Kota Jogja pernah menjadi surganya layar lebar atau bioskop pada era 1980-an silam. Sejumlah bioskop mulai menjamur seiring wajah baru sebagai Ibu Kota RI dan Kota Pelajar.
Jejak bioskop pertama di Kota Jogja ditandai dengan berdirinya Bioskop Indra yang dulu bernama Al Hambra pada tahun 1917. Bioskop ini dulunya dibangun pengusaha Belanda bernama Helland Muller sebagai pusat hiburan para kaum elite atau sosialita Eropa.
"Ketika listrik masuk ke Jogja tahun 1917, ada pengusaha Belanda namanya Helland Muller, membuka bioskop pertama namanya Al Hambra. Itu memang tidak terlepas dari perkembangan kota Jogja karena banyaknya orang-orang Eropa yang tinggal di Jogja," jelas Dosen Departemen Sejarah UGM, Baha Uddin, saat diwawancarai detikJogja di FIB UGM, Senin (16/10/2023).
Kala itu, bioskop ini pun menjadi ikon rekreasi modern bagi masyarakat di Jogja. Khususnya para sosialita Eropa yang berduit.
"Jadi mereka (orang-orang Eropa) adalah para administratur. Pada waktu itu ada sekitar 19 pabrik gula di Jogja dan itu banyak sekali karyawannya yang terdiri dari orang Eropa. Mereka membutuhkan hiburan yang modern dan masuk dalam masyarakat kalangan mereka. Karena itu sebenarnya di Jogja banyak sekali Societeit, tempat untuk biliar, tempat untuk dansa, dan sebagainya. Nah salah satunya bioskop itu," terang Baha.
Sempat mati di era penjajahan Jepang, bisnis bioskop mulai bangkit di era 1948. Kala itu Jogja menjadi Ibu Kota Indonesia sementara. Di sisi lain, mulai ada lembaga yang mengatur tentang impor film ke Indonesia.
Geliat Bisnis Bioskop di Jogja
Lambat laun, bioskop-bioskop mulai menjamur di Kota Jogja pada era 1950-an. Wajah baru Jogja yang menjadi Kota Pelajar turut andil dalam perkembangan bioskop di Jogja.
"Tahun 1950-an mulai banyak berdiri bioskop-bioskop baru. Mulai muncul bioskop-bioskop yang dimiliki oleh pribumi, kayak (bioskop) Permata, Indra, Pathuk. Plus karena di Jogja pada saat itu sebagai Kota Pelajar. UGM didirikan, universitas-universitas lain didirikan, itu mereka butuh hiburan. Kemudian berkembang pesat bioskop-bioskop di Jogja," jelasnya.
Selain faktor Jogja sebagai Kota Pelajar, diturunkannya pajak hiburan oleh pemerintah serta pembebasan impor film turut menyumbang pesatnya perkembangan industri bioskop di Jogja pada tahun 1950-1960-an.
"Mulai membebaskan impor film dan juga menurunkan pajak hiburan, sehingga mulai berkembang (bioskop) waktu itu tahun 1950-1960-an di Jogja," kata dosen sejarah UGM tersebut.
Sejak saat itu, bioskop makin digemari oleh masyarakat. Salah satu yang menjadi favorit adalah pemutaran film midnight yang tayang pukul 00.00 WIB. Format film seperti ini mulai digalakkan di era 90-an.
"Tahun 90-an mulai ada (film midnight). Tahun 70-an itu ada jadwal pagi untuk para pekerja, sore untuk pelajar, nah malam ini bebas. Baru tahun 90-an ada midnight show setelah Cineplex. Filmnya sama," tutur Baha.
Selengkapnya di halaman berikut.
Simak Video "Video: Prosesi Langka Jejak Banon di Jogja, Cuma Ada Tiap 8 Tahun!"
(ams/ams)