Gerhana Matahari merupakan salah satu fenomena yang ramai diperbincangkan masyarakat Indonesia. Tahukah kamu bahwasanya orang Jawa punya pemaknaan khusus terkait peristiwa ini?
Sebelum mendalami mitos atau kepercayaan Jawa beserta tradisinya, ada baiknya detikers mengetahui apa itu gerhana terlebih dahulu. Dengan begitu, kamu punya dasar pemahaman yang kuat untuk menggali lebih dalam.
Dalam bahasa Inggris disebut solar eclipse, gerhana Matahari terjadi tatkala Bulan 'mengerdilkan' Matahari, dilansir Oregon State University. Maksudnya, Bulan berada di posisi antara Bumi dan Matahari. Alhasil, sinar Matahari terhalang masuk Bumi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Total, ada empat jenis gerhana Matahari, yakni sebagian (parsial), cincin, total, dan hibrida. Ketika gerhana terjadi, Bumi jadi gelap atau minimal, tidak seterang biasanya, tergantung jenis gerhana.
Bagi orang Jawa, kejadian ini memiliki arti mendalam yang pada gilirannya melahirkan mitos-mitos. Belum tahu? Simak pembahasan ringkas mengenai mitos gerhana Matahari menurut orang Jawa dan tradisinya di bawah ini!
Mitos Gerhana Matahari Menurut Kepercayaan Jawa dalam Primbon
Keyakinan orang Jawa akan makna gerhana Matahari bisa ditemukan dalam Primbon. Kitab serbaguna ini berisi panduan hidup sehari-hari sesuai falsafah Jawa. Di dalamnya, ada pembahasan seputar hari baik hingga tanda kejadian.
Dalam Kitab Primbon Jawa Serbaguna oleh R Gunasasmita, pemaknaan gerhana Matahari didasarkan pada bulan terjadinya. Bukan bulan-bulan Masehi atau Hijriah, melainkan bulan kalender Jawa Islam buatan Sultan Agung. Berikut rinciannya:
- Sura: Akan ada banyak masalah dan banyak orang melalaikan kewajibannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Sapar: Harga kebutuhan sehari-hari akan melambung. Musim kemarau panjang akan datang sehingga mengakibatkan kurangnya pasokan air.
- Rabiul Awal: Badai yang menyebabkan tanaman rusak, orang meninggal, dan wabah penyakit akan datang.
- Rabiul Akhir: Masa-masa susah dengan banyak kejahatan merajalela bakal terjadi.
- Jumadil Awal: Akan terjadi segudang permasalahan di masyarakat. Bisa juga dimaknai sebagai pertanda hujan beserta petir yang mengakibatkan banjir.
- Jumadil Akhir: Masa-masa bahagia dan kemakmuran.
- Rajab: Akan terjadi perang yang menyebabkan penderitaan. Di samping itu, kemunculan orang jahat dan naiknya harga kebutuhan sehari-hari juga diyakini akan terjadi.
- Ruwah: Gerhana pada bulan ini menjadi pertanda perselisihan antara pemimpin dengan rakyatnya.
- Puasa: Akan datang kebahagiaan. Namun, penyakit yang juga mengintai perlu diwaspadai.
- Syawal: Akan datang masa-masa susah karena penyakit. Selain itu, juga diyakini bakal terjadi perselisihan dan saling curiga antarpejabat.
- Zulkaidah: Timbul fitnah dalam masyarakat sehingga perlu bertindak dan bertutur kata dengan hati-hati.
- Besar: Gerhana menjadi pertanda masa kebahagiaan dengan harga kebutuhan pokok murah dan terjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Penafsiran lain dimasukkan oleh Miswanto dalam bukunya, Wariga dan Primbon: Memahami Pertanda Kehidupan. Melalui buku tersebut, pemaknaan gerhana Matahari dibedakan berdasar sasih terjadinya:
- Kasa: Banyak angin ribut, banyak fitnah, jurit bertentangan.
- Karo: Tuhan menganugerahkan sandang pangan.
- Katiga: Banyak keributan, orang lupa kepada Tuhan.
- Kapat: Banyak angin ribut, jarang hujan, jarang padi dan beras.
- Kalima: Banyak angin tofan besar, tanaman banyak rusak, banyak orang mati, pembesar kesusahan.
- Kanem: Banyak penjahat, orang kaya susah, orang miskin berpindah.
- Kapitu: Banyak guruh halilintar, banjir besar, banyak yang hancur.
- Kawulu: Selamat, tidak ada perkara.
- Kasanga: Ada perang, banyak penjahat, paceklik, tanaman tak jadi.
- Kadasa: Krisis ekonomi, raja atau pemerintah bertentangan.
- Desta: Semua sehat, tetapi ada keributan atau kekacauan.
- Sada: Banyak angin topan, pembesar bertentangan, banyak penyakit atau orang mati.
Mitos Gerhana Matahari: Akibat Ulah Batara Kala
Selain mitos di atas, masyarakat Jawa percaya bahwa gerhana Matahari maupun Bulan disebabkan ulah Batara Kala. Dijelaskan dalam buku Mitologi Jawa oleh Drs Budiono Herusatoto bahwasanya Matahari ditelan oleh Batara Kala.
Karenanya, Bumi menjadi gelap gulita padahal masih siang hari atau biasa dikenal sebagai gerhana Matahari. Setelah diperingatkan oleh Batara Guru dan Narada, Batara Kala memuntahkan sang surya. Agar tidak mengulangi kesalahan, Batara Kala diberi daftar makhluk yang boleh dimangsanya.
Meski begitu, Batara Guru masih menyangsikan kebrutalan Batara Kala. Oleh karena itu, Batara Wishnu diutus untuk mengawasi tingkah lakunya. Bersama Batara Wishnu, sejumlah pihak turut mendampingi, seperti Dewi Sri dan Batara Narada.
Dilihat dari laman NU Online, Batara Kala dikisahkan menelan Batara Surya (Dewa Matahari) dan Batara Soma (Dewa Bulan) bukan karena kesalahan, melainkan dendam. Oleh karena itu, ketika gerhana Matahari, masyarakat beramai-ramai memukul lesung agar Batara Kala memuntahkan Matahari atau Bulan.
Tradisi Orang Jawa Saat Gerhana Matahari
Ada banyak tradisi saat Gerhana Matahari yang sampai sekarang masih hidup di tengah masyarakat Jawa. Beberapa di antaranya adalah:
1. Bancakan Sega Ulih untuk Wanita Hamil
Dirujuk dari Jurnal Kejawen berjudul 'Tradisi Bancakan Sega Ulih untuk Wanita Hamil di Desa Ngadirejo, Temanggung' oleh Syifaiyah dan Doni Dwi Hartanto, tradisi ini dilakukan setiap terjadi gerhana, baik Bulan maupun Matahari.
Tujuan Bancakan Sega Ulih adalah menyelamatkan bayi yang masih dalam kandungan agar selamat dari ancaman Batara Kala. Tradisi satu ini umumnya bersifat pribadi dan tidak melibatkan banyak orang.
Prosesi Bancakan Sega Ulih dimulai dengan membangunkan jabang bayi. Caranya adalah menepuk-nepuk perut ibu hamil. Kemudian, sang ibu pergi menanak nasi gurih yang enak bersama bermacam lauknya. Saat gerhana berlangsung, ibu hamil mandi dengan tujuan menyucikan diri. Terakhir, nasi dan lauk yang sudah dipersiapkan sebelumnya dimakan bersama-sama.
2. Memukul Hasil Panen
Tradisi lain saat gerhana Matahari adalah memukul hasil panen yang dilakukan oleh penduduk Desa Ngaluran. Tujuan kegiatan memukul-mukul ini adalah agar tanaman atau hasil panen tidak kaget dengan fenomena alam yang sedang terjadi.
3. Menabuh Kentungan
Nurul Mufidah dkk dalam tulisan bertajuk Peristiwa Gerhana Matahari dan Bulan Perspektif Budaya dan Ilmu Falak menerangkan tradisi lain. Di Desa Mojo, Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, ada tradisi menabuh kentungan.
Tujuannya tak lain tak bukan adalah menangkal makhluk jahat yang akan datang. Selain menabuh kentungan, ada juga ritual mengetuk-ngetuk ibu jari saat gerhana dengan tujuan yang sama.
Selain kedua ritual di atas, wanita hamil diminta bersembunyi di bawah meja atau berdiam dalam kamar selama gerhana berlangsung. Hal ini dilakukan demi mencegah raksasa memangsa janin yang tengah dikandung. Bila dilanggar, ditakutkan janinnya meninggal atau terlahir cacat.
Nah, demikian sekilas tentang mitos gerhana Matahari dalam kepercayaan Jawa dan tradisinya. Semoga bisa menambah pengetahuanmu seputar kekayaan budaya Indonesia, ya!
(sto/apu)
Komentar Terbanyak
Kebijakan Blokir Rekening Nganggur Ramai Dikritik, Begini Penjelasan PPATK
Akhir Nasib Mobil Vitara Parkir 2,5 Tahun di Jalan Tunjung Baru Jogja
Heboh Penangkapan 5 Pemain Judol Rugikan Bandar, Polda DIY Angkat Bicara