Massa Aliansi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) sepekan ini menggelar demo dengan berkemah di depan Balairung atau gedung Rektorat. Massa akhirnya ditemui langsung oleh Rektor UGM, Ova Emilia.
Hanya saja aksi menjadi ricuh usai pertemuan itu karena mahasiswa tak puas dengan hasil diskusi dengan rektor.
Pantauan detikJogja, Rabu (21/5/2025) sore, Ova yang didampingi jajaran rektorat UGM menemui mahasiswa sekitar pukul 16.00 WIB. Kemudian digelar diskusi di halaman Balairung. Para mahasiswa dan rektorat duduk lesehan beralas tikar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diskusi dibuka dengan salah seorang mahasiswa membacakan sembilan tuntutan. Di antaranya, menuntut rektorat menyatakan mosi tidak percaya terhadap lembaga-lembaga penyelenggara negara, dan menuntut rektorat untuk menolak seluruh bentuk militerisme di ruang sipil.
Kemudian juga tuntutan soal realokasi anggaran pendidikan, ruang publik yang inklusif, hingga tuntutan melakukan pembacaan ulang terhadap seluruh perangkat penanganan, pencegahan, dan pelaporan kekerasan seksual di UGM.
"Jadi kami ingin Bu Ova yang sudah hadir di sini memberikan tanggapan terkait tuntutan yang kami berikan," ujar salah satu mahasiswa, Rabu (21/5/2025) sore.
Ova kemudian menjawab semua tuntutan mahasiswa satu per satu. Seperti tuntutan pernyataan mosi tidak percaya kepada lembaga negara, Ova menyebut institusi pendidikan tidak dalam posisi bisa menyatakan mosi tidak percaya.
"Jadi langkah itu (menyatakan mosi tidak percaya) belum sepenuhnya tepat, namun UGM tetap mendorong pemerintah untuk menjalankan pemerintahan yang jujur, bersih, dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat," kata Ova.
Kemudian soal tuntutan menolak seluruh bentuk militerisme di ruang sipil, Ova mengatakan bahwa UGM memandang isu ini dalam kerangka kebebasan akademik.
"Di mana saat ini UGM juga menyusun naskah akademik yang merangkum poin-poin tersebut," terangnya.
Sedangkan tuntutan soal realokasi anggaran pendidikan nasional, Ova bilang ini merupakan kebijakan nasional yang mungkin dinilai negatif. Namun menurutnya efisiensi anggaran tidak terkait dengan proses pendidikan.
"Kami dalam pertemuan-pertemuan resmi juga menyatakan bahwa pemerintah wajib mengalokasikan minimal 20 persen anggaran untuk pendidikan, pengembangan SDM," ungkapnya.
Ova melanjutkan, terkait tuntutan ruang inklusif hingga penanganan kasus kekerasan seksual di UGM, ia bilang UGM telah memberikan ruang yang inklusif bagi mahasiswa. Selain itu, juga ada Satgas anti Kekerasan Seksual di UGM menjadi langkah konkret dari kampus.
"Sejak 2022 ada satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, dapat saya katakan mungkin di antara kampus di Indonesia UGM one step ahead," jelas Ova.
Diskusi pun dilanjutkan dengan saling memberi tanggapan. Di beberapa momen tensi diskusi meningkat, mahasiswa juga beberapa kali menyoraki tanggapan dari pihak rektorat. Situasi masih kondusif dan diskusi terus berlanjut.
Setelah lebih dari dua jam diskusi yang cukup alot berjalan, Ova dan jajaran rektorat kemudian meninggalkan lokasi. Mahasiswa yang tidak puas kemudian memaksa agar diskusi terus dilakukan.
Aksi ricuh kemudian terjadi, aliansi mahasiswa terlibat aksi saling dorong dengan personel keamanan kampus. Mahasiswa juga sempat mengejar mobil-mobil dan melarang keluar lingkungan rektorat.
Situasi berangsur kondusif setelah pihak kampus menenangkan mahasiswa. Tampak Sekretaris UGM Andi Sandi menenangkan mahasiswa. Para mahasiswa kemudian kembali ke depan Balairung.
"Tadi adalah tindakan organik teman-teman aliansi karena mungkin jawaban oleh pihak rektorat dan Bu Ova itu tidak memuaskan bagi kami," ujar salah satu mahasiswa, Petruk, usai aksi kejar-kejaran di lokasi.
Petruk, bukan nama sebenarnya, mengatakan satu tuntutan utama yang tak terpenuhi yakni soal Rektor UGM memberikan mosi tidak percaya terhadap lembaga-lembaga penyelenggara negara. Namun tuntutan ini tak dilakukan.
"Ayolah sama-sama. Rektorat dan kita mahasiswa UGM bergerak secara keseluruhan untuk memberikan mosi tidak percaya. Tapi kan langkah itu tidak bisa diiyakan oleh pihak rektorat," ujar Petruk.
Petruk mengatakan saat ini mahasiswa sedang berdiskusi untuk langkah selanjutnya. "Untuk malam hari ini masih kita bicarakan, langkah ke depannya kita masih rembukan," terangnya.
Sementara itu, Sekretaris UGM, Andi Sandi mengatakan jika diskusi sudah berakhir dan ditutup oleh Rektor UGM.
"Jadi memang kita punya batasan waktu sejak awal, tapi sudah ada toleransi yang begitu panjang. Range-nya itu 1 sampai 1,5 jam, jadi kita sudah toleransi," jelas Andi saat dijumpai usai kericuhan.
"Juga diskusinya sudah disudahi dan ditutup Bu Rektor, itu Ibu mau balik dan untuk menjalankan salat. Jadi closingnya sudah ada," sambungnya.
Terkait tuntutan pernyataan mosi tidak percaya, menurut Andi, itu bukan cara civitas akademika untuk mengkritik pemerintah.
"Kalau diminta untuk bersikap, sikap dunia pendidikan itu tidak harus sikap yang harus di-state dengan clear, tetapi dengan langkah-langkah yang kita lakukan sebenarnya sudah tergambar," jelasnya.
Diberitakan sebelumnya, aliansi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menggelar protes dengan cara berkemah sebagai aksi damai di depan Balairung atau gedung rektorat. Aksi tersebut dimulai sejak Rabu (14/5) pekan lalu.
Mereka mendirikan satu tenda besar dan beberapa tenda kecil. Mahasiswa menuntut pejabat rektorat bertanggung jawab atas karut-marutnya penanganan berbagai kasus kekerasan seksual di kampus yang dinilai kurang inklusif.
Mereka juga membawa spanduk besar bertulis 'Universitas Gagal Merakyat', 'Bersama Rakyat UGM Full Melawan'.
(rih/apu)
Komentar Terbanyak
Forum Ojol Yogyakarta Buka Suara soal Ricuh Massa Driver di Godean
Roy Suryo Usai Diperiksa soal Ijazah Jokowi: Cuma Identitas yang Saya Jawab
Pengakuan Lurah Srimulyo Tersangka Korupsi Tanah Kas Desa