Dalam sistem pemerintahan modern, militer berperan penting dalam menjaga pertahanan dan kedaulatan negara. Namun, keseimbangan kekuasaan antara militer dan pemerintahan sipil menjadi hal yang krusial dalam sistem demokrasi. Di berbagai negara, termasuk Indonesia, hubungan antara keduanya mengalami dinamika yang terus berkembang seiring perubahan zaman.
Di masa lalu, militer memiliki pengaruh besar dalam berbagai aspek kehidupan bernegara, terutama pada era orde baru. Namun, setelah reformasi, terjadi perubahan besar dalam hubungan antara militer dan pemerintahan. Konsep supremasi sipil mulai dikedepankan, menegaskan bahwa kekuasaan berada di tangan otoritas sipil yang dipilih secara demokratis.
Lantas, apakah yang dimaksud dengan supremasi sipil sebenarnya? Mari kita simak penjelasan lengkap berikut ini agar lebih memahaminya!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa Itu Supremasi Sipil? Ini Pengertiannya
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 memberikan definisi supremasi sipil sebagai kekuasaan politik yang berada di tangan pemimpin negara yang dipilih melalui pemilihan umum. Dalam hubungannya dengan TNI, supremasi sipil berarti bahwa militer tunduk pada kebijakan dan keputusan politik yang ditetapkan Presiden melalui mekanisme ketatanegaraan. Artinya, dalam negara demokrasi, peran militer adalah sebagai alat negara yang bertugas menjaga keamanan dan pertahanan, bukan sebagai pengambil kebijakan.
Chappy Hakim dalam bukunya Saksofon, Kapal Induk, dan Human Error menegaskan bahwa supremasi sipil harus dijalankan secara objektif. Artinya, pemerintah sipil tidak boleh mengintervensi operasional militer secara langsung. Jika kontrol ini bersifat subjektif atau terlalu berpihak, maka dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Menurutnya, supremasi sipil yang objektif dapat dicapai dengan memastikan bahwa militer tetap profesional dan netral dalam politik, serta berfungsi sebagai alat negara yang tidak terlibat dalam kepentingan politik praktis.
Sementara itu, Abdoel Fattah dalam Demiliterisasi Tentara menyatakan bahwa supremasi sipil harus berlandaskan pada prinsip demokrasi yang sehat. Artinya, pemerintah sipil memiliki otoritas dalam membuat kebijakan strategis, sementara militer harus tunduk pada hukum dan aturan yang berlaku. Dengan demikian, supremasi sipil bukan sekadar konsep politik, tetapi juga bagian dari mekanisme demokrasi yang menjamin keseimbangan kekuasaan antara sipil dan militer.
Supremasi Sipil dalam Hubungan Sipil-Militer
Supremasi sipil merupakan prinsip utama dalam sistem demokrasi yang memastikan bahwa kekuasaan berada di tangan pemimpin sipil yang dipilih oleh rakyat. Konsep ini sangat penting dalam hubungan antara pemerintah dan militer untuk mencegah dominasi militer dalam pengambilan keputusan strategis negara. Di Indonesia, penerapan supremasi sipil mengalami berbagai tantangan, terutama pada masa transisi dari orde baru ke era reformasi.
Dalam konteks militer, supremasi sipil bukan hanya soal siapa yang memegang kendali, tetapi juga bagaimana keseimbangan antara sipil dan militer tetap terjaga. Burhan Magenda dalam buku Demiliterisasi Tentara menyatakan bahwa supremasi sipil bukan berarti individu sipil menguasai individu militer, melainkan bahwa pejabat sipil yang sah secara konstitusi memiliki wewenang penuh atas kebijakan negara. Paradigma ini berbeda dari masa Orde Baru, di mana militer terlibat dalam hampir seluruh aspek pemerintahan dengan alasan menjaga stabilitas nasional.
Namun, dalam penerapannya, supremasi sipil sering kali disalahartikan. Sebagaimana yang tercantum pada artikel ilmiah berjudul Perkembangan Hubungan Militer dengan Sipil di Indonesia karya David Setiawan dkk, Wiranatakusumah mengungkapkan bahwa di Indonesia, definisi supremasi sipil sering kali terdistorsi. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan antara elite sipil dan militer dalam proses pengambilan keputusan nasional. Padahal, supremasi sipil seharusnya tidak hanya berlaku bagi kelompok non-militer, tetapi juga bagi TNI sebagai bagian dari masyarakat sipil yang bertugas menjaga pertahanan negara.
Supremasi Sipil di Indonesia
Di Indonesia, supremasi sipil mengalami berbagai tantangan, terutama setelah reformasi. Pada masa orde baru, militer memiliki peran yang sangat dominan dalam pemerintahan. Hal ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan sipil dan militer. Menurut pernyataan Burhan Magenda yang dikutip di dalam buku Demiliterisasi Tentara, selama orde baru, militer tidak hanya bertugas menjaga keamanan negara tetapi juga berperan aktif dalam berbagai bidang pemerintahan dan politik. Dominasi ini berakhir setelah reformasi, ketika TNI mulai menarik diri dari politik praktis dan fokus pada tugas pertahanan.
Setelah reformasi, paradigma baru dalam hubungan sipil-militer mulai berkembang. Wiranatakusumah menyatakan bahwa membangun kepercayaan antara elite sipil dan militer sangat penting dalam memastikan supremasi sipil dapat diterapkan dengan baik. Namun, ia juga mencatat bahwa definisi supremasi sipil di Indonesia masih sering disalahpahami, sehingga terkadang terjadi ketimpangan dalam pengambilan kebijakan strategis.
Bruneau mengamati bahwa kontrol terhadap militer harus memenuhi tiga aspek utama, yaitu demokratis, efektif, dan efisien. Jika salah satu aspek ini tidak terpenuhi, maka supremasi sipil akan sulit untuk diterapkan secara ideal. Hal ini berarti bahwa supremasi sipil tidak hanya sebatas tunduknya militer terhadap pemimpin sipil, tetapi juga harus menjamin efektivitas dan efisiensi dalam tata kelola sektor pertahanan negara.
Dampak dan Implementasi Supremasi Sipil
Dalam praktiknya, supremasi sipil memiliki dampak yang sangat besar terhadap hubungan sipil-militer dan stabilitas nasional. Chappy Hakim dalam Saksofon, Kapal Induk, dan Human Error menegaskan bahwa supremasi sipil yang dijalankan dengan baik akan membuat militer tetap profesional dan tidak terlibat dalam politik praktis. Hal ini sangat penting agar militer dapat berfokus pada tugas utamanya, yaitu menjaga keamanan dan pertahanan negara.
Namun, jika supremasi sipil tidak dijalankan secara efektif, maka dapat timbul berbagai masalah, seperti intervensi militer dalam pemerintahan atau sebaliknya, intervensi sipil yang berlebihan terhadap militer. Menurut Abdoel Fattah dalam buku Demiliterisasi Tentara, hubungan sipil-militer yang sehat harus didasarkan pada keseimbangan antara otoritas sipil dan profesionalisme militer. Jika keseimbangan ini terganggu, maka dapat menyebabkan ketidakstabilan politik dan keamanan.
Dalam buku yang sama, Burhan Magenda juga menekankan bahwa supremasi sipil tidak berarti bahwa pemerintah sipil dapat mengontrol segala aspek dalam militer. Ia menjelaskan bahwa dalam sistem demokrasi yang ideal, pemerintah sipil hanya berperan dalam membuat kebijakan, sedangkan urusan internal dan operasional militer tetap menjadi ranah militer itu sendiri. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi konflik kepentingan yang dapat menghambat efektivitas pertahanan negara.
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa supremasi sipil memastikan militer tunduk pada kepemimpinan sipil tanpa intervensi berlebihan dalam urusan internalnya. Semoga bermanfaat!
(sto/apl)
Komentar Terbanyak
Kebijakan Blokir Rekening Nganggur Ramai Dikritik, Begini Penjelasan PPATK
Kasus Kematian Diplomat Kemlu, Keluarga Yakin Korban Tak Bunuh Diri
Megawati Resmi Dikukuhkan Jadi Ketum PDIP 2025-2030