Jejak Ki Ageng Wanabaya atau Ki Ageng Mangir masih banyak ditemukan di Desa Mangir yang berada di wilayah Bantul. Desa Mangir yang eksis sejak era Kerajaan Majapahit ini kini masuk dalam Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul.
Salah satu jejak Ki Ageng Mangir bisa ditemukan di Petilasan Ki Ageng Mangir Wanabaya. Pantauan detikJogja, Selasa (12/12/2023), ada batu berbentuk persegi panjang atau watu gilang yang diyakini peninggalan Ki Ageng Mangir.
Watu gilang tersebut berada di bawah pohon randu alas yang dikelilingi tembok putih. Ada juga arca nandi yang berada di Pura Petilasan Ki Ageng Mangir.
Di area pura ini juga ditemukan lingga dan yoni yang merupakan peninggalan masa Hindu dan Buddha. Selain itu, ada batu berceruk atau lumpang yang tersebar di area permukiman warga.
Sempat Jadi Jalur Perdagangan
Ketua Paguyuban Saka Mangir Baru yang merupakan penduduk asli Desa Mangir, Muhammad Basri (72), menyebut wilayah Mangir yang dilalui Sungai Progo dulu menjadi dermaga bagi orang India yang melakukan perdagangan. Salah satu bukti peninggalannya berupa rantai kapal berukuran besar yang saat ini masih terpajang di dekat Kali Bedog.
"Itu abad ke-4, orang Hindu dulu berdagang di sini dengan perahu, dulu di sini dermaga di bawah itu. Airnya dari laut itu sumbang akhirnya dari laut bisa menyeberang ke sini. Buktinya ada rantai besar banget, itu sebenarnya sudah kami laporkan ke Dinas Purbakala tapi tidak ada keterangannya sehingga saya hanya minta dipindahkan biar menjadi monumen," ujar Basri kepada detikJogja, Rabu (13/12/2023).
Seiring berkembangnya waktu, Desa Mangir menjadi permukiman pada era Majapahit. Basri menjelaskan wilayah Mangir dulunya dikuasai oleh seseorang bernama Megatsari atau Ki Ageng Mangir I yang masih memiliki garis keturunan dari Kerajaan Majapahit. Sebagai penanda, warga setempat masih membangun gapura khas Majapahit.
"Kenapa di sini ada gapura Majapahit? Karena memang dulunya di sini. Dulu yang di sini namanya Megatsari, kecilnya (namanya) Joko Balut. Kemudian menetap di sini didahului oleh Sunan Kalijaga menyuruh datang ke sini," ucapnya.
Permukiman tersebut pun terus berkembang hingga memasuki era Kerajaan Mataram Islam ketika Panembahan Senopati hendak membabat hutan Alas Mentaok. Namun, karena permukiman di Desa Mangir telah lama dihuni masyarakat, kawasan ini pun menjadi tanah merdeka atau tanah perdikan sehingga ingin ditaklukan oleh Kerajaan Mataram Islam.
"Di sini disebut (tanah) perdikan bukan perdikannya Mataram, tapi perdikannya Demak Bintoro. Kan Majapahit runtuh, berdiri pertama Demak Bintoro oleh Raden Patah. Kemudian Raden Patah ke Pajang, baru ke Mataram, dan Mangir sudah ada di sini. Jadi, sebelum ada Mataram, di sini sudah ada Mangir," terang Basri.
Pada masa Kerajaan Mataram Islam berdiri wilayah Mangir dikuasai Ki Ageng Mangir III atau Bagus Wanabaya. Berbagai bukti peninggalan keberadaan Ki Ageng Mangir III ditandai dengan petilasan batu yang masih ada hingga saat ini dan dikenal juga dengan sebutan watu gilang.
"Peninggalan petilasan batu itu untuk landean pusaka. Itu peninggalan Mangir dulu. Nah banyak yang nanya ada yang mengatakan untuk landean pusaka ada yang mengatakan sebagai dampar untuk lenggah (tempat untuk duduk). Kita tidak tahu detail untuk apa," jelasnya.
Kisah Desa Mangir Jadi Tanah Perdikan
Hal senada juga disampaikan pemerhati sejarah dari Rumah Budaya Tembi, Albertus Sartono (59). Albertus menjelaskan wilayah Mangir pernah menjadi tempat penyebaran agama Hindu dan Buddha pada era Majapahit.
Wilayah ini memiliki vihara dan dihuni oleh golongan Brahmana untuk mengajarkan agama. Oleh karena itu, kawasan Mangir disebut tanah perdikan karena terbebas dari pajak.
"Kalau dalam banyak cerita itu diduga dulunya tanah yang dimerdekakan ketika masih era Majapahit. Kenapa dimerdekakan? Karena wilayah itu dulunya dipercaya ada semacam vihara, tempat para pendeta, para Brahmana mengajarkan agama di situ," jelas Albertus kepada detikJogja, Rabu (13/12/2022).
Hingga saat ini, berbagai peninggalan Hindu-Buddha masih dapat ditemukan di Desa Mangir. Di antaranya watu gilang, arca, lumpang, lingga, dan yoni.
Albertus menjelaskan watu gilang di petilasan Ki Ageng Mangir merupakan sebuah yoni peninggalan masa Hindu-Buddha. Yoni tersebut masih dirawat ketika Ki Ageng Mangir berkuasa hingga saat ini.
"Yoni itu lambang dari istrinya Siwa yang namanya adalah Dewi Parwati, juga menjadi lambang kesuburan, lambang kewanitaan, lambang keibuan, itu namanya yoni. Pasangannya itu namanya lingga. Lingganya itu yang nggak ada, cuma itu juga kayaknya unsurnya kurang lengkap," ucapnya.
(ams/apl)