Memasuki pekan ketiga Maret 2025, masyarakat Indonesia tengah ramai membahas dwifungsi ABRI dan revisi UU TNI. Tahukah detikers apa itu dwifungsi ABRI? Berikut penjelasan ringkas plus sejarahnya.
Dilansir detikNews, Komisi 1 DPR RI dan pemerintah menggelar Rapat Panitia Kerja (Panja) dengan fokus bahasan Revisi Undang-Undang (RUU) TNI. Rapat ini sudah digelar sejak Jumat siang dan terus berlanjut hingga Sabtu malam (15/3/2025).
Pada hari Sabtu tersebut, tiga orang yang mengatasnamakan diri dari Koalisi Reformasi Sektor Keamanan datang dan meminta rapat Panja RUU TNI dihentikan. Mereka menilai pembahasan revisi ini tidak transparan sekaligus mempersoalkan masalah dwifungsi ABRI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bapak-Ibu yang terhormat, yang katanya ingin dihormati, kami menolak adanya pembahasan di dalam, kami menolak adanya dwifungsi ABRI, hentikan proses pembahasan RUU TNI," ujar Andrie, salah seorang peserta aksi, di Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta Pusat.
Aksi Andrie dan kawan-kawan kemudian memicu perbincangan hangat masyarakat seputar dwifungsi ABRI yang dahulu pernah terjadi. Apa itu? Yuk, simak pembahasan mengenai dwifungsi ABRI dan sejarahnya berikut ini!
Pengertian Dwifungsi ABRI
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dwifungsi berarti fungsi ganda atau rangkap. Sementara itu, ABRI adalah singkatan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Sebutan ABRI ini terus digunakan hingga TNI dan Polri dipisah pada 1 April 1999 silam.
Lebih lanjut, Muhammad Eriton, SH MH CLA, dosen hukum tata negara di Fakultas Hukum Universitas Jambi, mengartikan dwifungsi ABRI sebagai terembannya dua fungsi di pundak ABRI. Keduanya adalah fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sosial politik.
"Fungsi sebagai kekuatan sosial politik hakikatnya adalah tekad dan semangat pengabdian ABRI untuk ikut secara aktif berperan serta bersama-sama dengan segenap kekuatan sosial politik lainnya memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan dan kedaulatannya," tulis Eriton.
Dwifungsi ABRI ini pada mulanya bertujuan untuk mewujudkan stabilitas nasional yang mantap dan dinamik dalam segenap aspek kehidupan bangsa. Namun, dalam eksekusinya, dwifungsi ABRI justru melenceng dari tujuan sehingga memicu peristiwa Reformasi 1998.
Sejarah Dwifungsi ABRI
Dirangkum dari Jurnal Kalpataru berjudul 'Mengulik Sejarah Penerapan Dwifungsi ABRI pada Masa Orde Baru' oleh Tazkia Kamila Sofuan, konsep dwifungsi ABRI dimunculkan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution. Konsep ini terpikir oleh sang jenderal karena terinspirasi pemikiran Karl von Clausewitz, seorang jenderal dari Prussia.
Jenderal Nasution berpendapat, hubungan antara sipil dan militer harus berlandaskan kerja sama yang selaras dan harmonis. Pihak militer juga berhak mengetahui persoalan-persoalan kebijakan politik pemerintahan.
Secara gamblang, Jenderal Nasution menyatakan bahwasanya ABRI berhak diikutsertakan dalam lembaga-lembaga negara, baik eksekutif maupun legislatif. Konsep dwifungsi ini dikenal dengan nama Konsep Jalan Tengah pada waktu itu.
Perlu dicatat, Jenderal Nasution tidak berkeinginan agar ABRI mendominasi. Hanya saja, beliau ingin agar ABRI yang notabene merupakan penjaga keamanan, diikutsertakan ketika pemerintah sedang menyusun kebijakan politik negara.
Biarpun pada mulanya ditolak, konsep dwifungsi ABRI kemudian perlahan-lahan mendapat dukungan dan diterima. Setelah perjuangan, pemikiran Jalan Tengah dari Jenderal Nasution dilegitimasi melalui penggolongan ABRI menjadi golongan fungsional dalam kerangka konstitusional UUD 1945 via sidang Dewan Nasional tertanggal 19-21 November 1958.
Setelah itu, dwifungsi ABRI mulai diterapkan, baik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. Namun, pada masa Orde Baru, dwifungsi ABRI justru mengakibatkan dominasi militer dalam segala aspek pemerintahan.
Pada saat itu, militer tidak hanya bertugas menjaga ketertiban dan keamanan, tetapi turut mengatur kekuasaan pemerintahan. Lamat laun, muncul fraksi-fraksi dalam ABRI padahal semestinya ABRI tetap bersatu dan fokus menjaga kedaulatan RI.
Masuknya ABRI dalam tubuh pemerintahan secara massal kemudian menyebabkan masalah baru. Misalnya, karena terlalu banyak anggota ABRI dalam lembaga legislatif, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan menjadi bias. Pada saat itu, praktis dikatakan ABRI menjadi alat militer untuk memperkuat legitimasi penguasa.
Lebih lanjut, disadur dari Jurnal Salome berjudul 'Problematika Dwifungsi ABRI' oleh Fatimah Aqilah Ichtiari dkk, menyimpangnya fungsi ABRI dalam konsep Jalan Tengah Jenderal Nasution kemudian memicu Reformasi 1998 terjadi. Salah satu tuntutan reformasi tersebut adalah agar ABRI kembali fokus pada tugas utamanya, yakni kekuatan pertahanan dan keamanan negara.
Perlahan-lahan, dwifungsi ABRI mulai dihapuskan. Puncak berakhirnya dwifungsi ini adalah pembubaran fraksi TNI/Polri dari DPR pada tahun 2004. Dengan demikian, ABRI, yang kini bernama TNI, bisa lebih fokus terhadap tugas utamanya.
Demikian pembahasan ringkas mengenai pengertian dwifungsi ABRI dan sejarahnya. Semoga menambah wawasan detikers sekalian, ya!
(sto/apu)
Komentar Terbanyak
Jokowi Berkelakar soal Ijazah di Reuni Fakultas Kehutanan UGM
Blak-blakan Jokowi Ngaku Paksakan Ikut Reuni buat Redam Isu Ijazah Palsu
Tiba di Reuni Fakultas Kehutanan, Jokowi Disambut Sekretaris UGM