Mengenal Tradisi Rebo Wekasan, Upacara Adat Masyarakat Jawa Penuh Makna

Mengenal Tradisi Rebo Wekasan, Upacara Adat Masyarakat Jawa Penuh Makna

Ulvia Nur Azizah - detikJogja
Rabu, 28 Agu 2024 09:57 WIB
Upacara adat Rebo Wekasan di Pleret, Bantul, Selasa (20/9/2022).
Ilustrasi upacara Rebo Wekasan. Foto: dok. detikJateng
Jogja -

Pada bulan kedua penanggalan Jawa, yaitu Sapar, terdapat satu tradisi yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa. Nama tradisi tersebut adalah Rebo Wekasan. Apa makna dari tradisi tersebut?

Dirangkum dari laman resmi Dinas Kebudayaan Provinsi DIY serta Warisan Budaya Takbenda Indonesia, Rebo Wekasan adalah sebuah upacara adat yang diadakan di Desa Wonokromo, Kecamatan Plered, Kabupaten Bantul. Upacara ini dilaksanakan pada hari Rabu terakhir di bulan Sapar, yang juga dikenal sebagai bulan Safar.

Nama 'Rebo Wekasan' atau 'Rebo Pungkasan' secara harfiah berarti 'Rabu Terakhir', mengacu pada waktu pelaksanaan upacara. Apakah tujuan dari upacara ini?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tujuan Tradisi Rebo Wekasan

Tujuan utama dari Rebo Wekasan adalah untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan sebagai bentuk tolak bala atau usaha untuk menolak segala malapetaka. Upacara ini juga merupakan bentuk penghormatan kepada Kyai Faqih Usman, tokoh spiritual yang dipercaya memiliki kemampuan menyembuhkan penyakit dan memberikan berkah.

Dalam upacara ini, terdapat berbagai kegiatan seperti arak-arakan lemper raksasa, pasar malam, dan pengajian akbar. Biasanya, masyarakat juga melakukan ritual mandi di tempat-tempat tertentu seperti Kali Opak dan Kali Gajahwong, yang diyakini dapat membawa berkah dan menghindarkan diri dari bahaya. Rebo Wekasan merupakan tradisi yang dilestarikan hingga kini sebagai bagian dari budaya lokal dan kepercayaan masyarakat Wonokromo.

ADVERTISEMENT

Mitos Rebo Wekasan dalam Beberapa Versi

Terdapat tiga versi mitos tentang Rebo Wekasan yang dipercaya oleh masyarakat. Mari simak mitos tersebut satu per satu, Dab!

1. Versi I

Rebo Wekasan dimulai pada tahun 1784 dan masih dilaksanakan hingga kini. Pada masa itu, Kyai mBah Faqih Usman, yang dikenal sebagai Kyai Wonokromo Pertama atau Kyai Welit, sangat terkenal karena ilmu agama dan pengobatannya.

Masyarakat Wonokromo percaya bahwa Kyai mBah Faqih bisa menyembuhkan penyakit dengan cara disuwuk, yaitu membacakan ayat Al-Qur'an pada air dan meminumkannya kepada pasien. Ketika pagebluk melanda Wonokromo, banyak orang datang untuk meminta obat dan keselamatan. Karena keramaian, Kyai mBah Faqih memutuskan untuk menyuwuk telaga di pertemuan Kali Opak dan Kali Gajahwong.

Berita tentang Kyai mBah Faqih sampai ke Sri Sultan HB I, yang kemudian memuji ilmunya. Setelah Kyai mBah Faqih meninggal, masyarakat percaya bahwa mandi di telaga tersebut bisa menyembuhkan penyakit dan mendatangkan berkah setiap Rebo Wekasan.

2. Versi II

Rebo Wekasan juga terkait dengan Kraton Mataram dan Sultan Agung. Menurut buku Dewanto, upacara ini sudah ada sejak tahun 1600. Pada masa Sultan Agung, Mataram terkena pagebluk. Sultan Agung bersemedi dan menerima wangsit bahwa wabah bisa diatasi dengan tolak bala.

Dia memanggil Kyai Sidik dari Desa Wonokromo untuk membuat rajah dengan tulisan Arab. Air yang mengandung rajah tersebut digunakan untuk menyembuhkan penyakit. Karena permintaan banyak, Sultan Agung memerintahkan agar sisa air rajah dituangkan di pertemuan Kali Opak dan Kali Gajahwong. Masyarakat mandi di sana dengan harapan mendapatkan berkah dan menyembuhkan berbagai masalah.

3. Versi III

Cerita Rebo Wekasan juga berkaitan dengan bulan Sura dan Sapar, yang dianggap penuh bahaya. Masyarakat meminta bantuan kyai untuk menolak malapetaka. Kyai Muhammad Faqih dari Desa Wonokromo, juga dikenal sebagai Kyai Welit, membuat rajah dengan tulisan Arab sebagai tolak bala. Rajah tersebut dimasukkan ke dalam air untuk mandi.

Karena permintaan yang banyak, Kyai Welit memutuskan untuk memasang rajah di pertemuan Kali Opak dan Kali Gajahwong. Masyarakat mandi di sana setiap Rebo Wekasan bulan Sapar, berharap mendapatkan keselamatan dari malapetaka.

Upacara Tradisi Rebo Wekasan

Penasaran seperti apakah upacara yang dilakukan oleh masyarakat pada momen Rebo Wekasan? Berikut ini penjelasannya.

1. Waktu dan Lokasi Upacara

Upacara Rebo Wekasan di Desa Wonokromo diadakan setahun sekali pada hari Selasa malam Rabu di minggu terakhir bulan Sapar. Pemilihan hari ini dikaitkan dengan pertemuan Sultan Agung dan Kyai Faqih pada waktu tersebut.

Awalnya, upacara ini berlangsung di tempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong. Namun, karena keramaian yang mengganggu ibadah di masjid, keramaian dan pasar malam dipindah ke Lapangan Wonokromo, depan balai desa, atas perintah Lurah Wonokromo.

2. Penyelenggaraan Upacara

Dulu, upacara ini diorganisir oleh masyarakat Wonokromo secara swadaya. Namun, mulai tahun 1990, upacara dikoordinir oleh aparat desa dengan kepala desa sebagai ketua panitia. Sebelumnya, biaya upacara hanya untuk modal jualan lemper dan membeli bunga tabur. Sekarang, biaya diperoleh dari sewa tempat pasar malam, dana dari Dinas Pariwisata, dan swadaya masyarakat.

3. Peralatan Sesaji dan Makna

Peralatan upacara yang awalnya digunakan begitu sederhana, seperti botol atau kaleng untuk mengambil air dan bunga sebagai sesaji. Kini, peralatan lebih beragam, biasanya terbuat dari bambu. Lemper yang diarak menjadi simbol pengingat bahwa Sultan Agung menyukai makanan ini. Peralatan seperti tempat menggotong lemper dan tempat membawa gunungan dibuat dari bambu.

4. Prosesi Upacara

Seminggu sebelum puncak acara, stan-stan permainan seperti ombak banyu dan trem serta pasar malam hadir di Lapangan Wonokromo. Pasar malam mirip sekaten, dengan penjual pakaian, makanan, dan mainan. Lemper menjadi makanan khas yang dijual.

Pada tahun 1990, puncak acara adalah kirab lemper raksasa, ukuran 2,5 meter dengan diameter 45 cm, yang diarak dari Masjid Wonokromo ke Balai Desa sejauh 2 km. Kirab diawali dengan barisan prajurit Kraton Ngayogyakarta, disusul lemper raksasa yang diusung empat orang, serta lemper ukuran kecil dan kelompok kesenian lokal.

Setelah kirab, lemper raksasa dipotong oleh pejabat tinggi di balai desa dan dibagikan kepada tamu undangan serta pengunjung. Kekurangan lemper raksasa diisi dengan lemper biasa yang disiapkan panitia. Gunungan juga dipotong dan dibagi-bagikan.

Setelah acara selesai, stan-stan tetap buka selama seminggu. Mandi di tempuran tidak lagi dilakukan karena kedalaman kali lebih dari satu meter dan adanya bendungan di sekitarnya. Acara ini dikenal sebagai pengajian akbar atau mujahadah akbar yang diadakan pada Selasa malam Rabu di bulan Sapar.

Itulah penjelasan lengkap mengenai tradisi Rebo Wekasan yang dikenal oleh masyarakat Jawa. Semoga bermanfaat!




(par/rih)

Hide Ads