Hukum Sholat Rabu Wekasan Menurut Pandangan Ulama

Hukum Sholat Rabu Wekasan Menurut Pandangan Ulama

Ulvia Nur Azizah - detikJogja
Rabu, 20 Agu 2025 09:38 WIB
Sholat dhuha
Ilustrasi sholat. (Foto: afiq fatah/Unsplash)
Jogja -

Sholat Rabu Wekasan, sholat Rabu Panutup, atau sholat lidaf'il bala'i, adalah sholat yang dilakukan pada Rabu terakhir bulan Safar. Meskipun tidak memiliki dasar hukum yang jelas, banyak umat Islam tetap melaksanakannya sebagai bagian dari tradisi keagamaan setempat. Lantas, seperti apa hukum sholat Rabu Wekasan menurut pandangan ulama? Inilah yang perlu dicari tahu lebih dalam oleh umat Islam.

Sholat ini dilakukan untuk menghindari bala atau penyakit yang dipercaya turun pada hari tersebut, yaitu sebanyak 320.000 bala. Praktiknya dilakukan empat rakaat, setiap rakaat membaca Al-Fatihah, Al-Kautsar 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, dan kedua Mu'awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas) masing-masing sekali. Setelah salam, doa dibaca dan kertas bertuliskan huruf tertentu dibenamkan dalam air lalu diminum sebagai bentuk perlindungan.

Karena banyak umat Islam yang melaksanakan sholat khusus pada malam Rabu terakhir di bulan Safar, mari kita cari tahu bagaimana ulama memandang ibadah tersebut. Penjelasan ini dihimpun detikJogja dari buku Penuntun Praktis Shalat: Sudah Benarkah Shalat Kita tulisan Gus Arifin serta laman resmi NU Online. Mari kita simak!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hukum Sholat Rabu Wekasan Menurut Pandangan Ulama

Pendapat ulama mengenai hukum sholat Rabu Wekasan terbelah menjadi dua, yaitu melarang atau mengharamkan dan memperbolehkan. Masing-masing juga memiliki dasar yang kuat.

ADVERTISEMENT

1. Pendapat Ulama yang Melarang Sholat Rabu Wekasan

Sholat Rabu Wekasan, yang juga dikenal di Banten sebagai Sholat Rabu Panutup, tidak memiliki dasar hukum dalam syariat Islam. Dalam Kitab Hamisy I'anatut Thalibin juz 1 halaman 270 disebutkan bahwa sholat-sholat yang dikenal pada malam Raghaib, Nisfu Syaban, dan hari Asyura merupakan bid'ah yang buruk dan hadits-haditsnya palsu. Hal ini dijadikan rujukan bahwa sholat Rabu Wekasan termasuk dalam kategori ibadah tanpa dalil yang shahih.

Prinsip fiqih yang mendasari pelarangan ini adalah kaidah "Asal dalam ibadah, apabila tidak dianjurkan, maka tidak sah," sebagaimana dinyatakan oleh Syekh Sulaiman Al-Bujairimi dalam Tuhfah Al-Habib. Berdasarkan kaidah ini, sholat yang tidak memiliki nash atau contoh dari Nabi Muhammad dianggap tidak sah dan haram jika diniatkan secara khusus, misalnya dengan niat sholat Rabu Wekasan atau sholat Safar.

Dalam kitab I'anatut Thalibin, Syekh Abu Bakr bin Syatha menegaskan bahwa sholat-sholat yang tidak memiliki dasar hadits yang kuat seperti sholat Raghaib, Nisfu Syaban, Asyura, sholat di akhir Ramadhan, dan sholat ushbu, termasuk bid'ah yang tercela. Orang yang melakukannya berdosa, dan pemerintah wajib mencegah pelaksanaannya. Hadits-hadits yang dijadikan dalil bagi sholat-sholat tersebut dianggap palsu atau tidak sah. Dengan prinsip yang sama, sholat Rabu Wekasan termasuk dalam kategori bid'ah yang tidak diperbolehkan.

Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari menegaskan dalam fatwanya bahwa sholat Rabu Wekasan haram. Beliau menekankan bahwa anjuran sholat sunnah mutlak hanya berlaku untuk sholat yang disyariatkan berdasarkan hadits shahih, sehingga tidak dapat diterapkan pada sholat Rabu Wekasan.

KH Hasyim menjelaskan bahwa kitab-kitab fiqih klasik, seperti Al-Taqrib, Al-Minhaj Al-Qawim, Fath Al-Mu'in, Al-Tahrir, Al-Nihayah, Al-Muhadzab, dan Ihya' Ulum Al-Din, sama sekali tidak menyebut sholat Rabu Wekasan. Beliau juga menegaskan bahwa hadits yang umum tentang memperbanyak atau mengurangi sholat hanya berlaku untuk sholat yang disyariatkan, bukan sebagai pembenaran untuk sholat baru yang muncul seperti Rabu Wekasan.

Imam Ahmad Mushthafa Al-Maraghi juga menyatakan bahwa cerita mengenai adanya hari tertentu, termasuk Rabu terakhir bulan Safar, yang membawa sial atau bala', tidak benar sama sekali. Sedangkan Imam Ismail Muhammad Al-Ajaluni menekankan bahwa mempercayai dugaan semacam itu termasuk tathayyur dan hukumnya sangat haram. Hal ini menegaskan bahwa pelaksanaan sholat Rabu Wekasan yang terkait dengan kepercayaan akan keselamatan dari bala' adalah tidak diperbolehkan dalam syariat.

2. Pendapat Ulama yang Membolehkan Sholat Rabu Wekasan

Di sisi lain, ada ulama yang memperbolehkan sholat Rabu Wekasan dengan syarat tertentu, yaitu diniatkan sebagai sholat sunnah mutlak. Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds Al-Maki menegaskan bahwa sholat Rabu Wekasan termasuk dalam sholat yang diharamkan jika diniatkan secara khusus.

Namun, jika diniatkan sebagai sholat sunnah mutlak, sholat ini diperbolehkan. Sholat sunnah mutlak adalah sholat yang tidak terikat waktu, jumlah rakaat, atau sebab tertentu, sehingga seseorang bebas melaksanakannya tanpa mengikuti tata cara tertentu.

Syekh Abdul Hamid menjelaskan tata cara dan doa sholat Rabu Wekasan dalam kitabnya Kanz Al-Najah wa Al-Surur, dan Syekh Ibnu Khatiruddin Al-Athar juga menyebutkan amalan ini dalam Al-Jawahir Al-Khams. Praktik sholat ini dilakukan di beberapa daerah, baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri.

Dengan cara ini, pelaksanaan sholat Rabu Wekasan tidak dianggap bid'ah, karena niatnya bukan untuk mendapatkan manfaat khusus dari hari tertentu, melainkan semata-mata sebagai sholat sunnah mutlak yang diperbolehkan kapan saja. Ulama yang membolehkan menekankan bahwa perbedaan pendapat ini merupakan rahmat bagi umat, karena membuka ruang bagi ibadah tanpa keluar dari batas syariat.

Jadi, itulah tadi pendapat para ulama mengenai hukum sholat Rabu Wekasan yang terbagi menjadi dua. Wallahua'lam




(sto/dil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads