Tradisi Yaaqawiyyu yang digelar setiap bulan Safar di Desa/Kecamatan Jatinom, Klaten, sudah dibuka sejak Kamis (31/7) lalu. Tradisi dengan puncaknya pembagian kue apem itu merupakan jejak dakwah Islam Kyahi Ageng Gribig atau Ki Ageng Gribig sejak berabad silam.
Selain tradisi Yaaqawiyyu, jejak dakwah Ki Ageng Gribig itu sampai saat ini juga masih bisa ditemukan secara fisik. Di antaranya Masjid Alit yang merupakan masjid awal tempat dakwah Ki Ageng. Masjid di tengah kampung itu sudah direhab dan masih digunakan masyarakat. Selain masjid alit, ada masjid gedhe yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari masjid alit.
Mohammad Daryanta Rekso Hastonodipuro selaku Ketua Dewan Pembina dan Nara Sumber Kesejarahan P3KAG Jatinom menjelaskan, tradisi Saparan Yaaqawiyyu dikenal dengan tradisi penyebaran atau andum kue apem. Menurut dia, Ki Ageng baru tiba di Jatinom selepas pulang dari berhaji pada Jumat Pahing, 17 Sapar 1541 Saka (dalam sengkalan Ratu Suci Tataning Jagad) atau tahun 1619 M.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kala itu baru tiba di Jatinom selepas pulang berhaji pada Jumat Pahing, 17 Sapar 1541 Saka atau tahun 1619 M. Usai salat Jumat lalu membaca zikir dan tahlil, Kyahi Ageng kemudian membagi oleh-oleh berupa apem kepada para santrinya,'' kata Daryanta melalui sinopsis tertulis yang diterima detikJateng, Minggu (3/8/2025).
Ternyata, jelas Daryanta, hidangan kue apem itu kurang sedangkan tamunya masih banyak yang belum menerima. Kemudian Nyai Ageng (Raden Ayu Mas Winongan ) segera membuat kue apem yang masih dalam keadaan hangat untuk dihidangkan kepada para murid, tamu, dan warga masyarakat yang hadir di majelis tersebut.
"Dihidangkan kepada para murid, tamu dan warga masyarakat yang hadir di majelis tersebut. Beliau berdoa Yaa Qawiyyu Ya 'Aziizu Qawwina Wal Muslimin, Yaa Qawiyyu Yaa razaaqu warzuqna wal Mukminiinawal Muslimiina (Ya Allah yang Maha Kuat, berikanlah kekuatan kepada kami segenap kaum muslimin, Ya Allah yang Maha Kuat yang Maha Pemberi Rizki Karuniakanlah rizki kepada kaum Mukminin dan kaum Muslimin," tutur Daryanta.
Doa itu, terang Daryanta, juga menjadi kalimat seruan jihad fisabilillah pasukan Sultan Agung saat berperang melawan VOC.
Majelis pengajian itu sampai sekarang masih berjalan dan setiap tahun pada malam Jumat dan menjelang salat Jumat di pertengahan bulan Sapar, doa Kyahi Ageng Gribig selalu dibacakan di hadapan hadirin.
"Pada malam Jumat dan menjelang salat Jumat di pertengahan bulan Sapar, doa Kyahi Ageng Gribig selalu dibacakan di hadapan hadirin. Tradisi ini juga sering disebut Saparan karena
berlangsung di bulan Safar. Peringatan Yaaqawiyyu ini penuh dengan simbol yang sarat dengan pesan spiritual dan sosial kemasyarakatan," papar Daryanta.
Puncak acara, sambung Daryanta, ditandai dengan penyebaran kue apem kue bundar yang terbuat dari tepung beras dengan potongan kelapa di tengahnya. Kata apem sendiri diambil dari bahasa Arab Al afwun yang bermakna ampunan atau Afwu.
"Bermakna ampunan atau Afwu, tujuannya adalah agar masyarakat selalu memohon ampunan kepada Sang Pencipta Allah Subhanahu Wata'ala. Bentuknya yang bulat itu juga memiliki makna agar masyarakat saling bersatu dan tidak berpecah belah," tutur Daryanta.
Daryanta menyampaikan dalam merangkai kue apem pada gunungan apem, disusun menurun seperti trap tumpang 4-2-4-4-3. Hal itu menggambarkan tentang jumlah rakaat dalam salat Isya, Subuh, Zuhur, Ashar, dan Maghrib.
"Hal itu menggambarkan tentang jumlah rakaat dalam salat Isya, Subuh, Zuhur, Ashar, dan Maghrib. Pembagian apem diberikan dengan cara disebarkan di atas panggung
menara yang bermakna masyarakat harus selalu saling memaafkan satu dengan yang lain," ungkap Daryanta.
Lebih jauh, Daryanta menceritakan Ki Ageng Gribig semasa muda dikenal dengan nama Syekh Wasibagno Timur. Ki Ageng merupakan tokoh yang berperan besar dalam penyebaran agama Islam di Jawa Tengah, khususnya daerah Klaten dan sekitarnya.
"Kiprahnya di Jatinom Klaten dan sekitarnya dilakukan pada masa Wali Sanga, yaitu Sunan Kalijaga, Kyahi Ageng merupakan salah satu murid Sunan Kalijaga. Berbagai sumber tentang silsilahnya sebagian besar menyatakan sebagai keturunan dari Brawijaya V atau raja terakhir Majapahit," lanjut Daryanta.
Daryanta menambahkan, ada juga sumber yang menyatakan silsilah Kyahi Ageng Gribig merupakan keturunan ke-4 dari Syekh Maulana Malik Ibrahim. Kalau Sunan Pandanaran mewariskan Masjid Gala di Bayat, maka Kyahi Ageng Gribig mewariskan Masjid Alit dan Masjid Gedhe di Jatinom.
"Kyahi Ageng Gribig mewariskan Masjid Alit dan Masjid Gedhe di Jatinom. Masjid ini merupakan living monument yang masih digunakan sampai sekarang sebagai tempat ibadah, Masjid Alit Jatinom dibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645 M)," kata Daryanta.
Selain Masjid Alit, ujar Daryanta, dibangun Masjid Gedhe Jatinom karena pemeluk Islam sudah semakin banyak, maka Sultan Agung memberi hadiah tanah (tanah perdikan) untuk didirikan masjid yang lebih besar kemudian Sultan Agung memberikan nama Masjid Gedhe Jatinom. Sesuai perkembangan, Raja Keraton Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwana X (1866-1939) memerintahkan istri permaisuri Gusti Ratu untuk berkunjung ke Jatinom pada tahun 1908.
"Berkunjung ke Jatinom pada tahun 1908 untuk memberikan hadiah berupa bangunan serambi Masjid Gedhe Jatinom dan Joglo Pendhapa Makam Kyahi Ageng Gribig Jatinom. Dalam sejarahnya Kyahi Ageng Gribig dulunya adalah guru agama Sultan Agung waktu masih kecil," imbuh Daryanta.
"Kyahi Ageng juga berhasil memadamkan niat Adipati Palembang yang ingin memberontak kepada Mataram tanpa melalui pertumpahan darah karena dalam menjalankan dakwah Islamnya menggunakan pendekatan budaya, cara halus dan pelan-pelan dalam menyiarkan Islam sehingga masyarakat merasa tidak dipaksa untuk masuk Islam," pungkas Daryanta.
(dil/dil)