Biografi Sunan Kalijaga dan Peninggalannya di Jogja

Biografi Sunan Kalijaga dan Peninggalannya di Jogja

Jihan Nisrina Khairani - detikJogja
Senin, 04 Des 2023 12:33 WIB
Kisah Wali Songo Sunan Kalijaga
Foto: Kisah Wali Songo Sunan Kalijaga (Ilustrasi Fauzan Kamil)
Jogja -

Wali Songo dikenal sebagai tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Pulau Jawa pada abad ke-14. Berkat peran dari kesembilan ulama tersebut, ajaran Islam berhasil disebarluaskan dan diintegrasikan ke dalam budaya lokal.

Salah satu tokoh Wali Songo yang kontribusinya masih dikenang hingga saat ini adalah Sunan Kalijaga. Ia merupakan ulama yang berjasa besar atas terbentuknya berbagai seni dan upacara tradisional, seperti Grebeg Maulud, tembang Lir-Ilir, dan Gundul-gundul Pacul.

Lantas, seperti apa perjalanan hidup Sunan Kalijaga? Apa saja bentuk peninggalannya yang terdapat di Jogja? Berikut penjelasan lengkapnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Biografi Sunan Kalijaga

Dikutip dari buku Wali Songo: Menguak Tabir Kisah hingga Fakta Sejarah oleh Masykur Arif, Sunan Kalijaga yang bernama asli Raden Said diyakini lahir pada sekitar tahun 1430-an. Ia juga memiliki beberapa nama lain, seperti Syekh Malaya, Raden Abdurrahman, Lokajaya, dan Pangeran Tuban.

Nama Pangeran Tuban disebutkan terkait dengan latar belakang keluarganya, yakni sebagai anak dari Tumenggung Wilatikta yang menjabat posisi Bupati Tuban pada masa Kerajaan Majapahit. Sunan Kalijaga sendiri diperkirakan hidup selama empat masa pemerintahan, yaitu pada masa Majapahit, Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang, hingga era Mataram Islam.

ADVERTISEMENT

Lebih lanjut, terdapat beberapa pendapat mengenai arti nama Kalijaga. Dalam bahasa Jawa, Kalijaga berasal dari kata kali yang berarti sungai dan kata jaga yang bermakna menjaga. Berdasarkan Babad Tanah Jawi, Sunan Kalijaga diceritakan kerap menenangkan pikiran di sebuah sungai seolah-olah menjaga kali tersebut.

Ada pula versi yang menjelaskan bahwa Kalijaga dijadikan nama wali tersebut karena ia pernah bertempat tinggal di Desa Kalijaga, Kabupaten Cirebon. Oleh karena itu, nama Kalijaga memang sudah ada sejak zaman dahulu sebelum Raden Said lahir.

Sunan Kalijaga mempunyai dua istri, antara lain Dewi Saroh dan Dewi Sarokah. Pernikahannya bersama Dewi Saroh menghasilkan tiga anak, yaitu Raden Umar Said, Dewi Ruqoyyah, dan Dewi Sofiah, di mana Raden Umar Said merupakan nama asli dari Sunan Muria. Sedangkan bersama Dewi Sarokah, ia memiliki lima anak.

Masa Muda Sunan Kalijaga

Masih diambil dari sumber yang sama, Sunan Kalijaga dikisahkan memiliki masa muda yang cukup kelam. Pasalnya, ia terlibat dalam kegiatan negatif, seperti pencurian, perampokan, perjudian, hingga pembunuhan.

Namun, setidaknya ada alasan yang menjelaskan mengapa Raden Said alias Sunan Kalijaga melakukan hal-hal buruk tersebut. Disebutkan bahwa Raden Said telah diajarkan ilmu-ilmu agama Islam oleh ayahnya sejak kecil. Agama Islam mengajarkan nilai tolong-menolong dan menghormati satu sama lain. Sebagai contoh, orang kaya diharapkan membantu orang miskin dan sebaliknya.

Namun, ironisnya, Raden Syahid menyaksikan ketidakadilan di sekitarnya sejak kecil. Rakyat jelata hidup dalam kesulitan, sementara para bangsawan di Tuban hidup dengan kemewahan. Rakyat miskin kian menderita karena pemungutan upeti yang semena-mena oleh pejabat kadipaten.

Tak hanya itu, prajurit kadipaten bahkan sering menggunakan kekerasan untuk memaksa rakyat miskin membayar upeti. Hal ini membuat Raden Said gelisah dan prihatin terhadap nasib rakyat miskin yang tertindas oleh penguasa sehingga ia mencuri dan kemudian diberikan kepada mereka yang membutuhkan.

Pertemuan dengan Sunan Bonang

Mengutip dari buku Mengungkap Perjalanan Sunan Kalijaga oleh Jhony Hady Saputra, pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang dianggap menjadi titik balik kehidupannya sekaligus menjadi awal mula proses kewaliannya.

Selepas bertemu Sunan Bonang, ia menyadari bahwa apa yang selama ini ia lakukan ternyata salah dalam ajaran Islam, meski niatnya adalah untuk membantu kaum yang tertindas. Melihat luasnya ilmu agama yang dimiliki Sunan Bonang, Raden Said pun ingin menjadi muridnya. Kesungguhannya ditunjukkan dengan kesabarannya dalam menunggu Sunang Bonang di pinggir sungai, di mana konon ia tidak beranjak dari tempatnya selama kurun waktu tiga tahun.

Alkisah, tubuh Raden Said bahkan ditutupi oleh semak belukar akibat lamanya waktu menunggu. Ketaatan Raden Said memukau Sunan Bonang sehingga ia setuju untuk menjadikan Raden Said sebagai muridnya. Setelahnya, Raden Said juga berguru kepada Sunan Ampel dan Sunan Giri.

Perjalanan spiritualnya terus berlanjut hingga ke Pasai sekaligus menyebarkan dakwah Islam di Semenanjung Malaya, termasuk di Patani, Thailand. Di sana, ia tidak hanya diakui sebagai seorang pendakwah, tetapi juga sebagai tabib yang ulung. Diceritakan bahwa Raden Said berhasil menyembuhkan penyakit kulit yang diderita oleh Raja Patani sehingga ia mulai dikenal sebagai Syekh Malaya.

Strategi Dakwah Sunan Kalijaga

Masyarakat Jawa pada saat itu masih memegang teguh adat istiadat yang berasal dari ajaran Hindu-Buddha, serta animisme. Menurut Sunan Kalijaga, akan sulit jika memaksakan untuk mengubah kepercayaan mereka. Oleh karena itu, ia membiarkan budaya mereka tetap ada dengan menyelipkan ajaran-ajaran Islam secara perlahan.

Sunan Kalijaga menyebarkan ajaran agama Islam dengan cara menggabungkan unsur tradisi Jawa. Ia memberikan sentuhan agama Islam pada seni dan budaya Jawa, salah satu contohnya adalah dengan menyampaikan kisah-kisah agama Islam melalui pewayangan.

Sunan Kalijaga juga memiliki keahlian dalam bidang arsitektur, politik, dan militer. Ia mempunyai kemampuan mengumpulkan massa untuk mendengarkan dakwah Islam. Karyanya yang terkenal antara lain berupa seni wayang kulit dan cerita-cerita yang membahas ajaran agama Islam.

Ruang lingkup dakwah Sunan Kalijaga pun yang paling luas jika dibandingkan dengan wali yang lain. Berikut adalah beberapa jasa Sunan Kalijaga dalam menyebarkan ajaran Islam dengan mengutip dari buku Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Ibtidaiyah karya Yusak Burhanudin dan Ahmad Fida.

  • Sebagai Mubalig

Cara berdakwah Sunan Kalijaga berbeda, di mana ia cenderung menyiarkan ajaran sembari mengembara. Sebaliknya, para wali yang lain umumnya berdakwah dengan cara menetap di suatu pesantrean atau surau.

Ia mengubah sedikit demi sedikit ajaran nenek moyang masyarakat Jawa dengan metode yang ramah dan halus. Upayanya ini turut terlihat dalam penggunaan pakaian adat Jawa yang disempurnakan secara islami.Bidang Strategi Perjuangan

Mengakarnya budaya dan keyakinan sebelumnya, Sunan Kalijaga menggunakan strategi perjuangan dengan menyesuaikan kondisi masyarakat saat itu. Di antaranya adalah dengan menggunakan pertunjukan wayang.

  • Bidang Kesenian

Sunan Kalijaga menjadi tokoh wali yang mampu menciptakan seni dalam berbagai bentuk, seperti wayang, tembang, suluk, dan seni ukir. Ia menggunakan keahliannya tersebut untuk berdakwah dengan karyanya antara lain Lir-Ilir, Dandanggula, dan Gundul-Gundul Pacul.

Sunan Kalijaga juga terlibat dalam penciptaan bedug untuk masjid, grebeg maulud, gong sekaten, dan seni ukir tumbuhan. Selain itu, ia menciptakan cerita pewayangan yang dihimpun dalam kitab-kitab cerita wayang. Dengan kontribusinya dalam dunia seni, Sunan Kalijaga dihormati sebagai ahli seni di masyarakat Jawa.

  • Bidang Arsitektur

Selain sebagai ahli seni, ia juga memiliki keahlian di bidang arsitektur. Ia berperan dalam merancang Kota Demak dan mendirikan Masjid Agung Demak. Salah satu karyanya yang terkenal adalah saka tatal, tiang kokoh dalam masjid tersebut yang terbuat dari kayu jati. Saka tatal berfungsi sebagai penyangga bagian atas atap Masjid Agung Demak.

Wafatnya Sunan Kalijaga

Menurut buku Sejarah Wali Songo oleh Zulham Farobi, Sunan Kalijaga diperkirakan meninggal pada abad ke-16 atau sekitar tahun 1580 M, di mana ia telah hidup selama lebih dari 100 tahun. Meskipun demikian, terdapat perbedaan pendapat mengenai usia Sunan Kalijaga. Beberapa sumber menyatakan bahwa beliau meninggal pada usia 63 tahun.

Dalam naskah Mertasinga, disebutkan bahwa Sunan Kalijaga menghabiskan masa tuanya di Cirebon, tepatnya di Dalem Agung Pakungwati dengan membangun bangunan baru yang dikelilingi tembok.

Peninggalan Sunan Kalijaga di Jogja

Tak hanya di Jawa Tengah saja, Sunan Kalijaga juga mempunyai beberapa peninggalan bersejarah di Jogja. Berikut adalah daftarnya.

1. Masjid Kedondong Kulon Progo

Masjid Kedondong terletak di Dusun Semaken, Kelurahan Banjararum, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo atau berada di perbatasan Dusun Kedondong dan Dusun Semaken.

Dilansir laman Jogja Cagar, masjid ini didirikan atas permintaan Sunan Kalijaga oleh Adipati Terung pada tahun 1477 M. Pada saat itu, Sunan Kalijaga beristirahat di tepi sungai wilayah Banjararum saat dalam perjalanan menuju Demak. Selama istirahat, Sunan Kalijaga meminta Adipati Terung untuk membangun masjid dan ia menunjukkan lokasinya dengan menancapkan tongkat ke tanah.

2. Tuk Si Bedug

Tuk Si Bedug merupakan mata air yang terletak di dekat Desa Wisata Grogol, Seyegan, Kabupaten Sleman. Diambil dari situs KI Komunal, Sunan Kalijaga menghadapi kesulitan untuk mendapatkan air wudu saat hendak melaksanakan sholat Jumat.

Kemudian, ia menggunakan tongkat yang dibawanya untuk menancapkannya ke tanah. Sejenak setelah itu, tiba-tiba muncul mata air yang hingga saat ini tidak pernah kering.

3. Sendang Kasihan

Sendang Kasihan berada di Jalan Sendang RT 05/RW 18, Kasih, Tamantirto, Kasihan, Kabupaten Bantul. Masih dilansir dari situs KI Komunal, menurut cerita dari warga setempat, munculnya sumber air yang kemudian menjadi Sendang Kasihan diyakini terjadi karena keberkahan tongkat milik Sunan Kalijaga.

Ketika Sunan Kalijaga berkelana dan tiba di daerah Kasihan, ia memerlukan air bersih. Karena tidak menemukan sumber air yang diinginkan, Sunan Kalijaga menancapkan tongkatnya ke tanah. Setelah tongkat tersebut ditarik, tiba-tiba muncul sumber mata air yang jernih dan kemudian berkumpul dalam suatu cekungan, yang kini terkenal dengan nama Sendang Kasihan.

4. Sendang Kemuning

Sendang Kemuning terletak Gang Belakang Masjid Besar, Jagalan, Banguntapan, Kabupaten Bantul. Sendang ini merupakan hasil temuan sumber air oleh Sunan Kalijaga menggunakan tongkat.

"Sunan Kalijaga juga sama. Dia mau wudhu terus dia mencari titik airnya di mana. Setelah (tongkatnya) ditancapkan ternyata di situ dekat dengan mata air, terus keluar airnya. Jadi bukan ditancapkan terus keluar, nggak. Itu untuk menandai kedalaman air itu seberapa," terang abdi dalem Jogja bagian makam, Sutono Dauzan kepada detikJogja, Rabu (22/11).

Nah, itulah biografi singkat mengenai Sunan Kalijaga beserta peninggalan-peninggalannya yang ada di Jogja. Semoga bermanfaat!

Artikel ini ditulis oleh Jihan Nisrina Khairani Peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(apu/apu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads