Dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion terhadap gugatan presidential threshold 20%. Mereka mempertanyakan terkait kedudukan hukum para pemohon. Apa respons pemohon?
Dua hakim yang memiliki pendapat berbeda yakni Daniel Yusmic P Foekh dan Anwar Usman. Sementara pihak penggugat yakni empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jogja yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.
Kedua hakim berpandangan, untuk menentukan pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak, pemohon harus menjelaskan kualifikasi dan kerugian konstitusional yang dialami oleh berlakunya suatu undang-undang. Merespons itu, pihak pemohon pun menguraikan alasan di balik gugatan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau dari saya memandangnya, saya sendiri merasakan kerugian itu. Saya tidak memiliki calon-calon alternatif yang bisa merepresentasikan misalnya keinginan kaum muda," kata Faisal Nasirul Haq saat konpers di Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Jogja, Caturtunggal, Depok, Sleman, Jumat (3/1/2025).
Menurutnya, selama ini calon yang muncul hanya didominasi oleh individu-individu yang sama.
"Aktornya hanya itu-itu saja, ini merupakan akumulasi kejenuhan," ujarnya.
Sementara itu, Enika Maya Oktavia menambahkan seharusnya kerugian sebagai pemilih dipertimbangkan oleh MK. Sebab dengan sistem yang ada saat ini, preferensi pemilih untuk menentukan pemimpin menjadi terbatas karena dikuasai oleh parpol tertentu.
"Kalau pilihannya hanya terkotak pada dua tiga partai besar saja, kesempatan untuk adanya tokoh tertentu muncul sangat kecil," kata Enika.
Selain itu, dua hakim konstitusi tersebut juga mengatakan pihak yang bisa mengajukan pengujian merupakan parpol atau warga yang memiliki hak dipilih, dan didukung parpol peserta pemilu. Namun, Enika menyebut MK seharusnya mempertimbangkan kedudukan pemilih sebagai subjek demokrasi.
"Jadi kami menekankan bahwa pemilih itu bukan objek demokrasi melainkan subjek demokrasi sehingga ketika kita mengajukan JR ke MK legal standing kita seharusnya tidak dipertanyakan," ujarnya.
Meski demikian, Enika tetap menghormati sikap kedua hakim konstitusi yang memiliki pandangan berbeda. Bagi dirinya yang merupakan mahasiswa hukum tata negara, hal ini menjadi sebuah pembelajaran.
"Kami menghormati dissenting opinion beliau dan kami menerima. Karena bagaimanapun beliau ini hakim konstitusi ahli hukum tata negara sementara kami ini hanya mahasiswa. Jadi kami menghargai dan menghormati dissenting opinion beliau sebagai salah satu hal yang bisa memperkaya pengetahuan ketatanegaraan kita," ujarnya.
Soal MK Usul Ada Rekayasa Konstitusional
"Yah kami merasa itu sudah sangat sesuai dengan apa yang kami harapkan kami proyeksikan karena bagaimanapun juga ketika ada aturan yang terlalu membabi buta itu juga tidak terlalu baik," kata Enika.
Enika merasa lima poin yang diajukan oleh MK sudah tepat. Apalagi berkaca dari Pemilu 2019, terdapat polarisasi politik yang kemudian menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.
"Jadi ketika lima poin yang disampaikan MK yang mengatur kemudian syarat-syarat yang tidak terlalu membabi buta ini merupakan suatu pilihan yang tepat dan juga cukup baik," ucapnya.
"Dan catatannya adalah poin-poin itu tidak membuat MK kemudian menjadi positive legislature tapi tetap negative legislature. Jadi menurut kami itu adalah keputusan yang baik," sambungnya.
Enika meyakini meski dengan putusan ini menjadikan ada ruang terbuka bagi parpol untuk mengajukan calon. Namun dia mengaku yakin secara alamiah parpol di Indonesia akan tetap membuat koalisi karena menimbang beban biaya politik yang cukup besar.
"Kalau terlalu banyak bagaimana? Kita lihat saja apakah akan terlalu banyak atau tidak karena itu di luar jangkauan kami, berada di luar hak prerogatif kami," katanya.
Oleh karena itu, untuk pengaturan regulasi lebih lanjut mereka menyerahkan ke Lembaga yang berwenang.
"Untuk saat ini kami fokus bahwa dalam putusan ini bahwa bisa terbuka ruang seluas-luasnya. Untuk pengaturan lebih lanjut terkait dengan bagaimana kemudian ruang itu diatur kami serahkan kepada lembaga legislatif, lembaga terkait semoga aturan-aturan tersebut dibuat, dibentuk sesuai dengan putusan MK dan kehendak masyarakat serta bisa membangun demokrasi," pungkasnya.
MK Hapus Presidential Threshold
Sebelumnya, dilansir detikNews, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait penghapusan ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Dalam putusan tersebut, terdapat dissenting opinion atau pendapat berbeda dari dua hakim konstitusi.
Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo terkait perkara 62/PUU-XXI/2023 di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). Dua hakim yang berbeda pendapat itu ialah Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.
"Bahwa sehubungan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo yang baru saja selesai diucapkan, Mahkamah memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon hingga kemudian mempertimbangkan pokok perkara dengan mengabulkan untuk seluruhnya," kata Suhartoyo.
"Terhadap hal tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Anwar Usman memiliki pendapat hukum berbeda (dissenting opinion) dari mayoritas hakim konstitusi, khususnya mengenai kedudukan hukum para Pemohon," sambungnya.
Anwar Usman dan Daniel menilai pengujian Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 telah dimohonkan sebanyak 33 kali. Menurutnya, MK telah menegaskan pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian ialah partai politik peserta pemilu, dan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden.
Anwar Usman dan Daniel berpandangan, untuk menentukan pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak, pemohon harus menjelaskan kualifikasi dan kerugian konstitusional yang dialami oleh berlakunya suatu undang-undang.
Menurut dia, pembatasan pihak yang dapat memohonkan pengujian norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bukan berarti norma a quo 'kebal' (immune) untuk diuji, melainkan lantaran tidak ada kerugian konstitusional pemohon.
"Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, kami berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan oleh karenanya permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard)," tuturnya.
(ams/aku)
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan