Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X memberikan pernyataan mengejutkan. Sultan ternyata menjadi pelapor kasus dugaan korupsi di pabrik cerutu Taru Martani yang menyeret sang Direktur Utama (Dirut) Nur Achmad Affandi.
Hal itu disampaikan Sultan di Kompleks Kepatihan Jogja, Kamis (30/5/2024). Sultan mulanya mengatakan tak mempersoalkan pengusutan kasus dugaan korupsi di BUMD milik Pemprov DIY itu.
"Yo rak opo-opo (ya tidak apa-apa), memang prosesnya seperti itu kok," jelas Sultan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sultan lalu mengungkap dirinya lah yang melaporkan kasus dugaan korupsi di Taru Martani. Sultan juga mengaku bersurat ke kejaksaan.
"Memang kita yang lapor kok. Kita kan yang lapor. Kan surat Gubernur ke kejaksaan, ya udah," ujar Sultan.
Dalam penyelidikan jaksa, diketahui kasus kerugian yang diakibatkan Nur Achmad Affandi itu mencapai Rp 18,7 miliar. Dirut Taru Martani itu mengaku menggunakan uang tersebut untuk investasi emas.
Sultan pun menyerahkan pengusutan kasus dugaan korupsi pabrik cerutu ini ke pihak berwajib. Soal ada tidaknya tersangka baru, Sultan menyerahkan semuanya diproses hukum hingga tuntas.
"Jangan tanya saya (soal dugaan tersangka baru), itu kan ranahnya kejaksaan (Kejati). Proses hukum aja, kalau nggak begitu nanti ndak selesai. Berproses saja sampai selesai," tuturnya.
Terbongkarnya Korupsi Rp 18,7 M di Pabrik Cerutu Jogja
Kasus korupsi dengan kerugian senilai Rp 18,7 miliar yang menjerat Dirut PT Taru Martani, Nur Achmad Affandi, itu terbongkar usai adanya surat dari Pemda DIY tertanggal 19 Maret 2024 perihal permohonan bantuan penyelesaian permasalahan pada PT Taru Martani DIY. Pengusutan kasus korupsi ini juga berawal dari temuan BPK soal permasalahan investasi trading dari pengecekan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas laporan Keuangan Pemda DIY Tahun 2023. Kemudian pada 28 Maret 2024 BPK merekomendasikan Sultan untuk memproses penyelesaian investasi derivatif pada PT Taru Martani.
Kemudian dari hasil penyelidikan Kejati DIY diketahui perbuatan itu dilakukan Nur Achmad sejak 2022-2023 menggunakan dana idle cash PT Taru Martani, yakni dana kas perusahaan yang belum dimanfaatkan untuk pelaksanaan pembiayaan program.
Diketahui, pemakaian dana tersebut dilakukan secara berkala. Diawali pada 7 Oktober 2022 sebesar Rp 10 miliar, kemudian 20 Oktober 2022 Rp 5 miliar, 1 Desember 2022 Rp 2 miliar. Lalu 14 Desember 2022 sebesar Rp 500 juta dan 24 Maret 2023 Rp 1,8 miliar.
"Digunakan untuk perdagangan emas berjangka. Investasi pakai uang perusahaan tapi pakai rekening pribadi tapi keuntungan masuk rekening pribadi. Padahal pengelolaan perusahaan tidak boleh pakai rekening pribadi," jelas Wakil Kajati DIY Amiek Wulandari saat rilis kasus di kantor Kejati DIY, Jogja, Selasa (28/5).
Aspidsus Kejati DIY Muhamad Ansar Wahyudin mengatakan tersangka bertindak seorang diri tanpa sepengetahuan Dewan Direksi dan tanpa melalui rapat RUPS. Kasus ini pun terbongkar saat Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset (BPKA) DIY melakukan pengawasan.
Dari situ diketahui Nur Achmad menggunakan dana perusahaan sekitar Rp 18 miliar untuk investasi emas. Dia berdalih investasi ilegal ini dilakukan untuk memenuhi target pendapatan PT Taru Martani.
"Dewan Komisaris tidak mengetahui sama sekali. Penyidikan masih berjalan, sementara ini kita baru menemukan tersangka NAA untuk dijadikan dasar. Namun demikian setelah pengembangan dari penyidikan tersangka NAA jika ditemukan pihak lain pasti akan jadikan tersangka," ujar Ansar.
Ansar menuturkan, sejak awal niat Nur Achmad mengeruk keuntungan untuk kepentingan pribadi. Dari total dana yang digunakan ada keuntungan Rp 7 miliar. Sebanyak Rp 1 miliar dimasukkan keuntungan pribadi dan sisanya diinvestasikan lagi.
Seiring waktu berjalan, investasi emas yang dilakoni tersangka mengalami kerugian. Terbukti dengan hasil penyidikan Kejati DIY terhadap akun investasi tersangka. Anggaran yang awalnya Rp 18 miliar hanya tersisa Rp 8 juta.
"Rp 17 miliar itu belum balik, hilang itu. Summary record tanggal 5 Juni 2023 dinyatakan akun tersangka mengalami kerugian uang sudah tidak ada uang. Tersisa Rp 8 juta dan sudah kita tarik dan jadi barang bukti," jelasnya.
Atas perbuatannya, Nur Achmad dijerat Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan subsider Pasal 3 juncto Pasal 18.
(ams/ahr)
Komentar Terbanyak
Heboh Penangkapan 5 Pemain Judol Rugikan Bandar, Polda DIY Angkat Bicara
Akhir Nasib Mobil Vitara Parkir 2,5 Tahun di Jalan Tunjung Baru Jogja
Penegasan Polda DIY soal Penangkapan Pembobol Situs Judol Bukan Titipan Bandar