Selain Indonesia yang dijuluki Zamrud Khatulistiwa, Bahrain, sebuah negara di Teluk Persia punya julukan menarik. Julukan negara kepulauan ini adalah Mutiara Teluk Persia (Pearl of the Persian Gulf). Berikut ini sejarahnya.
Dirujuk dari laman Bahrain Authority for Culture's Antiquities, Kerajaan Bahrain (Kingdom of Bahrain) atau biasa dipanggil Bahrain adalah negara kepulauan yang terdiri dari 33 pulau. Negara ini terletak di Teluk Persia yang berada di antara Kerajaan Arab Saudi dan Qatar.
Lebih lanjut, luas wilayah Bahrain adalah 780 kilometer persegi, sedikit lebih luas dibandingkan Singapura. Ibu kotanya adalah Manama yang juga sekaligus merupakan kota terbesar. Dalam sejarahnya, Bahrain telah dihuni sejak 4.000 tahun lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Negara satu ini terkenal dengan julukannya sebagai Mutiara Teluk Persia. Ternyata, di balik sebutan ini, terdapat sejarah panjang yang menarik untuk ditelisik lebih jauh. Langsung saja, di bawah ini sejarah lengkap hingga Bahrain dikenal sebagai Pearl of the Persian Gulf.
Sekilas tentang Mutiara dan Industrinya di Bahrain
Diringkas dari laman Pearling Path yang dikelola oleh Bahrain Authority for Culture and Antiquities, di Pemukiman Lama Muharraq (Old Muharraq settlement) yang dulunya adalah ibu kota Bahrain, ada industri mutiara. Selama berabad-abad, Muharraq adalah kota tempat mutiara diproduksi paling aktif dan makmur di Teluk Persia/Arab.
Pasalnya, di kota ini, para penyelam mutiara (pearl divers) tinggal. Tak hanya itu, setiap orang di Muharraq terlibat langsung dalam produksi mutiara atau bagian industri pasokannya. Dengan demikian, Muharraq menjadi kota yang sangat makmur.
Dalam sejarahnya, sejak abad ke-3 SM (Sebelum Masehi) hingga awal abad ke-20, Bahrain menjadi pusat 'perikanan' mutiara alami. Permintaan akan mutiara mencapai puncaknya pada 1911-1912. Namun, beberapa tahun setelahnya, beberapa peristiwa menyebabkan industri mutiara ini merosot dan menghilang.
Lebih lanjut, dirangkum dari The New York Times, Peradaban Dilmun Kuno adalah pihak yang bertanggung jawab menjalankan perdagangan mutiara dan sirup kurma sejak 3000 SM. Dengan berbekal kombinasi air tawar alami dan air asin Teluk Persia, mutiara bisa tumbuh dengan subur di dalam cangkang tiram.
Mutiara yang dihasilkan di Bahrain pun tidak sembarangan. Menurut informasi dari laman Danat, mutiara Bahrain terkenal karena kemurnian, kecemerlangan, dan keindahannya yang memukau.
Biasa dikenal sebagai Natural Arabian Gulf Pearls (mutiara Teluk Arab alami), mutiara-mutiara dari Bahrain punya kilauan yang menarik dengan warna berkisar dari putih hingga kuning muda. Mutiara-mutiara ini dibanderol lebih mahal ketimbang mutiara budidaya yang sekarang banyak tersebar.
Pasalnya, mutiara alami yang tidak dibudidayakan ini sulit ditemukan. Selain itu, ukuran dan luminositasnya yang bervariasi juga mempengaruhi harga. Hal ini tentu berbeda dengan mutiara budidaya yang punya bentuk seragam, baik dari segi ukuran maupun bentuk.
Kronologi Ringkas Industri Mutiara di Bahrain
Disadur dari laman Kari Pearls, salah satu bukti paling awal tentang mutiara Bahrain dicatat oleh penulis Yunani, Megasthenes, yang menemani Seleucus Nicator, Jenderal Makedonia dalam ekspedisi penaklukannya di Asia, yakni sekitar 307 SM. Setelah itu, berturut-turut pencatatan tentang industri ini banyak ditulis, seperti misalnya oleh sejarawan Yunani, Isidorus.
Pliny, seorang penulis Romawi, dalam bukunya, Historia Naturalis, tepatnya di Bab 35, berkata,
"Tetapi (mutiara) yang paling sempurna dan indah dari semua yang lain adalah yang didapat di sekitar Arabia, di dalam Teluk Persia."
Pada abad kesembilan, perikanan mutiara dicatat oleh Massoudi, seorang ahli geografi Arab paling awal. Pada akhir abad kedua belas, perikanan mutiara Bahrain juga dikunjungi dan dideskripsikan oleh pengelana Spanyol-Ibrani, Rabbi Benjamin dari Tudela. Pun juga ibnu Batuta mencatatnya selama perjalanan sekitar tahun 1336.
Pada 1508, Lodovico Barthema mencatatkan proses pengambilan mutiara Bahrain oleh para penyelam.
"Dalam perjalanan tiga hari dari pulau ini, mereka menangkap mutiara terbesar yang ditemukan di dunia; dan siapa pun yang ingin mengetahuinya, lihatlah! Ada beberapa nelayan yang pergi ke sana dengan perahu kecil dan melemparkan dua batu besar yang diikatkan ke tali ke dalam air, satu di haluan, yang lain di buritan setiap perahu untuk menahannya di tempatnya. Kemudian, salah satu nelayan menggantungkan karung di lehernya, mengikatkan batu besar ke kakinya, dan turun ke dasar-sekitar lima belas langkah di bawah air, di mana ia tinggal selama mungkin, mencari tiram yang mengandung mutiara, dan memasukkan sebanyak yang ia temukan ke dalam karungnya. Ketika ia tidak dapat tinggal lebih lama lagi, ia membuang bayu yang diikatkan ke kakinya, dan naik melalui salah satu tali yang diikatkan ke perahu. Ada begitu banyak yang terkait dengan bisnis ini sehingga Anda akan sering melihat 300 perahu kecil ini yang datang dari banyak negara."
Tidak seberapa lama setelah Barthema mengunjungi tempat tersebut, Portugis menguasai pelabuhan-pelabuhan utama di Teluk Persia. Orang-orang pimpinan Albuquerque ini kemudian mengenakan pajak tinggi pada perikanan mutiara Bahrain selama seabad lamanya.
Pada 1838, seorang perwira yang berdinas di British India menjelaskan bahwasanya perikanan di Bahrain meliputi penggunaan 4.300 perahu yang diawaki 30.000 orang. Dari jumlah perahu tersebut, 3.500 berasal dari Bahrain, 100 dari pantai Persia, dan 700 sisanya dari pantai bajak laut. Singkat kata, perkembangan bisnis mutiara Bahrain terus berkembang pesat dan memakmurkan wilayahnya hingga keruntuhannya yang terjadi pada abad ke 20.
Keruntuhan Industri Mutiara Bahrain
Kembali dirujuk dari The New York Times, keruntuhan industri mutiara Bahrain terjadi pada awal 1930-an. Penyebabnya, secara garis besar adalah tiga hal, yakni:
- Penciptaan mutiara dengan bentuk bulat sempurna dan harga lebih murah oleh Jepang. Mutiara-mutiara ini dibuat di laboratorium dengan campur tangan manusia. Menurut informasi dari Web Japan, pengembangan mutiara budidaya ini telah dimulai pada 1910, tepatnya di bagian selatan Prefektur Mie.
- Krisis keuangan global 1929. Disadur dari Britannica, kemerosotan ekonomi dunia terjadi selama rentang 1929 hingga 1939 silam. Akibatnya, terjadi penurunan produksi, lonjakan pengangguran, dan deflasi yang parah di hampir setiap negara di dunia.
- Penemuan minyak Bahrain pada 1932. Menurut informasi dari laman Synergia Foundation, sumur minyak pertama Bahrain ditemukan di bawah Jebel Dukhan. Sumur ini ditemukan dan dioperasikan oleh Bahrain Petroleum Company (BAPCO). Tepatnya pada Juni 1932, sumur ini mulai menyemburkan minyak. Mulanya, sumur ini mengucurkan hingga 9.600 barel minyak per hari. Namun pada 1970-an, produksinya meningkat drastis hingga 70.000 barel per hari, sebelum kemudian stabil menjadi sekitar 35.000 barel per hari.
Kendati industri mutiara runtuh, wilayah perkotaan yang telah dibangun dengan dukungan bantuan mutiara-mutiara ini tetap bertahan. Sejarah panjang industri mutiara di Bahrain adalah penyebab munculnya julukan Pearl of the Persian Gulf yang melekat di negara ini.
(par/dil)
Komentar Terbanyak
Heboh Penangkapan 5 Pemain Judol Rugikan Bandar, Polda DIY Angkat Bicara
Kebijakan Blokir Rekening Nganggur Ramai Dikritik, Begini Penjelasan PPATK
Akhir Nasib Mobil Vitara Parkir 2,5 Tahun di Jalan Tunjung Baru Jogja