semakin memuncak ketika Belanda hendak membangun jalur rel kereta api yang melewati makam leluhurnya. Hal ini dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap budaya dan tradisi Jawa.

Setelah situasi memanas, Pangeran Diponegoro berpindah ke Goa Selarong di Bantul yang kemudian dijadikan markas besar perjuangan. Ia menempati Goa Kakung bersama pendamping setianya, Raden Ayu Retnaningsih.

Dari Goa Selarong inilah strategi perang gerilya dijalankan untuk melawan Belanda. Rakyat Jawa dari berbagai lapisan, mulai dari petani hingga bangsawan, ikut berpartisipasi memberikan dukungan.

Perang Diponegoro berlangsung selama lima tahun dengan kekuatan yang semakin meluas. Pangeran Diponegoro bahkan berhasil menarik dukungan dari 15 pangeran, bandit profesional, hingga tokoh agama seperti Kyai Mojo.

Belanda yang kewalahan kemudian menerapkan strategi sistem benteng untuk mengepung dan memutus jalur logistik pasukan Diponegoro. Pada 1829, beberapa tokoh penting seperti Kyai Mojo, Pangeran Mangkubumi, dan Sentot Prawirodirjo tertangkap atau menyerah.

Pada 28 Maret 1830, Jenderal De Kock akhirnya berhasil menjebak Pangeran Diponegoro di Magelang. Dengan syarat keselamatan para pengikutnya, Diponegoro memilih menyerahkan diri.

Setelah ditangkap, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado lalu dipindahkan ke Makassar hingga akhir hayatnya pada 8 Januari 1855 di Benteng Rotterdam. Meski berakhir dengan kekalahan, perjuangannya meninggalkan warisan semangat perlawanan terhadap penjajahan di tanah Jawa.

Pernah Menjadi Santri

Sisi lain, Pangeran Diponegoro juga merupakan seorang santri yang mendalami ajaran Islam dan menjadikannya sebagai landasan dalam perjuangannya melawan penjajah.

Menurut sejarawan Peter Carey dalam bukunya Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855, disebutkan bahwa Pangeran Diponegoro pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Gebang Tinatar, Ponorogo, yang diasuh oleh Kiai Hasan Besari.

Kedalaman ilmu agama yang dimilikinya membentuk pribadi Diponegoro sebagai Muslim sejati yang memegang teguh ajaran Islam. Ia dikenal sebagai seorang ahli dzikir, pengamal thariqah sehingga perjuangannya tidak hanya bermuatan politik tetapi juga spiritual.

Dalam memimpin perlawanan, Pangeran Diponegoro menjadikan jihad sebagai landasan moral untuk melawan penindasan dan ketidakadilan penjajah Belanda.

Perang yang ia pimpin tidak sekadar perjuangan fisik, tetapi juga dianggap sebagai bentuk pengabdian kepada Allah dan pembelaan terhadap agama serta Tanah Air.

Bukti kuat identitas santrinya dapat dilihat dari peninggalannya berupa Al-Qur'an, tasbih, dan kitab kuning Fath al-Qarib yang bermazhab Syafi'i, kitab yang umum dipelajari di pesantren. Dari peninggalan ini jelas terlihat bahwa nilai-nilai keislaman selalu menjadi pegangan hidupnya, termasuk dalam mengambil keputusan penting di medan perang.




(hnh/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads