Apa Itu Avoidant? Ini Pengertian, Ciri-ciri, dan Cara Mengatasinya

Apa Itu Avoidant? Ini Pengertian, Ciri-ciri, dan Cara Mengatasinya

Ulvia Nur Azizah - detikJogja
Sabtu, 21 Jun 2025 14:35 WIB
Ilustrasi pasangan yang memiliki avoidant attachment style
Ilustrasi pasangan yang avoidant. (Foto: tirachard/Freepik)
Jogja -

pernahkah kamu merasa sulit untuk membuka diri atau menjaga jarak secara emosional dalam hubungan, bahkan dengan orang terdekat? Bisa jadi ini adalah tanda dari gaya keterikatan avoidant. Sudah tahu apa itu avoidant?

Istilah ini mungkin terdengar asing bagi sebagian orang. Namun faktanya, ini adalah pola hubungan yang terbentuk sejak masa kanak-kanak dan bisa berdampak besar dalam kehidupan dewasa, terutama dalam menjalin kedekatan secara emosional.

Dikutip dari Cleveland Clinic, gaya keterikatan atau attachment style adalah pola dalam menjalin hubungan yang terbentuk sejak kecil, berdasarkan bagaimana orang tua atau pengasuh utama merespons kebutuhan emosional kita. Jika seorang anak tumbuh dengan pengasuh yang secara emosional kurang hadir atau tidak responsif, mereka bisa mengembangkan gaya keterikatan avoidant.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ingin memahami apa itu avoidant? Mari simak pembahasan mendalam berikut ini yang dihimpun dari laman Attachment Project, Medical News Today, WebMD, dan Cleveland Clinic!

Apa Itu Avoidant?

Avoidant attachment atau gaya keterikatan menghindar adalah salah satu dari empat gaya keterikatan yang dikenal dalam psikologi. Gaya ini terbentuk ketika seseorang terbiasa mengandalkan diri sendiri secara emosional sejak kecil, sehingga saat dewasa mereka cenderung menjaga jarak dalam hubungan. Orang dengan gaya keterikatan ini biasanya terlihat sangat mandiri dan tidak nyaman dengan kedekatan emosional yang mendalam.

ADVERTISEMENT

Dalam kehidupan sehari-hari, orang dengan gaya avoidant sering kali tampak tenang dan tidak membutuhkan banyak perhatian dari orang lain. Mereka lebih suka menyelesaikan masalah sendiri dan jarang menunjukkan perasaan secara terbuka. Saat menghadapi konflik atau situasi emosional, mereka lebih memilih menarik diri daripada membuka diri dan mencari dukungan.

Gaya keterikatan ini bisa terbawa hingga ke hubungan dewasa, termasuk hubungan romantis dan persahabatan. Mereka cenderung menghindari ketergantungan, baik menjadi tempat bergantung maupun bergantung pada orang lain. Meski mungkin mereka terlihat tidak tertarik pada kedekatan, sebenarnya mereka hanya sulit membangun rasa aman dalam hubungan yang melibatkan emosi mendalam.

Menariknya, penelitian menunjukkan bahwa sekitar 20% orang dewasa di Amerika mengaku memiliki gaya keterikatan avoidant. Gaya ini lebih umum ditemukan pada pria dibandingkan wanita. Meskipun mereka tampak kuat dan mandiri dari luar, sering kali ada lapisan emosi yang ditekan dan tidak diungkapkan.

Penyebab Seseorang Menjadi Avoidant

Faktanya, avoidant attachment tidak terjadi begitu saja, ada banyak hal yang menyebabkan kondisi tersebut terbentuk. Berikut ini adalah sejumlah penyebab serta penjelasannya.

1. Orang Tua yang Tidak Responsif Secara Emosional

Anak-anak yang tumbuh dengan orang tua atau pengasuh yang tidak merespons kebutuhan emosional mereka cenderung mengembangkan gaya keterikatan avoidant. Ketika seorang anak berulang kali merasa diabaikan saat mencari kenyamanan atau dukungan, mereka akan belajar untuk tidak lagi menunjukkan kebutuhan tersebut. Lama-kelamaan, anak akan menekan keinginan untuk mencari kenyamanan dan cenderung mengandalkan diri sendiri dalam menghadapi kesulitan.

2. Sering Dilarang Menangis atau Menunjukkan Emosi

Beberapa anak dibesarkan dalam lingkungan yang tidak membolehkan mereka mengekspresikan emosi. Saat seorang anak dilarang menangis atau bahkan diejek ketika sedang merasa sedih atau takut, mereka belajar bahwa menunjukkan perasaan bukanlah hal yang aman. Kebiasaan ini bisa membuat mereka tumbuh menjadi pribadi yang tertutup dan sulit membangun hubungan emosional yang sehat dengan orang lain.

3. Pola Asuh yang Kaku dan Terlalu Keras

Orang tua yang terlalu ketat dan menuntut ketaatan tanpa memberi ruang untuk diskusi atau ekspresi bisa menjadi penyebab anak berkembang dengan gaya keterikatan avoidant. Dalam situasi seperti ini, anak merasa tidak bebas menjadi diri sendiri dan lebih memilih untuk menyembunyikan pikiran serta perasaannya. Hal ini memupuk sikap tertutup dan sulit percaya pada orang lain di masa dewasa.

4. Kurangnya Sentuhan Fisik dan Kelembutan

Beberapa orang tua secara tidak sadar menghindari kontak fisik dengan anak, seperti pelukan atau belaian. Sentuhan fisik sebenarnya sangat penting dalam membangun ikatan emosional. Anak yang jarang mendapatkan sentuhan kasih sayang bisa merasa tidak dicintai atau tidak penting, lalu mengembangkan sikap menjaga jarak dalam hubungan sosial maupun romantis saat dewasa.

5. Pengalaman Trauma di Masa Kecil

Trauma seperti kekerasan fisik, pelecehan emosional, atau pengalaman buruk lainnya di masa kanak-kanak juga dapat memicu terbentuknya gaya keterikatan avoidant. Anak yang mengalami trauma cenderung menarik diri dan menutup akses emosinya sebagai bentuk perlindungan diri. Mereka merasa tidak aman untuk membuka diri atau mempercayai orang lain, yang pada akhirnya terbawa hingga dewasa.

6. Pengasuh Juga Memiliki Gaya Avoidant

Anak-anak meniru perilaku orang dewasa di sekitarnya, termasuk gaya berinteraksi emosional. Jika orang tua atau pengasuh sendiri memiliki gaya keterikatan avoidant, kemungkinan besar pola ini akan ditiru oleh anak. Mereka tidak belajar bagaimana membangun kelekatan yang sehat karena tidak mendapat contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

7. Faktor Genetik

Meski pengaruh lingkungan sangat kuat, faktor genetik juga bisa berperan dalam perkembangan gaya keterikatan avoidant. Penelitian menunjukkan bahwa hampir empat puluh persen kasus keterikatan avoidant pada orang dewasa mungkin dipengaruhi oleh gen tertentu, terutama yang berkaitan dengan pengaturan emosi dan respons terhadap stres. Namun, temuan ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk dipahami secara menyeluruh.

8. Pengalaman Rejeksi dan Perbedaan Perlakuan Sejak Kecil

Anak yang merasa ditolak atau diperlakukan berbeda dari anak-anak lain bisa kehilangan kepercayaan terhadap hubungan sosial. Jika mereka terbiasa dianggap tidak cukup baik atau terus-menerus dibandingkan, mereka bisa menarik diri sebagai mekanisme pertahanan. Kondisi ini memupuk keyakinan bahwa hubungan dengan orang lain hanya akan berujung pada rasa sakit atau penolakan.

Ciri-ciri Orang dengan Avoidant Attachment

Avoidant attachment adalah pola keterikatan yang terbentuk sejak kecil akibat respons emosional dari pengasuh yang tidak konsisten atau cenderung menjauh. Pola ini dapat terbawa hingga dewasa dan memengaruhi cara seseorang menjalin hubungan serta melihat dirinya sendiri. Berikut adalah ciri-ciri yang umum terlihat pada orang dengan avoidant attachment berdasarkan tahap kehidupan dan konteks hubungannya:

1. Ciri Anak-anak dengan Avoidant Attachment

Sejak usia dini, anak-anak dengan avoidant attachment menunjukkan pola interaksi yang tampak mandiri, tetapi sebenarnya didorong oleh pengalaman ditolak atau diabaikan secara emosional. Ciri-ciri yang dapat dikenali antara lain:

  • Tampak tidak peduli ketika ditinggal atau ditinggalkan oleh orang tua atau pengasuh
  • Tidak mencari pelukan, kedekatan fisik, atau kenyamanan secara langsung
  • Menolak kontak fisik meskipun sebenarnya merasa stres
  • Tidak menunjukkan emosi secara terbuka, baik sedih maupun senang
  • Lebih suka mengeksplorasi lingkungan sendiri daripada bersama orang tua
  • Tampak mandiri secara emosional meskipun usianya masih dini

2. Dalam Hubungan atau Pasangan

Saat dewasa, pola avoidant attachment bisa membuat seseorang kesulitan membangun hubungan yang dekat dan penuh keintiman. Berikut ciri-cirinya dalam konteks hubungan romantis:

  • Menjaga jarak saat hubungan mulai terasa terlalu dekat atau intim
  • Merasa terganggu ketika pasangan ingin kedekatan emosional
  • Mudah menarik diri atau 'menghilang' saat ada konflik emosional
  • Mencari alasan untuk mengakhiri hubungan saat mulai serius
  • Tidak nyaman membicarakan perasaan secara mendalam
  • Terlihat tenang dan ramah, tetapi tidak benar-benar membuka diri

3. Dalam Hubungan dengan Diri Sendiri

Avoidant attachment juga memengaruhi cara seseorang memandang dan merawat dirinya sendiri. Orang dengan gaya ini sering merasa harus mengandalkan diri sendiri secara berlebihan. Ciri-cirinya antara lain:

  • Mengandalkan diri sendiri sepenuhnya dan enggan meminta bantuan
  • Merasa harus selalu kuat dan tidak menunjukkan kelemahan
  • Menekan emosi dan jarang mengungkapkan perasaan yang sebenarnya
  • Cenderung memendam masalah dan memilih menyendiri saat tertekan
  • Memiliki citra diri yang kuat tetapi menilai orang lain secara negatif
  • Tidak merasa perlu membangun kedekatan emosional dengan orang lain

Cara Mengatasi Avoidant Attachment

Jika kamu mulai menyadari bahwa kamu memiliki gaya keterikatan seperti ini, kabar baiknya adalah kamu bisa berubah. Perubahan ini memang tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin. Diperlukan kesadaran, usaha yang konsisten, dan kemauan untuk terbuka terhadap pengalaman emosional yang lebih dalam. Berikut ini beberapa cara yang bisa kamu lakukan untuk mulai keluar dari pola avoidant attachment dan membangun hubungan yang lebih sehat.

1. Sadarilah dan Akui Pola Hubunganmu

Langkah awal yang penting adalah menyadari bahwa kamu memiliki pola avoidant attachment. Ketika kamu mulai mengenali bahwa kamu sering merasa tidak nyaman dengan keintiman, atau cenderung menarik diri saat hubungan mulai terasa dekat, itu adalah petunjuk bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki. Kesadaran ini membuka pintu bagi perubahan karena kamu tidak bisa mengatasi sesuatu yang tidak kamu sadari.

Mengakui bahwa kamu memiliki pola tersebut bukanlah tanda kelemahan, justru itu adalah kekuatan. Dengan memahami bahwa pola ini terbentuk sejak masa kecil, kamu bisa mulai memandangnya sebagai hasil dari pengalaman, bukan bagian tetap dari identitasmu. Pola ini bisa diubah jika kamu bersedia menantangnya.

2. Mulai Perhatikan Emosi dan Kebutuhan Sendiri

Orang dengan avoidant attachment sering tidak terbiasa mengakses atau mengenali perasaannya sendiri. Oleh karena itu, penting untuk mulai memperhatikan sensasi fisik dan emosi yang muncul ketika berhadapan dengan keintiman atau kedekatan. Mungkin ada rasa cemas, jengkel, atau ingin menjauh. Alih-alih menolak atau menekan emosi itu, cobalah untuk duduk bersama mereka dan mengamati dengan penuh rasa ingin tahu.

Selain itu, mulailah bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya aku butuhkan? Mungkin kamu selama ini merasa lebih aman sendirian, tapi di balik itu ada kebutuhan untuk diterima, dihargai, atau dicintai. Mengakui kebutuhan ini bukan berarti kamu menjadi lemah, melainkan menjadi lebih manusiawi dan terbuka pada koneksi yang lebih sehat.

3. Latih Keintiman Secara Bertahap

Membangun kedekatan emosional tidak harus dilakukan sekaligus. Kamu bisa mulai dengan membuka diri sedikit demi sedikit kepada orang yang kamu percayai. Misalnya dengan berbagi cerita pribadi yang sederhana atau mengungkapkan perasaan tidak nyaman tanpa takut dihakimi. Langkah-langkah kecil ini akan membantu sistem emosimu membiasakan diri dengan keintiman yang aman.

Dalam proses ini, penting untuk tetap sadar bahwa rasa ingin menjauh bisa muncul kapan saja. Ketika itu terjadi, coba tunda reaksimu. Alih-alih langsung menarik diri atau menghindar, beri ruang untuk memproses apa yang kamu rasakan. Ini bukan tentang memaksa diri menjadi terbuka, tapi melatih diri untuk tetap hadir saat hal-hal emosional muncul.

4. Pertimbangkan Terapi dengan Profesional

Terapi merupakan salah satu cara paling efektif untuk mengatasi avoidant attachment. Dengan bantuan terapis, kamu bisa mengeksplorasi pengalaman masa kecil yang mungkin membentuk pola hubunganmu saat ini. Terapis juga bisa membantumu mengenali cara-cara baru untuk menanggapi kedekatan emosional secara lebih sehat dan tidak defensif.

Beberapa pendekatan terapi yang cocok adalah cognitive behavioral therapy (CBT), terapi berbasis attachment, dan psychodynamic therapy. Terapi ini akan membantumu mengganti pola pikir negatif tentang hubungan, memahami akar masalah, dan mengembangkan strategi untuk membangun koneksi yang lebih aman. Jika belum siap untuk terapi, kamu juga bisa memulai dengan workbook atau jurnal yang dirancang untuk mengeksplorasi gaya keterikatanmu.

5. Bangun Relasi dengan Orang yang Aman Secara Emosional

Lingkungan sosial sangat memengaruhi proses penyembuhanmu. Jika memungkinkan, jalin hubungan dengan orang-orang yang memiliki gaya keterikatan yang lebih aman. Mereka biasanya lebih konsisten, terbuka secara emosional, dan tidak mudah reaktif. Interaksi dengan orang-orang seperti ini bisa menjadi contoh yang menyembuhkan dan membantu kamu belajar bagaimana membangun hubungan yang saling mendukung.

Selain itu, berada di sekitar orang-orang yang aman secara emosional juga bisa memberimu ruang untuk berlatih menjadi lebih terbuka tanpa merasa terancam. Mereka biasanya bisa menerima keterbukaanmu tanpa menghakimi dan tidak akan memaksa kamu untuk bergerak lebih cepat dari kesiapanmu.

6. Kelola Stres dan Trauma Masa Lalu

Stres yang tinggi dan pengalaman traumatis di masa lalu bisa memperkuat pola avoidant. Untuk itu, penting untuk mempelajari cara-cara mengelola stres, misalnya dengan latihan pernapasan, meditasi, olahraga, atau teknik mindfulness lainnya. Saat tubuhmu lebih tenang, kamu akan lebih mampu menghadapi situasi emosional tanpa harus langsung menarik diri.

Jika ada trauma masa kecil yang belum terselesaikan, pertimbangkan untuk bekerja melalui trauma tersebut bersama terapis. Pengalaman seperti pengabaian, kekerasan verbal, atau perceraian orang tua bisa membentuk keyakinan bawah sadar bahwa kedekatan itu berbahaya. Dengan memproses trauma ini, kamu memberi ruang bagi pola pikir yang lebih sehat untuk tumbuh.

7. Bersabarlah dan Terus Konsisten

Mengubah pola avoidant attachment bukanlah proses yang cepat. Terkadang kamu merasa telah berkembang, lalu mundur lagi saat mengalami situasi emosional yang sulit. Itu adalah bagian alami dari proses penyembuhan. Yang penting adalah konsistensi. Tetap lakukan refleksi diri, terus latih keterbukaan secara bertahap, dan jangan ragu mencari dukungan.

Pola keterikatan tidak bersifat permanen. Dengan usaha yang cukup dan dukungan yang tepat, kamu bisa bertransformasi menjadi seseorang yang nyaman dengan keintiman, terbuka pada hubungan yang sehat, dan mampu mencintai serta dicintai dengan lebih aman.

Demikian penjelasan lengkap mengenai avoidant attachment style atau lebih dikenal dengan sebutan avoidant. Semoga bermanfaat!




(sto/dil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads