5 Larangan Rebo Wekasan, Benarkah Dilarang Menikah?

5 Larangan Rebo Wekasan, Benarkah Dilarang Menikah?

Nur Umar Akashi - detikJogja
Selasa, 19 Agu 2025 16:47 WIB
Arab Emirati family outdoors in park.
Ilustrasi menikah. Foto: Getty Images/iStockphoto/aydinmutlu
Jogja -

Kepercayaan tentang turunnya bala atau kesialan pada Rebo Wekasan masih hidup di tengah masyarakat sampai sekarang. Tidak heran jika keyakinan demikian lalu berkembang menjadi sederet larangan.

Dirujuk dari Repository IAIN Kudus, Rebo adalah bahasa Jawa untuk Rabu, sedangkan Wekasan bermakna pungkasan atau akhir. Maka, Rebo Wekasan adalah hari Rabu terakhir. Namun, bulan Rabu terakhir yang diyakini terjadi kesialan adalah hari Rabu terakhir di bulan Safar.

Umma Farida dalam tulisannya, 'Rebo Wekasan Menurut Perspektif KH Abdul Hamid dalam Kanz Al-Najah wa al-Surur' yang dimuat Jurnal Theologia menerangkan bahwa keyakinan adanya malapetaka saat Rebo Wekasan didasari pendapat KH Abdul Hamid.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, saat Rabu terakhir Safar itu tiba, Allah SWT menurunkan ratusan ribu, tepatnya 320 ribu, jenis musibah dan kesialan. Dengan demikian, Rebo Wekasan menjadi waktu paling berat dalam setahun. Penulis Kanzun Najah was Surur itu juga menganjurkan umat Islam untuk banyak berdoa dan beramal saat Rebo Wekasan.

Pemikiran KH Abdul Hamid tersebut terpatri di benak sebagian masyarakat sampai sekarang. Tak hanya meyakini bala, beberapa hal juga terlarang untuk dikerjakan saat Rebo Wekasan berlangsung. Apa saja? Simak uraiannya di bawah ini.

ADVERTISEMENT

Larangan-larangan Rebo Wekasan

1. Menikah

Abdulloh dalam skripsinya, Pandangan Tokoh Masyarakat Terhadap Pantangan Pelaksanaan Pernikahan di Bulan Safar Perspektif Hukum Islam, menjelaskan kepercayaan masyarakat Desa Suci, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, yang meyakini pantangan menikah saat bulan Safar, termasuk tentunya Rebo Wekasan.

Masyarakat setempat yakin, jika pantangan ini dilanggar, akan timbul kemudharatan dalam rumah tangga yang baru saja dibentuk. Bukan tidak mungkin pasangan yang baru saja menikah itu mengalami masalah ekonomi atau ketidakharmonisan.

Meski tidak semua penduduk Desa Suci percaya, secara umum, pantangan menikah bulan Safar masih tetap berlaku. Hal ini disebabkan ajaran mendarah daging yang telah lama diturunkan antargenerasi sehingga mengakar kuat.

2. Melahirkan

Sebenarnya, melahirkan bukanlah larangan. Sebab, prosesi kelahiran tidak termasuk hal yang bisa ditunda dan direncanakan sesuka hati. Meski begitu, bagi masyarakat Desa Girijaya, Kecamatan Seketi, Pandeglang, Kabupaten Banten, bayi yang lahir pada saat Rebo Wekasan dikhawatirkan bakal memiliki perangai buruk.

Yang dimaksud perangai buruk meliputi pribadi nakal dan suka marah-marah. Atau, biasa dikenal dengan istilah 'sasafaeun' dalam bahasa Sunda sebagaimana dijelaskan oleh Dede Nur Afiyah dari UIN Syarif Hidayatullah lewat skripsinya yang bertajuk Ritual Perayaan Rebo Kasan Desa Girijaya, Kecamatan Saketi, Pandeglang, Banten.

3. Membangun Rumah

Dalam skripsinya, Afiyah menjelaskan bahwa masyarakat Desa Girijaya juga sangat jarang membangun rumah pada bulan Safar. Pantangan ini berangkat dari keyakinan akan datangnya makhluk ghaib jika mereka coba-coba membangun rumah. Masyarakat percaya, rumah yang dibangun pada bulan kedua kalender Hijriah akan dijadikan bersemayam makhluk ghaib.

4. Melakukan Perjalanan Jauh

Bagi masyarakat Desa Girijaya pantangan lain Rebo Wekasan dan bulan Safar secara umum adalah bepergian jauh. Ditakutkan, saat sedang melakoni perjalanan, malapetaka turun menimpa.

Larangan ini juga diperkuat dengan keyakinan bahwa pada bulan Safar, banyak orang mudah marah. Perkara sedikit saja sudah bisa menyulut emosi. Bagi masyarakat desa yang berlokasi di Banten tersebut, Safar dianggap sebagai bulan panas.

Pun, ada kepercayaan bahwa pada bulan Safar, para penguasa ilmu sihir akan melakukan ritual khusus. Diyakini, kemampuan tukang-tukang sihir meningkat drastis saat Safar berlangsung. Siapa saja yang terkena akan sulit disembuhkan.

5. Melakukan Pekerjaan Berbahaya

Disadur dari dokumen unggahan Digilib UIN Sunan Gunung Djati, bagi masyarakat Cirebon, Rebo Wekasan adalah hari yang penuh marabahaya. Oleh karena itu, masyarakat menghindari berbagai macam kegiatan agar tidak terkena hal-hal yang tak diinginkan.

Salah satu bentuk usaha untuk menghindari bala adalah tidak melakukan pekerjaan berbahaya dan bepergian jauh. Alih-alih, masyarakat Cirebon akan banyak melakukan kegiatan sosial, seperti sedekah untuk anak yatim dan silaturahmi antarsesama.

Pandangan Islam Terhadap Rebo Wekasan

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid dalam bukunya, 15 Faedah Terkait Bulan Safar, menerangkan bahwa kepercayaan akan hari sial pada bulan kedua kalender Islam ini sudah hidup sejak zaman jahiliah. Keyakinan ini kemudian dibantah setelah Islam datang.

Melalui sabdanya, Nabi Muhammad SAW menjelaskan:

Ω„ΩŽΨ§ ΨΉΩŽΨ―Ω’ΩˆΩŽΩ‰ΨŒ ΩˆΩŽΩ„ΩŽΨ§ طِيَرَةَ، ΩˆΩŽΩ„ΩŽΨ§ Ω‡ΩŽΨ§Ω…ΩŽΨ©ΩŽΨŒ ΩˆΩŽΩ„ΩŽΨ§ ءَفَرَ

Artinya: "Tidak ada 'adwa (keyakinan adanya penularan penyakit dengan sendirinya dan bukan karena takdir Allah), tidak ada thiyarah (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), tidak ada hamah (keyakinan jahiliah tentang reinkarnasi), dan tidak pula safar (menganggap bulan Safar sebagai bulan sial atau keramat)." (HR Bukhari no 5705 dan Muslim no 2220)

Dengan demikian, Islam menentang keyakinan turunnya malapetaka atau kesialan pada bulan Safar beserta Rebo Wekasan di dalamnya. Safar sendiri punya kedudukan sama dengan berbagai bulan lain, tidak buruk, tidak pula punya keutamaan.

Berkata Ibnu Rajab al-Hanbali: "Adapun mengkhususkan anggapan sial pada suatu masa atau waktu tertentu seperti bulan Safar atau selainnya merupakan sesuatu yang keliru karena semuanya adalah makhluk Allah yang di dalamnya terjadi takdir-takdir dan perbuatan anak cucu Adam."

Wallahu a'lam bish-shawab.

Nah, itulah pembahasan ringkas mengenai 5 larangan atau pantangan Rebo Wekasan. Semoga bisa menambah wawasan detikers, ya!




(par/aku)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads