Tari Bedhaya Semang: Kisah Hubungan Nyi Roro Kidul dan Sultan Agung

Tari Bedhaya Semang: Kisah Hubungan Nyi Roro Kidul dan Sultan Agung

Jihan Nisrina Khairani - detikJogja
Selasa, 05 Des 2023 18:02 WIB
Ini Menu Makanan yang Disajikan di Keraton Yogyakarta
Ilustrasi. Foto: Keraton Jogja
Jogja -

Tari Bedhaya Semang merupakan warisan budaya tak benda berupa tari klasik yang memiliki nilai seni tinggi dan sarat akan makna. Tarian ini berasal dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang umumnya ditampilkan dalam upacara-upacara istana atau acara keagamaan.

Baik Keraton Jogja maupun Surakarta mempunyai dua jenis tarian yang sakral, yaitu tari Bedhaya dan tari Serimpi. Tari Bedhaya secara umum menggambarkan penciptaan tujuh bidadari yang mengelilingi Suralaya, seperti yang dituliskan dalam laman Kemdikbud.

Sesuai tradisi, tari Bedhaya dibawakan oleh sembilan penari putri yang terdiri dari batak, endhel, jangga, apit ngajeng, apit wingking, dhadha, endhel wedalam ngajeng, endhel wedalan wingking, dan buntil. Angka sembilan di sini merupakan simbol dari seluruh penjuru mata angin dan juga arah kedudukan bintang di alam semesta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di Jogja, tari Bedhaya Semang menjadi awal mula perkembangan tarian yang terinspirasi dari tarian Bedhaya Ketawang Surakarta. Lantas, bagaimana kisah di balik tari Bedhaya Semang? Mengapa tarian ini dilarang ditampilkan di luar lingkup Keraton Jogja? Yuk, simak penjelasannya di bawah ini.

Sejarah Tari Bedhaya Semang Yogyakarta

Menyadur buku Kagunan Sekar Padma yang ditulis oleh Indra Fibiona dan Darto Harnoko, Tari Bedhaya Semang diperkenalkan oleh Sultan Hamengku Buwono II pada tahun 1792 yang mengisahkan pertemuan antara Ratu Kidul dan Raja Mataram Islam, yakni Sultan Agung. Kata semang sendiri memiliki makna khawatir atau was-was yang menggambarkan keraguan hati Sultan Agung saat Ratu Kidul mempersembahkan tarian kepadanya.

ADVERTISEMENT

Dalam cerita tarian tersebut, Ratu Kidul dan Sultan Agung dikisahkan bertemu di pantai yang merupakan perbatasan antara Kerajaan Mataram Islam dan Kerajaan Nyi Roro Kidul. Keduanya pun saling tertarik sehingga Sultan Agung mengikuti Ratu Kidul menuju istananya di dasar laut dan hidup bersama untuk sementara waktu.

Akan tetapi, datang roh Sunan Kalijaga yang memberi nasihat kepada Sultan Agung bahwa Ratu Kidul sebenarnya bukan manusia karena kecantikannya yang abadi laksana bulan, terutama saat bulan purnama. Usut punya usut, pertemuan Sultan dengan Ratu Kidul ternyata terjadi pada malam bulan purnama yang menyebabkan Sultan Agung terpesona akan kecantikan Ratu Kidul.

Kemudian, Sunan Kalijaga berusaha menyadarkan Sultan agar tetap fokus pada tugasnya untuk mengayomi rakyat yang telah terabaikan karena terpikat oleh Ratu Kidul. Akhirnya, Sultan Agung meninggalkan Ratu Kidul. Namun, sang penguasa Laut Selatan berjanji akan selalu melindungi Sultan Agung beserta keturunannya kapan pun Kerajaan Mataram menghadapi bahaya.

Hanya Untuk Perayaan Istimewa

Tari Bedhaya Semang hanya ditampilkan dalam acara Keraton yang sangat istimewa, seperti saat peringatan pemberian takhta atau upacara Tingalan Dalem Jumenengan. Meski dipercaya sebagai tari sakral, Sultan Hamengku Buwono VIII tidak menggelarnya secara seremonial sebagai bagian dari upacara penobatannya. Sebaliknya, ia lebih memilih Tari Bedhaya Jatiwarna dan Bedhaya Sudira Gambuh untuk ditarikan pada saat kenaikan takhta.

Lebih lanjut, beberapa orang meyakini bahwa pertunjukan ini dihadiri oleh Ratu Kidul dan rombongannya. Konon, mereka memiliki permintaan khusus yang memerlukan pelayanan yang cukup rumit. Oleh karena itu, tarian sakral ini dilarang untuk dibawakan di luar Keraton Jogja.

Ketentuan Pertunjukan Tari Bedhaya Semang

Saking sakralnya, tari Bedhaya Semang hanya boleh disaksikan oleh orang-orang tertentu saja yang berasal dari kalangan istana. Mengambil dari buku berjudul Kanjeng Ratu Kidul dalam Perspektif Islam Jawa oleh Muhammad Sholikhin, penyelenggaraan tarian ini harus menyertakan 24 jenis sesajen, seperti rasulan, ketan salak, kolak pisang mas, tumpeng robyong, dan lainnya.

Selain itu, sesajen juga harus meliputi jenang-jenangan, air sri taman, dilap jlupak, gecok mentah, rujak tape, rujak degan, rujak wedang, kesimpar, dan dupa. Saat membakar dupa, ritualnya disertai dengan munjuk atur sebagai tanda penghormatan kepada Sultan Agung dan Ratu Kidul.

Seperti halnya tari Bedhaya Lambang Sari, tari Bedhaya Semang juga ditarikan oleh sembilan penari, dengan delapan penari terlihat dan satu penari tidak terlihat yang mewakili Kanjeng Ratu Kidul. Nantinya, mereka memasuki Siti Hinggil di sekitar raja dan membentuk formasi yang teratur.

Pementasan pada Malam Selasa Kliwon

Disebutkan bahwa apabila Sultan Agung ingin bertemu Ratu Kidul, maka ia akan mengadakan tari Bedhaya Semang terlebih dahulu pada malam Selasa Kliwon. Mengapa harus pada Selasa Kliwon? Malam Selasa Kliwon dianggap memiliki kekuatan magis dan keberkahan bagi masyarakat Jawa.

Selain digunakan sebagai wujud penghormatan serta upaya untuk memohon kehadiran Ratu Kidul ke Keraton Jogja, tari Bedhaya Semang juga mengandung makna yang berkaitan dengan ketentraman alam semesta. Dengan menyelenggarakan tarian ini, diharapkan Kanjeng Ratu Kidul bersedia menjaga keseimbangan dan ketentraman dalam kerajaan serta di antara rakyatnya.

Perkembangan Tari Bedhaya Semang

Masih mengutip dari buku karya Muhammad Solikhin yang bertajuk Kanjeng Ratu Kidul dalam Perspektif Islam Jawa, Tari Bedhaya Semang secara rutin dipentaskan hingga pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII. Namun, setelah terjadi insiden yang menyebabkan salah satu penari kehilangan ingatannya, tarian ini tidak pernah digelar lagi hingga saat ini.

Dituliskan bahwa kejadian tersebut menimbulkan ketakutan di kalangan penari dan pengurus yang merasa belum mencapai tingkat kesucian yang memadai. Para abdi dalem menginterpretasikan insiden tersebut sebagai kemarahan Ratu Kidul karena penari yang bersangkutan dianggap tidak suci.

Meskipun tari Bedhaya Semang terakhir kali ditampilkan pada tahun 2002, upaya pelestariannya tetap dilakukan melalui gladhen yang diadakan setiap malam Selasa Kliwon. Tari Bedhaya Semang diizinkan untuk dipentaskan hanya pada hari anggara kasih. Selain itu, hanya perempuan yang dalam keadaan suci yang diperbolehkan menari tarian ini, artinya mereka tidak sedang mengalami masa haid.

Nah, itu dia sejarah tari Bedhaya Semang yang mengisahkan hubungan Nyi Roro Kidul dan Sultan Agung. Semoga bermanfaat, Lur!

Artikel ini ditulis oleh Jihan Nisrina Khairani peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(apl/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads