Dinas Sosial (Dinsos) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menerima rujukan rehabilitasi satu warga Jogja yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang dipekerjakan online scam (penipuan online) di Kamboja. Berikut kisah satu korban tersebut.
Kepala Dinsos DIY, Endang Patmintarsih, mengatakan korban tersebut dirujuk oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) bernama Rekso Dyah Utami (RDU). Pusat layanan itu berada di bawah Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY.
"Dia korban, salah ikut TKW yang ilegal, ketemu informasi di Facebook, ditawarin kerja, awalnya katanya restoran. Ternyata di sana dipekerjakan melalui IT untuk dia menipu orang Indonesia sendiri," jelas Endang saat dihubungi, Jumat (18/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Misteri Tewasnya Diplomat Muda Lulusan UGM |
"Dia berusaha (pulang) sendiri, dia melarikan diri, dia kedubes di Kamboja, dia minta tolong di sana, dibantu kedubes. Ini dia bisa pulang ke Indonesia, lalu kita dapat rujukan untuk kita rehabilitasi, jadi memang ada di kami untuk rehabilitasi sosial," sambungnya.
Endang mengatakan korban sudah sekitar 2 bulan direhabilitasi sosial untuk menghilangkan traumanya. Meski begitu, ia tak merinci kasus yang menjerat korban di Kamboja, termasuk berapa lama korban berada di sana.
"Kalau rehabilitasi tergantung permasalahan kliennya ya, tapi ini kayaknya sudah semakin membaik. Dia katanya ingin mandiri, mau usaha, tapi ini perlu pendampingan," paparnya.
"Makanya karena ini yang merujuk dari RDU DP3P2 ya kami koordinasikan. Masih muda, masih 30-an, warga Kota Jogja. Berangkat sendiri, berangkat dari Bali, jadi dia sudah lama juga di Bali," imbuh Endang.
Cerita Korban
Adalah Puspa, bukan nama sebenarnya, perempuan muda asal Jogja yang menjadi korban TPPO Scam di Kamboja. Ia menceritakan awal mula dirinya bisa pergi ke Kamboja yang informasinya ia dapat melalui media sosial.
"Saya cari pekerjaan di sosial media Facebook. Saya memposting saya bisa kerja, apa pengalaman saya. Lalu ada seorang wanita yang inbox ke Facebook saya," jelas Puspa melalui keterangan tertulis yang dibagikan Pemda DIY hari ini.
"Dia menawarkan pekerjaan awalnya di Macau. Lalu saya tukeran nomor WhatsApp. Kita hubungannya lewat WhatsApp, telepon-teleponan, WhatsApp-an, dan sempat video call juga. Kita intens satu bulan penuh kita berhubungan," paparnya.
Kepada Puspa, kenalannya itu mengaku punya restoran di Thailand dan menawarkan posisi staf dapur dengan gaji 900 dolar. Dokumen dan visa kerja pun dijanjikan akan diurus di negara tersebut. Namun tiket yang diberikan bukan ke Thailand.
"Saya bertanya, kenapa saya dibelikan tiket ke Ho Chi Minh (Vietnam), kenapa tidak ke Thailand langsung. Tapi ia bilang untuk tenang dan percaya saja. Dari Ho Chi Minh, saya dijemput seorang pria menggunakan motor untuk menuju ke Kamboja. Tapi itu saya belum tahu kalau mau dibawa ke Kamboja," ujarnya.
Usai melewati portal imigrasi Kamboja, Puspa baru sadar jika ia tak lagi bisa menghubungi wanita kenalannya tersebut. Setelahnya, ia dibawa ke pasar oleh orang yang berbeda. Ia melihat seorang pria memberikan uang ke orang yang membawanya.
Kemudian Puspa dibawa ke sebuah gedung apartemen lalu dimasukkan ke ruangan berisi sekitar 45 pria yang bekerja menggunakan komputer. Ia yang kebingungan kemudian bertanya pada salah satu orang di sana.
Pada momen itu ia baru tahu jika itu pekerjaan scammer atau penipuan online. Kata Puspa, pemilik tempat scammer itu orang Tiongkok yang berkantor di Kamboja, dan sengaja mempekerjakan orang Indonesia untuk menargetkan korban orang Indonesia.
"Kamu tipulah banyak-banyak orang Indonesia. Kamu tidak akan bisa dipenjara. Dan jika kamu tidak bisa menipu, kamu akan merasakan denda atau hukuman. Begitu yang mereka katakan," ujarnya.
Cara Kerja Penipuan Online
Puspa menceritakan, di sana bekerja dalam sistem tim yang terdiri dari CS, resepsionis, dan mentor. Leader akan membagi link ke resepsionis dan CS. CS akan mengolah, menawarkan iklan dan segala hal, serta memberikan komisi awal sebesar Rp 18 ribu atau Rp 22 ribu.
Para korban diarahkan untuk mengunduh aplikasi dari Google bukan Play Store, lalu diminta top up secara bertahap, Rp 110 ribu, Rp 160 ribu, Rp 180 ribu, dan seterusnya. Korban dijanjikan bisa menarik dana dengan bimbingan dari admin yang tampak profesional.
Setelah itu, korban masuk ke grup berisi satu korban asli dan empat akun palsu atau aktor yang menggunakan foto polisi, tentara, hingga wanita atau pria. Grup dikendalikan oleh mentor untuk membangun kepercayaan.
Korban lalu melakukan top up lanjutan sebesar Rp 380 ribu hingga jutaan rupiah. Pada tahap akhir, korban diminta top up Rp 15 hingga 18 juta dan tetap dikenai pajak tambahan Rp 7 hingga 8 juta.
Ketika korban hendak menarik dana, hanya Rp 1 juta yang bisa dicairkan. Jika mencoba menarik Rp 10 juta, akan muncul alasan 'kesalahan VIP' dan korban diminta membayar tambahan Rp 16 hingga 18 juta. Jika saldo korban besar, misalnya Rp 50 juta, maka akan diminta membayar hingga Rp 100 juta untuk memperbaiki sistem VIP.
"Agar tidak tertipu, kalau di-add di grup, lebih baik chat ke personal yang ada di dalam grup itu ajak spam, biar grupnya hilang. Terus jangan tergiur dengan uang instan, kayak pendapatan instan, itu nggak ada. Kita harus susah dulu baru dapat hasil. Kalau dapat link-link mencurigakan, jangan dibuka, lebih baik tinggalkan, blokir aja," papar Puspa.
Puspa bilang, penipuan ini biasanya dijalankan lewat aplikasi Telegram dengan metode sangat halus. Nomor telepon yang digunakan pun nomor Indonesia, sehingga sulit dikenali.
"Jangan percaya. Khususnya buat ibu-ibu sama mahasiswa sih, mahasiswa gampang sekali tertipu dan ibu-ibu rumah tangga juga gampang. Jangan percaya," tegas Puspa.
"Kalau ragu, lebih baik browsing. Kita cari tahu di internet. Cari tahu apa sih TikTok Mall itu? Mesti muncul kok itu penipuan. Akun ini, mesti muncul kok itu akun penipuan. Dan scam itu udah lama. Kalau udah masuk uang, kita nggak akan kembali," imbuhnya.
Cerita korban TPPO ditarget ratusan juta tipu orang Indonesia bisa dibaca di halaman berikut:
Ditarget Ratusan Juta Sebulan
Dalam sebulan, Puspa ditargetkan menipu hingga Rp 300 juta. Jika hanya mendapat separuh, ia hanya menerima 50% gaji. Jika hanya Rp 100 juta, ia tidak digaji. Ia mengaku gaji awalnya memang USD 800, namun harus dipotong denda dan ia tidak tahu pasti berapa yang ia terima. Puspa juga harus menerima hukuman bila tak memenuhi target.
"Risiko yang kita alami, kita bisa disetrum, atau dilempar dari lantai tiga, dan itu sudah teman saya alami. Kita bisa dipukuli satu kantor. Setiap kita masuk ke ruangan bos, di situ sudah ada setrum, pistol, dan tongkat panjang," ungkapnya.
Selain itu, kata Puspa, jam kerja juga tak masuk akal, yakni dimulai dari pukul 9 pagi sampai 12 malam. Jika terlambat, tentu akan didenda USD 10.
"Denda yang kita alami itu seperti ke toilet lebih dari 6 kali, didenda USD 10. Melebihi batas maksimal di toilet 10 menit, didenda USD 10. Tidur atau memejamkan mata sebentar, didenda USD 50 atau Rp750.000. Telat kerja juga kena denda. Tidak boleh buka YouTube atau aplikasi lain, komputer hanya untuk kerja," jelasnya.
Jika dianggap tidak berguna, pekerja akan dijual ke perusahaan lain, dan harus membayar denda sebesar Rp 15 juta. Skema inilah yang menurutnya menjadi ketakutan terbesar para korban TPPO. Tidak hanya soal gaji, untuk makan pun tidak manusiawi.
"Kita diberi makan, tapi yang harus dimakan itu saren, babi, katak. Dan kita tidak punya pilihan lain," ungkapnya.
Puspa mengaku sudah berusaha menghubungi KBRI untuk minta dievakuasi, namun statusnya sebagai PMI ilegal menyulitkannya. Ia ditahan selama satu bulan di imigrasi Kamboja sambil menunggu deportasi.
Singkat cerita, Puspa akhirnya berhasil kembali ke Indonesia. Meski sempat tertekan, ia tetap berupaya mencari bantuan. Dari BP3MI, Puspa diarahkan ke Dinas Sosial DIY.
"Saya dibantu semuanya dari mental, kebutuhan hidup, kebutuhan pangan pun saya dibantu sampai saat ini. Di situ saya mendapatkan bantuan pendampingan psikiater, pengobatan untuk biaya perobatan saya, makan, dan lainnya," ungkapnya.
"Saya ingin membahagiakan keluarga tanpa harus bekerja di luar negeri, tapi berkarya di sini," pungkas Puspa.
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan
Siapa yang Menentukan Gaji dan Tunjangan DPR? Ini Pihak yang Berwenang