Direktur Jenderal Promosi dan Pemanfaatan Peluang Kerja Luar Negeri Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Dwi Setiawan Susanto menanggapi munculnya tagar 'Kabur Aja Dulu' yang belakangan ramai di media sosial. Dia menilai orientasi yang tepat saat ini adalah bukan kabur dalam arti negatif namun keinginan untuk bekerja di luar negeri.
"Ya, jadi gini kita kan sekarang memang ada ekspresi ya, untuk bisa memiliki kesempatan ya bekerja di luar negeri. Jadi tagarnya sudah berubah nih. Tagarnya 'kerja ke luar negeri dulu yuk'. Tapi syaratnya ya harus mempunyai skill," kata Dwi saat ditemui wartawan usai seminar di UC UGM, Minggu (23/2/2025).
Dwi melihat fenomena ini sebagai peluang untuk bisa mengirim tenaga kerja ke luar negeri. Tentunya sebelum dikirim, para pekerja migran itu dibekali diri dengan baik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi fenomena ini merupakan satu hal yang apabila dipersiapkan, dilatih ya, kemudian dibekali, ya itu merupakan satu peluang bagi bangsa kita untuk menjadi duta-duta migran ya di lintas negara ya," ujarnya.
Sejauh ini, dia melihat para pekerja migran belum mempersiapkan diri dengan baik. Bahwa bekerja di luar negeri punya tantangannya dan kultur berbeda. Termasuk kualifikasi dasar yang dibutuhkan juga harus standar internasional.
"Sehingga KP2RI dalam hal ini kita menyiapkan itu ya. Jadi yang pertama tentu harus dilatih, harus memiliki sertifikasi. Harus mempunyai kemampuan berkomunikasi dalam bahasa internasional sesuai dengan negara yang dituju dan juga ya sikap mental harus dipersiapkan," ujarnya.
Menurutnya, peluang bekerja di luar negeri saat ini sangat terbuka lebar. Tahun lalu disebutnya ada 1,4 juta permintaan pekerja Indonesia ke luar negeri.
"Itu yang harus dipersiapkan dan peluangnya sangat besar ya dari job order yang ada sudah bisa mencapai 1,4 juta tahun lalu, kita baru bisa menyuplai 297.000 ada 1 juta peluang," katanya.
Dwi mengatakan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia berupaya meningkatkan kualitas tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri. Strategi yang diterapkan meliputi identifikasi jenis pekerjaan, pemetaan kompetensi, serta kolaborasi dengan lembaga-lembaga pelatihan.
"Bahasa adalah syarat utama, tetapi tidak cukup hanya itu. Misalnya, di sektor hospitality dan keperawatan, ada sertifikasi dan uji kompetensi yang harus dipenuhi. Jika pekerja sudah tersertifikasi, apresiasi terhadap insentif dan income mereka akan lebih tinggi," terang Dwi.
Di kesempatan yang sama, Ketua Umum Perkumpulan Lembaga Pelatihan Bahasa Korea se-Indonesia (Pelbakori), Mohammad Rosyidi mengungkapkan minat masyarakat Indonesia untuk bekerja di Korsel sangat besar. Tahun lalu, jumlah pendaftar mencapai 60.000 orang, menunjukkan bahwa negara itu menjadi salah satu destinasi favorit bagi pekerja migran Indonesia.
"Korsel ini termasuk negara yang menjanjikan dari sisi gaji, kesejahteraan, dan perlindungan bagi tenaga kerja asing. Dengan skema program goverment to government (G2G), keamanan pekerja lebih terjamin karena dilindungi langsung oleh pemerintah Korea," kata Rosyidi.
(ams/ams)
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan