Direktur Utama (Dirut) PT Taru Martani, Nur Achmad Affandi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi Rp 18,7 miliar oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Begini duduk perkara kasus yang menyeret dirut pabrik cerutu BUMD Pemda DIY itu.
"Tim penyidik Kejati DIY menaikkan status penyidikan dan melakukan penahan terhadap tersangka NAA (Nur Achmad Affandi). Tersangka melanggar tindak pidana korupsi pengelolaan dana investasi senilai Rp 18,7 miliar dan akan dilakukan penahanan untuk 20 hari ke depan mulai dari hari ini," kata Wakil Kajati DIY, Amiek Wulandari saat rilis kasus di Kantor Kejati DIY, Jogja, Selasa (28/5/2024).
Amiek menjelaskan perbuatan Nur Achmad dilakukan dari 2022 hingga 2023. Nur Achmad menggunakan dana yang bersumber dari idle cash PT Taru Martani. Yakni dana kas perusahaan yang belum dimanfaatkan untuk pelaksanaan pembiayaan program.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemakaian dana dilakukan secara berkala. Diawali pada 7 Oktober 2022 sebesar Rp 10 miliar, kemudian 20 Oktober 2022 Rp 5 miliar, 1 Desember 2022 Rp 2 miliar. Lalu 14 Desember 2022 sebesar Rp 500 juta dan 24 Maret 2023 Rp 1,8 miliar.
"Digunakan untuk perdagangan emas berjangka. Investasi pakai uang perusahaan tapi pakai rekening pribadi tapi keuntungan masuk rekening pribadi. Padahal pengelolaan perusahaan tidak boleh pakai rekening pribadi," jelasnya.
Sementara itu, Aspidsus Kejati DIY Muhammad Ansar Wahyudin menyampaikan, dari hasil penyelidikan dan penyidikan, tersangka bertindak secara personal tanpa sepengetahuan Dewan Direksi dan tanpa melalui rapat RUPS.
Kasus ini terbongkar ketika Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset (BPKA) DIY melakukan pengawasan. Dari hasil pemeriksaan terungkap bahwa Nur Achmad melakukan penggelapan sejak medio 2022 hingga Maret 2023.
"Itu pengawasan pertamanya langsung ditemukan. Jadi hanya satu tahun 2022 hingga 2023," kata Ansar.
Nur Achmad menggunakan dana perusahaan sekitar Rp 18 miliar untuk investasi emas. Dia berdalih investasi ilegal ini dilakukan untuk memenuhi target pendapatan PT Taru Martani.
Modus yang dilakukan dengan membuka akun investasi atas nama personal. Selanjutnya melakukan investasi melalui perdagangan berjangka komoditi berupa kontrak berjangka.
"Dewan Komisaris tidak mengetahui sama sekali. Penyidikan masih berjalan, sementara ini kita baru menemukan tersangka NAA untuk dijadikan dasar. Namun demikian setelah pengembangan dari penyidikan tersangka NAA jika ditemukan pihak lain pasti akan jadikan tersangka," ujarnya.
Kejati DIY, lanjutnya, telah memeriksa 11 saksi dan satu orang ahli untuk kasus ini. Selain itu juga menyita uang Rp 8 juta yang tersisa.
Ansar menuturkan, sejak awal niat Nur Achmad mengeruk keuntungan untuk kepentingan pribadi. Dari total dana yang digunakan ada keuntungan Rp 7 miliar. Sebanyak Rp 1 miliar dimasukkan keuntungan pribadi dan sisanya diinvestasikan lagi.
Seiring waktu berjalan, investasi emas yang dilakoni tersangka mengalami kerugian. Terbukti dengan hasil penyidikan Kejati DIY terhadap akun investasi tersangka. Anggaran yang awalnya Rp 18 miliar hanya tersisa Rp 8 juta.
"Rp 17 miliar itu belum balik, hilang itu. Summary record tanggal 5 Juni 2023 dinyatakan akun tersangka mengalami kerugian uang sudah tidak ada uang. Tersisa Rp 8 juta dan sudah kita tarik dan jadi barang bukti," jelasnya.
Atas perbuatannya, Nur Achmad dijerat Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan subsider Pasal 3 juncto Pasal 18.
(rih/cln)
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
PDIP Jogja Bikin Aksi Saweran Koin Bela Hasto Kristiyanto
Direktur Mie Gacoan Bali Ditetapkan Tersangka, Begini Penjelasan Polisi