Menerka Pesan Prabowo ke KPK Usai Rehabilitasi Eks Dirut ASDP

Jauh Hari Wawan S - detikJogja
Rabu, 26 Nov 2025 18:26 WIB
Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi resmi diberi hak rehabilitasi dari Presiden Prabowo Subianto. (Foto: ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)
Sleman -

Langkah Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada eks Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry, Ira Puspadewi, menuai sorotan dari kalangan akademisi hukum. Pemberian rehabilitasi ini dinilai sebagai bentuk diskresi presiden yang dijamin konstitusi, namun sekaligus menjadi alarm bagi aparat penegak hukum.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, menjelaskan publik perlu memahami perbedaan mendasar antara rehabilitasi yang diberikan Presiden dengan rehabilitasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Fatahillah menegaskan rehabilitasi yang diberikan Presiden didasarkan pada Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA).

"Ini berbeda dengan rehabilitasi dalam KUHAP. Kalau di KUHAP, rehabilitasi diberikan ketika upaya paksa atau penyidikan dianggap tidak sah menurut hakim praperadilan. Artinya, ada kesalahan prosedur dari penegak hukum," ujar Fatahillah saat dihubungi wartawan, Rabu (26/11/2025).

Menerka Pesan Prabowo di Balik Rehabilitasi

Namun, rehabilitasi Presiden adalah murni hak prerogatif atau diskresi kepala negara. Fatahillah menyoroti hingga saat ini belum ditemukan pengaturan teknis lebih lanjut mengenai Pasal 14 UUD 1945 tersebut selain di konstitusi itu sendiri.

"Jadi, tidak bisa dikatakan ada yang salah. Ini karena Presiden menggunakan diskresinya, bukan berdasarkan penilaian pengadilan," jelasnya.

Meski merupakan hak diskresi, Fatahillah mencatat ada pesan tersirat bagi KPK agar kasus serupa tidak terulang. Menurutnya, ada dua hal krusial yang harus diperbaiki oleh lembaga antirasuah tersebut.

"Pertama, KPK harus betul-betul memastikan kasus yang diangkat bukan merupakan keputusan bisnis (business judgment rule), melainkan murni fraud atau kecurangan," tegas Fatahillah.

Hal ini menjadi relevan ketika disandingkan dengan kasus-kasus lain yang memicu perdebatan publik. Seperti kasus impor gula yang menjerat Mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong.

"Pastikan kasus-kasus bukan keputusan bisnis tapi murni fraud," ujarnya.




(ams/alg)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork