Nama Nyi Tjondrolukito telah banyak dikenal dalam dunia pesindenan Indonesia. Sosok maestro kelahiran Jogja ini memiliki banyak karya yang masih dikenang oleh masyarakat hingga sekarang.
Mengutip dari buku Traditional and Ethnic Music in Indonesia terbitan Museum Musik Indonesia, Nyi Tjondrolukito bernama asli Turah dan lahir di Dusun Pogung, Sleman pada tahun 1921. Suaranya yang khas dalam lagu karawitan membuatnya terkenal bahkan sejak zaman Hindia Belanda.
Lantas, bagaimana perjalanan hidup Nyi Tjondrolukito? Yuk, simak penjelasannya di bawah ini yang telah dirangkum oleh detikJogja dari berbagai sumber.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masa Kecil Nyi Tjondrolukito
Dikutip dari artikel jurnal 'Divining The Diva: An Interview with Nyi Tjondrolukito' oleh Nancy I. Cooper, ia lahir dari keluarga yang kurang berkecukupan, di mana ia beserta orang tuanya harus tinggal di rumah berdinding bambu dengan lantai yang belum disemen dan atap genteng.
Saat orang tuanya bekerja di sawah, Nyi Tjondrolukito akan merawat adik-adiknya dengan menyanyikan lagu-lagu kidung yang diajarkan oleh ayahnya. Saat mereka menangis, nyanyian dari mendiang pesinden tersebut akan menenangkan tangisan adik-adiknya.
Kisahnya Menjadi Pesinden
Pada suatu hari, Nyi Tjondrolukito tengah menyanyikan tembang Kinanthi untuk menenangkan salah satu adiknya. Lurah Sumbogo yang kebetulan berada di sekitar rumahnya mendengar nyanyian itu dan memutuskan untuk berkunjung.
Setelah memperkenalkan dirinya kepada orang tua Nyi Tjondrolukito, Lurah Sumbogo mengakui keindahan suara Turah. Ia kemudian meminta izin kepada ayahnya untuk memberikan pelatihan kepada Turah.
Meskipun sang ayah bersedia mengirim anaknya ke mana pun untuk mengembangkan bakat vokalnya, ia mengalami kendala terkait biaya pelatihan yang pada waktu itu memang cukup mahal.
Pada hari berikutnya, ayahnya diundang untuk mengantar Turah ke kediaman KRT Joyodipuro. Di sana, semua seni tradisional Jawa diajarkan, termasuk karawitan, sinden, tari, lukisan, dan yang lainnya. Selama tiga hari berturut-turut ia berlatih dan kemudian Turah dibawa untuk menyanyi di hadapan Kanjeng Patih Danurejo.
Bertemu dengan Sang Suami, Ki Tjondrolukito
Masih diambil dari sumber yang sama, dikisahkan sang pesinden bertemu dengan suaminya, yakni Ki Tjondrolukito saat belajar menari di bawah bimbingan Pangeran Tejakusuma. Setelah menikah, mereka memiliki 12 anak.
Ia tinggal bersama sang suami di dekat rumah orang tuanya dan tampil di luar istana. Namun, sang suami melarangnya untuk terus bernyanyi sehingga ia harus berjualan di pasar selama beberapa tahun.
Dengan jumlah anak yang banyak, kondisi ekonominya pun menjadi sulit. Akhirnya, ia mengutarakan keluh kesahnya dan membuat Ki Tjondrolukito mengalah. Kemudian, Nyi Tjondrolukito mulai bernyanyi lagu uyon-uyon, untuk wayang kulit, dan sebagainya.
Pada tahun 1955, Nyi Tjondrolukito bergabung dengan sang suami di Jakarta, di mana ia berhasil mendapatkan sebuah posisi di RRI Bulungan, Jakarta dan direkrut oleh berbagai perusahaan rekaman.
Karyanya sebagai Pesinden
Semasa hidupnya, Nyi Tjondrolukito selalu menjaga nama baik para sinden. Ia mengembalikan peran sinden sebagai seniman sejati dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk menghidupkan seni musik.
Hingga kematiannya pada tahun 1997, Nyi Tjondrolukito telah menciptakan sekitar 200 lagu dan suaranya telah direkam dalam lebih dari 100 album kaset. Ia juga menggubah lirik beberapa lagu Jawa, seperti Dandanggula. Selain bekerja sebagai pencipta lagu, Nyi Tjondrolukito juga mendirikan Sekolah Tari Ngesti Budaya.
Karyanya yang paling terkenal adalah gaya unik dan sentuhan khasnya dalam membawakan lagu-lagu Kutut Manggung dan Jineman Uler Kambang yang masih menjadi inspirasi bagi penyanyi Jawa, terutama dalam pertunjukan wayang kulit.
Untuk mengenang jasa dan kiprahnya dalam memajukan dunia sinden Indonesia, Pemerintah Kabupaten Sleman pun mengabadikan namanya sebagai nama jalan. Jalan Nyi Tjondrolukito digunakan untuk mengganti nama Jalan Monumen Jogja Kembali.
Itu dia penjelasan mengenai sosok Nyi Tjondrolukito, penyanyi asal Pogung yang menjadi pionir di dunia sinden Indonesia. Semoga bermanfaat!
Artikel ini ditulis oleh Jihan Nisrina Khairani Peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(cln/ams)
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
PDIP Bawa Koin 'Bumi Mataram' ke Sidang Hasto: Kasus Receh, Bismillah Bebas
PDIP Jogja Kembali Aksi Saweran Koin Bela Hasto-Bawa ke Jakarta Saat Sidang