Kasus dugaan korupsi di PT Taru Martani terbongkar berujung ditetapkannya Dirut Taru Martani, Nur Achmad Affandi sebagai tersangka. Skandal korupsi di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemda DIY dengan kerugian hingga Rp 18 miliar ini, berawal dari temuan BPKAD dan Inspektorat yang membuat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengku Buwono (HB) X melaporkan ke Kejaksaan.
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Wiyos Santoso memastikan investasi trading yang dilakukan Direktur Utama PT Taru Martani Nur Achmad Affandi menyalahi aturan. Wiyos beralasan investasi itu dilakukan tanpa persetujuan Komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
"Bahkan investasi ini tidak dianggarkan dalam rencana kerja anggaran perusahaan. Jadi jelas ilegal dan mengarah ke dugaan korupsi," jelasnya saat dihubungi, Rabu (29/5/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wiyos menegaskan tindakan Nur Achmad tergolong fatal. Terlebih investasi trading emas derivatif menggunakan anggaran PT Taru Martani tanpa persetujuan dan sepengetahuan pihak perusahaan.
1. Inspektorat DIY Temukan Kejanggalan
Inspektorat DIY, lanjutnya, menemukan kejanggalan berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas pengelolaan operasional PT Taru Martani tahun 2022 dan 2023. Disebutkan bahwa nominal investasi tersebut telah terjadi kerugian dan berdampak pada gagalnya penarikan dana investasi.
Wiyos menuturkan permasalahan investasi trading juga menjadi temuan BPK RI. Berawal dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas Laporan Keuangan Pemda DIY Tahun 2023. Hingga akhirnya temuan ini ditindaklanjuti dengan pemberitahuan ke Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X.
"Pada tanggal 28 Maret 2024 dan BPK RI merekomendasikan kepada Gubernur DIY untuk memproses penyelesaian investasi derivatif pada PT Taru Martani sebesar Rp 18,6 miliar," katanya.
2. Sultan HB X Surati Kejaksaan
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengku Buwono (HB) X mengaku pihaknya yang melaporkan kasus korupsi di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemda DIY, dengan kerugian hingga Rp 18 miliar ini.
"Yo rak opo-opo (ya tidak apa-apa), memang prosesnya seperti itu kok. Memang kita yang lapor kok. Kita kan yang lapor. Kan surat Gubernur ke Kejaksaan, ya udah," jelas Sultan saat diwawancarai wartawan di Kompleks Kepatihan, Kota Jogja, Kamis (30/5/2024).
Terkait adanya dugaan tersangka lain dalam kasus ini, Sultan pun menyerah sepenuhnya ke Kejati DIY agar proses hukum dilakukan semestinya.
"Proses hukum aja, kalau nggak begitu nanti ndak selesai. Berproses saja sampai selesai," terang Sultan.
3. Kejati Geledah PT Taru Martani
Kejati DIY melakukan penggeledahan di kantor PT Taru Martani pada 30 April 2024. Selain itu juga menggeledah rumah dinas Direktur Utama PT Taru Martani di kawasan Baciro, Gondokusuman, Kota Jogja.
Dari penggeledahan di kantor PT Taru Martani dilakukan penyitaan sejumlah barang bukti. Di antaranya dokumen arsip keuangan, laptop, handphone, dan flashdisk.
"Barang bukti ini didapatkan dari penggeledahan ruang Direktur Utama, Kepala Divisi Keuangan dan Ruang Arsip Keuangan. Seluruhnya kami sita untuk dijadikan barang bukti," jelas Kasi Penerangan Hukum Kejati DIY, Herwatan saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (30/4).
Penggeledahan berlanjut di rumah dinas Dirut PT Taru Martani, Jalan Tunjung, Baciro, Gondokusuman, Kota Jogja. Tim Kejati DIY menyita uang tunai Rp 80 juta, 9 arloji, dokumen-dokumen, handphone, serta flashdisk.
"Kami juga menyegel mobil dan motor yang berada di rumah dinas tersebut. Dirut ini kami duga berperan penting dalam dugaan kasus korupsi di PT Taru Martani," katanya.
4. Dirut Taru Martani Resmi Tersangka
Tanggal 28 Mei 2024, Dirut PT Taru Martani, Nur Achmad Affandi (NAA) ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Rp 18 miliar di BUMD Pemda DIY yang dipimpinnya itu.
"Tim penyidik Kejati DIY menaikkan status penyidikan dan melakukan penahan terhadap tersangka NAA (Nur Achmad Affandi). Tersangka melanggar tindak pidana korupsi pengelolaan dana investasi senilai Rp 18,7 miliar dan akan dilakukan penahanan untuk 20 hari ke depan mulai dari hari ini," jelas Wakil Kajati DIY, Amiek Wulandari, saat rilis kasus di Kantor Kejati DIY, Jogja, Selasa (28/5).
5. Modus Korupsi Diungkap
Amiek menuturkan perbuatan Nur Achmad dilakukan dari 2022 hingga 2023. Nur Achmad menggunakan dana yang bersumber dari idle cash PT Taru Martani, BUMD milik Pemda DIY. Yakni dana kas perusahaan yang belum dimanfaatkan untuk pelaksanaan pembiayaan program.
Pemakaian dana dilakukan secara berkala. Diawali pada 7 Oktober 2022 sebesar Rp 10 miliar, kemudian 20 Oktober 2022 Rp 5 miliar, 1 Desember 2022 Rp 2 miliar. Lalu 14 Desember 2022 sebesar Rp 500 juta dan 24 Maret 2023 Rp 1,8 miliar.
"Digunakan untuk perdagangan emas berjangka. Investasi pakai uang perusahaan tapi pakai rekening pribadi tapi keuntungan masuk rekening pribadi. Padahal pengelolaan perusahaan tidak boleh pakai rekening pribadi," jelasnya.
6. Keruk Keuntungan Pribadi
Di kesempatan yang sama, Aspidsus Kejati DIY, Muhammad Anshar Wahyudin menuturkan sejak awal niat Nur Achmad mengeruk keuntungan untuk kepentingan pribadi. Dari total dana yang digunakan ada keuntungan Rp 7 miliar. Sebanyak Rp 1 miliar dimasukkan keuntungan pribadi dan sisanya diinvestasikan lagi.
"Ada keuntungan sebesar Rp 7 miliar dan Rp 1 miliar sekian dimasukkan kas PT Taru Martani, sementara sisanya masih diputar lagi oleh tersangka untuk modal lagi," ujar Ansar.
7. Dana Tersisa Rp 8 Juta
Seiring waktu berjalan, investasi emas yang dilakoni tersangka mengalami kerugian. Terbukti dengan hasil penyidikan Kejati DIY terhadap akun investasi tersangka. Anggaran yang awalnya belasan miliar rupiah hanya tersisa Rp 8 juta.
"Rp 17 miliar itu belum balik, hilang itu. Summary record tanggal 5 Juni 2023 dinyatakan akun tersangka mengalami kerugian uang sudah tidak ada uang. Tersisa Rp 8 juta dan sudah kita tarik dan jadi barang bukti," jelasnya.
Atas perbuatannya, Nur Achmad dijerat Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan subsider Pasal 3 juncto Pasal 18.
(aku/aku)
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan
Siapa yang Menentukan Gaji dan Tunjangan DPR? Ini Pihak yang Berwenang