Begini Modus Dokter Gadungan Bantul Cari Pasien hingga Keruk Rp 538 Juta

Begini Modus Dokter Gadungan Bantul Cari Pasien hingga Keruk Rp 538 Juta

Tim detikJogja - detikJogja
Jumat, 19 Sep 2025 11:11 WIB
Rilis kasus wanita asal Sragen yang jadi dokter gadungan di Polres Bantul, Kamis (18/9/2025).
Rilis kasus wanita asal Sragen yang jadi dokter gadungan di Polres Bantul, Kamis (18/9/2025). Foto: dok. detikJogja
Jogja -

Seorang perempuan asal Gemolong, Sragen, Jawa Tengah, inisial FE (26), ditangkap karena melakukan praktik sebagai dokter gadungan di Bantul. Begini modus yang dipakai lulusan SMA itu untuk mengeruk korbannya hingga Rp 538 juta.

Kasat Reskrim Polres Bantul, AKP Achmad Mirza, menuturkan awalnya korban, J, tengah mencari terapi untuk pengobatan bagi anaknya pada tahun 2024. Ia diberi tahu ada sebuah klinik milik dokter berinisial FE di Pedusan.

"Korban lalu mendaftar untuk program terapi di tempat pelaku dan diminta membayar Rp 15 juta," kata Achmad kepada wartawan saat jumpa pers di Polres Bantul, Kamis (18/9/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa pekan usai mendaftar, J diberi tahu pelaku jika anaknya mengidap Mythomania. Diketahui, mythomania merupakan gangguan mental yang ditandai dengan kebiasaan berbohong secara kompulsif atau patologis.

ADVERTISEMENT

"Korban lalu diminta lagi membayar biaya tambahan sebesar Rp 7,5 juta," ujarnya.

Akal Bulus Pelaku Berlanjut

Modus licik FE tidak berhenti sampai di situ. Pada bulan Agustus 2024, dia meminta J untuk membayar jaminan pengobatan sebesar Rp 132 juta. Kemudian di bulan November 2024, J diarahkan lagi untuk menebus biaya psikologi Rp 7,5 juta.

"Lalu FE mengaku sudah menalangi (menanggung sementara) Rp 46,95 juta. Karena itu korban menyerahkan sertifikat tanah atas nama ayah kandung sebagai jaminan," ucapnya.

Pada bulan Februari 2025, secara tiba-tiba FE memvonis anak J mengidap HIV. Saat itu, FE menawarkan kepada korban pengobatan yang dibanderol Rp 320 juta.

"Dan sekitar bulan Juli 2025 korban diminta untuk membayar Rp 10 juta dengan iming-iming deposit anak korban turun atau cair," katanya.

Curiga dengan Diagnosis Pelaku

J jelas curiga dengan diagnosis yang disampaikan FE, dan berinisiatif melakukan pengecekan lagi di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Sebab, FE sempat mengaku bekerja di rumah sakit milik Kementerian Kesehatan tersebut.

Hasil pemeriksaan itdi RSUP Sardjito ternyata berbeda dan membuat J meradang. Sebab, dia sudah habis hingga Rp 538 juta, termasuk menyerahkan sertifikat tanahnya. Dia pun langsung melapor ke Polres Bantul.

"Akhirnya hari Jumat (5/9/2025) polisi mengamankan pelaku di Pedusan, Sedayu, Bantul. Setelah dilakukan interogasi, pelaku mengakui perbuatannya dan langsung dibawa ke Polres Bantul untuk penyidikan lebih lanjut," ucapnya.

Terungkap Hanya Lulusan SMA

Dari penangkapan tersebut, polisi juga menyita sejumlah barang bukti, mulai dari alat-alat kesehatan, pakaian dokter hingga obat-obatan. Saat diperiksa, terungkap FE bukanlah dokter.

"Dari pemeriksaan ternyata FE ini bukan dokter, dia hanya mengaku sebagai dokter. Selain itu FE merupakan lulusan SMA, jadi tidak ada background pendidikan untuk profesi dokter," katanya.

Terungkap juga FE sehari-sehari membuka bimbingan belajar (bimbel). Namun, kepada orang tua yang anaknya diikutkan bimbel pelaku, ia mengaku sebagai dokter.

"Modusnya pelaku punya bimbel tapi mengaku dokter secara lisan dan warga sana juga tahunya pelaku itu dokter. Karena itu saudara korban memberi tahu kalau ada terapi di Sedayu itu tadi," ujarnya.

Bahkan, untuk meyakinkan warga, FE ternyata membuat ruangan untuk pengobatan. Terkait adanya korban lain dari aksi FE, polisi masih mendalaminya.

"Lalu untuk uang hasil menipunya itu dari pengakuan digunakan untuk keperluan pribadi pelaku dan sudah habis," ucapnya.

Atas perbuatannya, FE disangkakan Pasal 378 KUHP tentang penipuan dengan ancaman hukuman maksimal 4 tahun penjara. Selain itu, FE juga disangkakan Undang-undang (UU) No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 439 UU 17/2023 dan atau 441 UU 17/2023.

"Untuk ancamannya maksimal 5 tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta," katanya.




(apu/ams)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads