Kalurahan Petir, Kapanewon Rongkop, Kabupaten Gunungkidul, menyimpan cerita soal petilasan Mbah Jobeh. Konon petilasan itu muncul tiba-tiba dalam bentuk gubuk yang di dalamnya terdapat tumpukan tanah.
Pantauan detikJogja, tampak gapura bertulis 'Selamat Datang Petilasan Mbah Jobeh'. Terdapat pula spanduk kecil berisi larangan di tempat tersebut, salah satunya memotret.
Menyusuri jalan tersebut, nantinya terdapat tempat pemakaman umum yang di dalamnya ada bangunan menyerupai pagar. Ternyata di dalam pagar itu terdapat petilasan Mbah Jobeh berupa cungkup dengan atap dari ijuk dan rangka kayu. Di dalam tembok tersebut tumbuh beberapa pohon yang membuatnya rindang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Juru Kunci Petilasan Mbah Jobeh, Noto Sukamto (85) mengatakan, bahwa petilasan Mbah Jobeh memiliki hubungan erat dengan cikal bakal nama Kalurahan Petir. Berdasarkan cerita para pendahulunya, Noto menyebut jika dahulu ada seorang pria bernama Ki Kentung.
"Tidak ada yang tahu Ki Kentung itu dari mana asalnya. Nah, kenapa Desa Petir karena ada kayu petir di Petir tengah, bentuknya seperti apa saya tidak tahu karena saya belum pernah melihatnya," kata Noto saat ditemui detikJogja di kediamannya, Petir, Selasa (4/7/2023).
![]() |
Menurutnya, wilayah tersebut sangat berbahaya pada zamannya. Hingga akhirnya Ki Kentung secara telaten merawat wilayah tersebut.
"Itu (wilayah ada pohon petir) wilayahnya sangat gawat kalau zaman dahulu, lalu dirawat secara telaten sama Ki Kentung. Nah, setelah dirawat, disajeni akhirnya kayunya bisa ditebangi," ujarnya.
Setelah itu, saat kayu-kayu yang berukuran besar itu mengering, Ki Kentung mengumpulkannya di satu titik. Kemudian, kata juru kunci ke-13 petilasan Mbah Jobeh ini, Ki Kentung membakarnya.
"Sehingga yang dulunya banyak pohon sekarang tampak lapang. Lalu Ki Kentung membuat rumah dan lama-kelamaan ada tetangga yang tinggal di situ. Karena Ki Kentung memiliki teman (perempuan)," lanjutnya.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
Noto melanjutkan, bahwa Ki Kentung sehari-hari bekerja sebagai petani. Ki Kentung memiliki lahan pertanian yang disebut alas pakel.
"Tapi saat memasuki saat panen, mau keluar buahnya itu malah tidak turun hujan dalam waktu yang lama. Akibatnya banyak tanaman Ki Kentung yang mati," ucapnya.
Hal itu berlanjut saat Kamis Kliwon, tepatnya saat Ki Kentung sedang ada di pelataran rumahnya malam hari. Ketika berada di depan rumah itu Ki Kentung melihat sinar.
"Lalu saat Kamis Kliwon, tepatnya sekitar jam 8 Ki Kentung berada di pelataran rumahnya dan saat menoleh ke sisi utara barat ada sinar berjejer dua yang tingginya sampai ke langit," katanya.
Setelah melihat sinar itu, kata Noto, pagi harinya Ki Kentung mengecek tanamannya di alas pakel. Karena malam harinya melihat sinar dua berjejer, Ki Kentung melihat ada bangunan yang muncul tiba-tiba di dekat perbukitan.
"Dari kejauhan ada hitam-hitam seperti gubuk di dekat gunung. Selanjutnya Ki Kentung mendekatinya, ternyata yang hitam-hitam itu gubuk tapi di dalam gubuk kok ada tumpukan tanah," ucapnya.
Ki Kentung pun kebingungan bagaimana bisa ada gubuk di tempat seperti ini. Penasaran, Ki Kentung mengitari gubuk tersebut.
"Setelah itu diputari gubuk itu sama Ki Kentung, saat itu gubuk posisinya menghadap selatan. Sampai di pojokan selatan barat (gubuk) Ki Kentung mendapati bekas air ludah dari orang yang nginang (kebiasaan orang tua mengunyah daun sirih) pertama kali," ucapnya.
"Saat itu ludahnya berjejer dua, tepatnya di antara tiang sisi selatan dan sisi barat (gubuk)," lanjut Noto.
Saat itu, Ki Kentung dalam hati teringat tanamannya yang mati karena dalam waktu yang lama tidak kunjung turun hujan. Ki Kentung lalu berbicara dalam hati dan beristirahat di sisi timur gubuk yang ada kayunya.
"Karena cuacanya panas sekali dan Ki Kentung berteduh. Saat berteduh itu Ki Kentung banyak pikiran dan lelah, di bawah kayu tidur sebentar dan ada suara tapi tidak tahu siapa orangnya meminta agar Ki Kentung bersabar," katanya.
Sesaat setelah mendengar suara itu Ki Kentung langsung terbangun dari tidurnya. Selanjutnya Ki Kentung terkaget-kaget dengan tanaman miliknya yang semula kering berubah menjadi hijau.
"Setelah itu Ki Kentung nglilir, dan tanpa ada hujan tanaman di ladangnya jadi hijau seperti saat musim hujan. Lalu Ki Kentung mengira kejadian itu setelah dia mendengar suara saat tertidur," ucapnya.
Dari kejadian tersebut, Ki Kentung menamai tempat tersebut dengan Kiai dan Nyai Jobeh. Hal itu karena tiba-tiba semua tanamannya yang kering kerontang berubah menjadi berwarna hijau.
"Dari kejadian tanaman kering jadi berwarna hijau lagi, kalau gitu di gubuk ada tanahnya menumpuk itu bisa untuk pepunden Kiai Jobeh dan Nyai Jobeh, jobeh karena barang kering dadi ijo kabeh (jadi hijau semua)," katanya.
"Selain itu bisa disebut Kiai Jodeh dan Nyai Jodeh karena dapatnya kaweruhan Kamis Kliwon. Karena itu besok di pepunden ini bisa digunakan untuk perantara meminta hal yang baik, tapi jangan sampai untuk memfitnah sesama makhluk hidup," lanjut Noto.
Menurutnya, setiap setelah rasulan atau bersih desa Desa Petir pada Senin Pahing, masyarakat melakukan tradisi nyadran pada Kamis Kliwon di petilasan Mbah Jobeh. Akan tetapi, semua itu tidak bisa terlaksana jika jatuh pada bulan Suro dan Ramadan.
"Hingga saat ini masih dilestarikan. Karena itu pepunden Kiai dan Nyai Jobeh, bukan orang tapi itu petilasan," ucapnya.
Namun, Noto menyebut pendahulunya ada yang menceritakan jika Kiai Jobeh adalah dari Majapahit. Selanjutnya, Kiai Jobeh mengembara dan salah satunya singgah di Petir.
"Merujuk cerita pendahulu, Kiai Jobeh Nyai Jobeh itu Raja Majapahit yang lelono (mengembara), lelono Raja itu pergi ke mana-mana meninggalkan petilasan di situ. Itu cerita dari pendahulu saya," imbuhnya.
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
PDIP Jogja Bikin Aksi Saweran Koin Bela Hasto Kristiyanto
Direktur Mie Gacoan Bali Ditetapkan Tersangka, Begini Penjelasan Polisi