Hanya tersisa satu dari empat orang tukang cukur rambut DPR, akronim Di Bawah Pohon Rindang, di Alun-alun Utara Jogja. Dia adalah Aminuddin alias Udin yang kini berusia 57 tahun.
Tangan tua penuh keriput itu membuka tas gendongnya yang sudah usang. Perlahan cermin tua dengan ukuran sekitar 40x30 sentimeter dikeluarkan. Dia mengelap sedikit permukaan cermin agar bersih dari debu. Lalu dia gantung di sela pagar besi.
Sejurus kemudian kotak perkakas berisi peralatan cukur diletakkan di atas kursi. Di dalamnya berisi gunting, sisir, dua alat cukur mesin, pisau cukur. Sementara tas ikut digantung di pagar. Bersama dengan kain yang digunakan untuk menutupi pakaian pelanggan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sudah ke Sukabumi, game over," kata Udin menjawab pertanyaan soal dimana ketiga koleganya berada saat ini. Sukabumi bagi Udin adalah caranya bercanda untuk menyebut jika koleganya telah meninggal.
![]() |
Kamis (18/4) siang itu, Udin sudah punya dua 'pasien' yang memintanya untuk menggarap rambut. Usia keduanya sebelas dua belas dengan Udin. "Memang kebanyakan mereka yang sudah berusia yang potong ke sini. Ada anak juga tapi nggak banyak," tuturnya.
Kisah Udin bukan cerita pendek. Perjalanan panjang dilaluinya hingga akhirnya memutuskan mangkal di Alun-alun Utara. Dia juga bukanlah pionir tukang cukur di sana. Tapi kini jadi satu-satunya. "Saya justru yang terakhir," ucapnya.
Udin hanya tamatan SMP. Masa mudanya dihabiskan untuk pekerjaan kasar yang hanya berhubungan dengan kekuatan otot. Lama-lama hal itu bikin jengah juga. Udin tak mau terus-terusan terjebak dalam lingkaran itu.
"Saya berpikir gini, apa saya mau gini terus, orang kan enggak selamanya kuat orang enggak selamanya sehat, yang saya pikir malah enggak selamanya kuat itu kalau sehat ya semoga tapi kalau kuat itu kan kalah dengan usia. Apa mau gini terus selama saya hidup," kenangnya.
Ijazah SMP tak bisa membuatnya jadi pekerja kantoran. Berdagang pun tak punya modal. Titik balik Udin lalu dimulai dari situ. Dari Tukangan, kampungnya, dia memutuskan jadi tukang cukur rambut. Belajarnya? Otodidak, dari mengamati hasil cukur orang lain. Karena kalau untuk kursus, tidak punya uang.
"Kalau kursus, wah enggak punya uang untuk kursus. Caranya gimana? Tapi saya kepengin, makanya saya nonton. Setiap saya potong itu enggak langsung pergi," ujarnya.
Perlu waktu dan mental agar dia bisa percaya diri mencukur rambut orang. "Karena kalau tulisan itu salah bisa dihapus. Ini kepala orang kan nggak bisa ditutup," katanya.
Petualangannya sebagai tukang cukur lalu dimulai. Tak langsung membuka kios sendiri tapi ikut menjadi karyawan. Pindah di satu tukang cukur ke tempat lainnya. Saat itu ongkos pangkas rambut masih Rp 1.500. Udin bekerja di sekitar Polsek Gondomanan beberapa bulan, lalu timur UIN sekitar setahun, hingga ke Terminal Jombor Sleman.
Kenyang menjadi karyawan Udin memutuskan keluar. Sempat menganggur, Udin memutuskan untuk ikut membuka lapak di trotoar Alun-alun Utara.
"Di sini (alun-alun) sudah dari 2002 sampai sekarang. Dari jam 8 hingga jam 5 sore. Tutupnya? Kalau pas hujan, sakit, atau game over," katanya.
Perkembangan zaman tak membuat Udin berkecil hati. Dari gunting rambut manual kini beralih hair clipper elektrik yang bisa diisi ulang. Udin berusaha menyesuaikan. Semampu dia.
"Itu kan kan sudah enggak tajam toh. Sudah nggak tajam pertama, keduanya sekarang kan kalau ngerjakan motong kayak-kayak gitu kan lama toh, pada males. Karena zaman sudah maju," katanya.
Perkembangan zaman juga memunculkan berbagai barber shop. Udin tak gentar sedikitpun. Soal rezeki dia serahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Selama berusaha, perut pasti terisi.
"Oh, itu kecil. Saya semeleh (pasrah). Rezeki udah ada yang ngatur. Dia ke sana, rezekinya dia. Dia ke sini, rezekinya sini. Karena dia juga butuh rezeki untuk hidup," katanya.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
Nyatanya, 22 tahun di alun-alun, Udin masih tetap dicari. Mulai dulu saat jasa potong seharga Rp 5 ribu hingga sekarang Rp 10 ribu. Bahkan sampai ada yang secara khusus memanggil Udin.
"Nah, gitu. Jadi jangan wah kok ndono (kok ke tukang cukur sana). Nah, itu kotor pikirnya. Maunya ke sini semua," imbuh dia.
Satu-satunya yang dikhawatirkan Udin adalah cuaca. Sebab, lokasi tempatnya membuka lapak berada di ruang terbuka. Jadi, kalau gerimis dipastikan bubar. Misbar istilahnya.
"Kalau gerimis bubar. Tapi kadang saya pinjam di gedung itu (menunjuk gedung di depan lapaknya). Yang penting dibersihkan," ucapnya.
Di usianya yang sudah tak muda lagi itu, Udin merasa sudah selesai dengan hidup. Perut pasti butuh untuk diisi, tapi yang penting sehat agar perut terisi. Semeleh.
"Sehat ki ya senang. Rezeki udah diatur. Semeleh wae pikirane. Semeleh. Slow," ujarnya menutup perbincangan hangat di siang itu.
Simak Video "Anugerah Program Pendidikan Unggul"
[Gambas:Video 20detik]
(dil/dil)
Komentar Terbanyak
Kebijakan Blokir Rekening Nganggur Ramai Dikritik, Begini Penjelasan PPATK
Akhir Nasib Mobil Vitara Parkir 2,5 Tahun di Jalan Tunjung Baru Jogja
Megawati Resmi Dikukuhkan Jadi Ketum PDIP 2025-2030