Forum Sambung Rasa Kebangsaan menggelar acara Dialog Kebangsaan Untuk Indonesia Damai dengan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menjadi pembicara utama. Dalam forum ini Sultan juga bicara soal regenerasi Keraton Jogja.
Acara yang digelar di Sasono Hinggil, Alun-alun Selatan Keraton Jogja, ini dihadiri banyak tokoh penting. Mulai dari segmen pemerintahan, akademi, hingga seniman dan budayawan.
Di antaranya ada mantan Menkopolhukam Mahfud MD, mantan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan Ahmad Dofiri, budayawan Butet Kertaredjasa, hingga artis Soimah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Acara dengan format panel diskusi ini membuka kesempatan bagi tamu undangan untuk menanyakan apa saja kepada Sultan. Sesuai tema, pertanyaan yang muncul kemudian adalah soal kondisi pemerintah sekarang.
Seperti yang dikemukakan Butet, yang mempersoalkan etika orang-orang yang menduduki kursi pemerintahan sekarang yang ia nilai tidak memiliki etika dalam berucap, berpendapat, hingga membuat kebijakan.
"Yang tidak biasa hari ini menjadi seakan-akan biasa dan dibenarkan," kata Butet di Forum Sambung Rasa Kebangsaan Untuk Indonesia Damai, Minggu (26/10/2025).
Menanggapi itu, Sultan mengatakan etika adalah salah satu produk budaya tak benda. Dan budaya, menurutnya, bersifat dinamis atau bisa berubah-ubah sesuai zaman, termasuk etika.
"Budaya itu tidak tetap, tapi dinamis, menurut tantangan zamannya. Karena kehidupan ini juga lir gumanti, dalam arti kita hidup, besar, tua, mati, ganti generasi. Kepemimpinannya pun juga akan berganti. Produk budaya itu pasti mau tidak mau sesuai dengan tatanan zamannya," kata Sultan.
Sultan mengatakan soal etika dan perilaku antara generasi sekarang dengan anak cucu kelak pasti berbeda karena zamannya berbeda. Jika melihat anak-anak muda yang memimpin saat ini dianggap tidak beretika, menurut Sultan, itu merupakan hasil tafsiran sebagai orang tua.
"Jadi ketika anak saya, cucu saya melakukan sesuatu yang tidak nyaman, mungkin bagi dia ya tetep beretika. Karena bagi anak muda itu tidak dipersoalkan, yang mempersoalkan kita yang sudah tua," ucapnya.
"Kita harus menafsirkan kembali lagi kata harmoni. Dulu harmoni itu sekumpulan orang begini harus sama pola pikirnya, ada satu yang berbeda dikatakan ekstrim, tidak boleh," sambung Sultan.
Pun mengenai Jogja, kata Sultan, Jogja memang dikenal dengan feodalisme karena Keraton Jogja. Namun Jogja dinilai sebagai daerah dengan tingkat demokrasi tertinggi di Indonesia. Menurutnya, itu juga bagian dari kedinamisan budaya.
"Banyak orang yang tanya, mestinya Jogja itu feodal kan kerajaan, kenapa tingkat demokrasinya tinggi, ya saya anggap tidak mengerti aja, bahwa DIY bagian dari republik," papar Sultan.
Karena alasan DIY bagian dari Republik Indonesia itu juga, Sultan mengatakan, bentuk regenerasi pemerintahan di Keraton Jogja juga bisa mengikuti undang-undang di RI.
"Saya (datang) di MK untuk bicara wanita bisa dimungkinkan untuk regenerasi Keraton Jogja kok nggak boleh tu gimana, wong aturan itu di Keraton ndak ada kok," kata Sultan.
"Saya tunduk pada republik, republik tidak membedakan laki-laki sama perempuan, kenapa saya membedakan, kan tidak konsiten. Jaman sudah berubah, itu kan leluhur saya, saya kan bagian dari republik, harus tunduk pada undang-undang republik," tegasnya.
Sultan menambahkan, dengan dinamika yang terjadi saat ini, bergesernya budaya dan etika, Pemerintah harus membuka ruang dialog lebih luas agar tak terjadi miskomunikasi.
"Konsisten pemerintah dalam hal apapun memang diperlukan, tapi tetap disesuaikan dengan tantangan zaman, karena memang zaman sudah berubah, makin rumit, makin problematik," pungkas Sultan.
(dil/afn)












































Komentar Terbanyak
Sultan HB X soal Keracunan MBG di SMA Teladan: Saya Kan Sudah Bilang...
Jokowi Hadiri Acara Dies Natalis Fakultas Kehutanan UGM
Kenapa Harimau Takut sama Kucing? Simak Faktanya