Tewasnya Sultan Hamengku Buwono V merupakan salah satu topik yang menarik untuk dibahas karena masih abu-abu. Sebelum membahas akhir hidupnya, ada baiknya melihat perjalanan awal sang raja. Sultan HB V lahir dengan nama kecil Gusti Raden Mas Gathot Menol pada 1821 dan naik tahta di usia tiga tahun. Karena masih sangat belia, pemerintahannya dijalankan oleh Dewan Perwalian yang terdiri dari keluarga dan bangsawan, termasuk Pangeran Diponegoro.
Masa pemerintahannya berjalan dalam dua periode yang penuh dinamika. Ia sempat kehilangan tahta akibat intervensi Belanda yang mengembalikan Sultan HB II, lalu kembali naik tahta pada 1828 setelah HB II wafat.
Dikutip dari penjelasan Roger Allan Christian Kembuan dalam artikel Sejarah Kampung Pondol dan Komunitas Eksil Muslim di Kota Manado, berbeda dengan Diponegoro yang memilih jalur perlawanan, Sultan HB V menempuh kompromi dan diplomasi dengan kolonial. Langkah ini menimbulkan stabilitas, tetapi juga menuai kritik karena dianggap kurang tegas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di luar perdebatan itu, akhir hidup Sultan HB V justru meninggalkan misteri. Kisah wafatnya menyisakan banyak pertanyaan, termasuk siapa yang berada di balik peristiwa tragis tersebut. Bagaimana kisahnya? Mari kita simak!
Poin Utamanya:
- Sultan HB V wafat muda tanpa putra mahkota, memicu krisis suksesi.
- Tahta Jogja beralih ke adik HB V, Raden Mas Mustojo, menjadi HB VI.
- Ratu Sekar Kedaton dan putranya diasingkan ke Manado setelah upaya mempertahankan hak takhta gagal.
Tewasnya Sultan HB V di Tangan Istri Masih Simpang Siur
Dikutip dari buku Kitab Terlengkap Sejarah Mataram tulisan Soedjipto Abimanyu, Sultan HB V wafat pada 5 Juni 1855 dalam usia yang masih muda, yakni 34 tahun. Peristiwa wafatnya kemudian dikenal dengan istilah 'wereng saketi tresno', yang berarti wafat oleh yang dicinta.
Istilah ini muncul karena dalam banyak kisah disebutkan bahwa sang sultan dibunuh oleh permaisurinya sendiri, Kanjeng Mas Hemawati. Namun, alasan mengapa sang istri tega melakukan hal itu tidak pernah benar-benar jelas hingga kini. Sebagian kalangan menyebut adanya konflik internal, sementara yang lain menilai peristiwa itu berkaitan erat dengan dinamika politik dan hubungan keluarga di dalam keraton.
Cerita wafatnya Sultan HB V yang disertai sebutan wereng saketi tresno ini telah beredar luas dan menjadi bagian dari kisah tragis dalam sejarah Kesultanan Jogja. Namun, penjelasan pasti mengenai sebab kematiannya tidak pernah ditemukan dalam catatan resmi. Bahkan, kisah tersebut sering dianggap bercampur dengan mitos dan legenda yang hidup di masyarakat.
Hal itu juga ditegaskan oleh sejarawan Ilmiawati Safitri ketika diwawancarai. Ia menyebut bahwa catatan resmi keraton tidak pernah memberikan penjelasan gamblang tentang wafatnya sang sultan.
"Sampai sekarang itu untuk bukti-bukti otentik atau tulisan resmi yang dikeluarkan dari keraton itu masih simpang siur," ungkapnya dalam wawancara pada Rabu (17/9/2025).
Berbagai cerita kemudian berkembang di masyarakat. Ada yang menyebut Sultan HB V sakit, mengidap sifilis, menderita diabetes, hingga diracun oleh istri dari Mangkunegaran. Kisah terakhir ini kerap dikaitkan dengan larangan lahirnya darah campuran antara keturunan Jogja dan Solo.
"Pokoknya saya baca di bukunya yang ada mitos-mitosnya gitu lah. Nanti supaya tidak ada anak yang lahir adalah darah campur antara Jogja dengan Solo, gitu ya. Makanya diracun kopi gitu katanya," jelasnya.
Meski begitu, semua cerita itu masih berada dalam ranah rumor. Tidak ada satu pun bukti otentik yang bisa memastikan apakah Sultan HB V benar wafat karena dibunuh oleh istrinya atau karena sebab lain.
"Yang HB V itu masih misterius. Sampai sekarang saya juga belum menemukan sumber otentiknya. Apakah yang menyebabkan beliau akhirnya wafat" pungkas Ilmiawati.
Beloknya Alur Trah Raja Jogja
Sultan Hamengku Buwono V mangkat di usia muda, 35 tahun, dan meninggalkan kursi kosong yang seharusnya diisi oleh seorang putra mahkota. Ketiadaan penerus langsung ini memicu krisis suksesi di Jogja. Para bangsawan, pengawal keraton, dan pihak kolonial segera bergerak mencari pengganti yang aman secara politik sekaligus diterima secara adat.
"Ya, tidak memiliki putera mahkota dan wafat di usia muda," kata sejarawan Ilmiawati Safitri membenarkan.
Langkah kolonial dan pertimbangan adat membuat pilihan jatuh pada Raden Mas Mustojo, adik kandung HB V. Ia dianggap lebih aman secara politik dan lebih sesuai dengan aturan adat yang berlaku. Dengan persetujuan Belanda dan dukungan bangsawan, Mustojo naik tahta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono VI. Inilah yang menjadi titik balik sejarah karena untuk pertama kalinya tahta Jogja beralih bukan kepada keturunan langsung sang sultan sebelumnya.
"Sebetulnya masih sama saja ya. Semuanya masih dari Sultan Agung, masih dari Panembahan Senopati, kan sama-sama masih adik kandung," jelas Ilmiawati.
Permaisuri HB V Dibuang ke Manado
Hanya dua minggu setelah HB V wafat, Kanjeng Ratu Sekar Kedaton melahirkan seorang putra bernama RM Gusti Timur Muhammad, yang kelak dikenal sebagai Pangeran Suryeng Ingalaga. Kehadiran sang putra menimbulkan persoalan baru, karena tahta sudah diduduki pamannya. Sejak saat itu, konflik mengenai hak waris trah raja Jogja pun dimulai.
Pengangkatan Raden Mas Mustojo sebagai Sultan Hamengku Buwono VI membuat Ratu Kedaton kehilangan posisi politiknya. Ia sempat berusaha mempertahankan hak putranya dengan membangun persekutuan dan menggalang dukungan di dalam keraton, termasuk bekerja sama dengan GKR Ratu Kencono, istri pertama Sultan HB VII. Namun, upaya ini tidak membuahkan hasil.
Pada awal April 1883, setelah langkah-langkah damai dan persekutuan politiknya gagal, Ratu Kedaton memutuskan meninggalkan Jogja bersama putranya dan pengikutnya. Mereka bergerak dengan tiga kereta kuda menuju Magelang, tetapi pasukan Belanda dan bupati Sleman segera mengejar. Rombongan Ratu Kedaton berhasil dikepung di Desa Balerante, kaki Gunung Merapi, pada 6 April 1883. Pangeran Suryeng Ingalaga ditawan, dan Ratu Kedaton menyerah pada 8 April 1883.
Setelah penyerahan, pemerintah kolonial segera berkoordinasi dengan Sultan HB VII terkait nasib Ratu Kedaton. Tiga hari kemudian, pada 11 April 1883, Sultan secara resmi mengeluarkan surat keputusan pengasingan:
"Gusti Kanjeng Prameswari (Ratu Kedaton) dan Kangmas Pangeran Suryaningalogo berdua, aku pindahkan dari Negeri Ngayogyakarta ke Negeri Manado, sebab... berani membangkang (mbalelo) kepada Raja."
Ratu Kedaton dan Pangeran Suryeng Ingalaga kemudian dibawa dengan kereta api khusus ke Semarang, diteruskan dengan kapal uap menuju Surabaya, dan akhirnya sampai di tempat pengasingan mereka di Manado. Dengan demikian, berakhirlah rangkaian panjang perebutan takhta yang dipimpin oleh Ratu Kedaton.
Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa wafatnya Sultan HB V tidak hanya meninggalkan misteri tentang penyebab kematiannya, tetapi juga mengubah alur garis keturunan dan politik keraton Jogja secara signifikan.
(par/par)
Komentar Terbanyak
Pakar UII Tak Percaya Ada Beking di Kasus Ijazah Jokowi: Ini Perkara Sepele
Mencicip Kue Kontol Kejepit di Keramaian Pasar Kangen Jogja
Sederet Fakta Heboh Surat Perjanjian SPPG Minta Rahasiakan Kasus Keracunan