Aksi massa aliansi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) di depan Balaiurang atau gedung rektorat menyampaikan sembilan tuntutan. Aksi itu pun berakhir ricuh usai diskusi langsung dengan Rektor UGM, Ova Emilia.
Sembilan tuntutan tersebut dibacakan mahasiswa yang saat itu berdiskusi langsung dengan Ova didampingi jajaran rektorat UGM. Di antaranya, menuntut rektorat menyatakan mosi tidak percaya terhadap lembaga-lembaga penyelenggara negara, serta menuntut rektorat untuk menolak seluruh bentuk militerisme di ruang sipil.
Selain itu, mahasiswa juga menuntut soal realokasi anggaran pendidikan, ruang publik yang inklusif, hingga tuntutan melakukan pembacaan ulang terhadap seluruh perangkat penanganan, pencegahan, dan pelaporan kekerasan seksual di UGM.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi kami ingin Bu Ova yang sudah hadir di sini memberikan tanggapan terkait tuntutan yang kami berikan," tegas salah satu mahasiswa, Rabu (21/5/2025) sore.
Mendapatkan pernyataan itu, Ova pun menanggapi semua tuntutan mahasiswa satu per satu. Seperti tuntutan pernyataan mosi tidak percaya kepada lembaga negara, Ova menjelaskan, institusi pendidikan tidak dalam posisi bisa menyatakan mosi tidak percaya.
"Jadi langkah itu (menyatakan mosi tidak percaya) belum sepenuhnya tepat, namun UGM tetap mendorong pemerintah untuk menjalankan pemerintahan yang jujur, bersih, dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat," kata Ova.
Lalu terkait dengan tuntutan menolak seluruh bentuk militerisme di ruang sipil, Ova mengatakan, bahwa UGM memandang isu ini dalam kerangka kebebasan akademik.
"Di mana saat ini UGM juga menyusun naskah akademik yang merangkum poin-poin tersebut," terangnya.
Kemudian menanggapi tuntutan soal realokasi anggaran pendidikan nasional, Ova bilang, ini merupakan kebijakan nasional yang mungkin dinilai negatif. Namun menurutnya efisiensi anggaran tidak terkait dengan proses pendidikan.
"Kami dalam pertemuan-pertemuan resmi juga menyatakan bahwa pemerintah wajib mengalokasikan minimal 20 persen anggaran untuk pendidikan, pengembangan SDM," beber Ova.
Lalu terkait tuntutan ruang inklusif hingga penanganan kasus kekerasan seksual di UGM, Ova menyampaikan, UGM telah memberikan ruang yang inklusif bagi mahasiswa. Selain itu, juga ada Satgas anti Kekerasan Seksual di UGM menjadi langkah konkret dari kampus.
"Sejak 2022 ada satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, dapat saya katakan mungkin di antara kampus di Indonesia UGM one step ahead," tegas Ova.
Setelah lebih dari dua jam diskusi yang cukup alot berjalan, Ova beserta jajaran rektorat meninggalkan lokasi. Mahasiswa yang tidak puas kemudian memaksa agar diskusi terus dilakukan.
Hal inilah yang kemudian memicu aksi ricuh . Aliansi mahasiswa terlibat aksi saling dorong dengan personel keamanan kampus. Mahasiswa juga sempat mengejar mobil-mobil dan melarang keluar lingkungan rektorat.
Situasi berangsur kondusif setelah pihak kampus menenangkan mahasiswa. Tampak Sekretaris UGM, Andi Sandi, menenangkan mahasiswa. Para mahasiswa kemudian kembali ke depan Balairung.
"Tadi adalah tindakan organik teman-teman aliansi karena mungkin jawaban oleh pihak rektorat dan Bu Ova itu tidak memuaskan bagi kami," ujar salah satu mahasiswa, Petruk, usai aksi kejar-kejaran di lokasi.
Petruk, bukan nama sebenarnya, mengatakan satu tuntutan utama yang tak terpenuhi yakni soal Rektor UGM memberikan mosi tidak percaya terhadap lembaga-lembaga penyelenggara negara. Namun tuntutan ini tak dilakukan.
"Ayolah sama-sama. Rektorat dan kita mahasiswa UGM bergerak secara keseluruhan untuk memberikan mosi tidak percaya. Tapi kan langkah itu tidak bisa diiyakan oleh pihak rektorat," ujar Petruk.
Petruk mengatakan saat ini mahasiswa sedang berdiskusi untuk langkah selanjutnya.
"Untuk malam hari ini masih kita bicarakan, langkah ke depannya kita masih rembukan," terangnya.
Diberitakan sebelumnya, aliansi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menggelar protes dengan cara berkemah sebagai aksi damai di depan Balairung atau gedung rektorat. Aksi tersebut dimulai sejak Rabu (14/5) pekan lalu.
Mereka mendirikan satu tenda besar dan beberapa tenda kecil. Mahasiswa menuntut pejabat rektorat bertanggung jawab atas karut-marutnya penanganan berbagai kasus kekerasan seksual di kampus yang dinilai kurang inklusif.
Mereka juga membawa spanduk besar bertulis 'Universitas Gagal Merakyat', 'Bersama Rakyat UGM Full Melawan'.
(apl/ahr)
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan