Umat muslim ramai-ramai mengikuti salat Id di Pelataran Masjid Gedhe Kauman, Kota Jogja. Dalam khotbahnya, khatib membahas soal demoralisasi hingga situasi pasca-Pemilu.
Pantauan detikJogja, Rabu (10/4/2024), jemaah berduyun-duyun datang ke pelataran Masjid Gede Kauman. Tampak sebagian besar menenteng sajadah hingga alas untuk salat, baik koran hingga plastik.
Tampak pula barisan saf salat Id hingga ke jalan raya di depan Masjid Gede Kauman. Kendati demikian, hal tersebut tidak mengurangi kekhidmatan umat muslim dalam melaksanakan salat Id.
Imam sekaligus khatib salat Id Masjid Gede Kauman Prof. Din Syamsuddin mengatakan Idul Fitri adalah momentum perubahan bagi umat muslim. Pertama dan utama adalah kembali ke fitrah kemanusiaan sejati, yaitu kepribadian suci dan kuat.
"Kepribadian inilah yang terlahir dari shaimin dan shaimat, yaitu mereka yang telah menempuh pelatihan Ramadhan sebulan penuh dengan penuh keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT," kata Din Syamsuddin saat memberikan khotbah di Masjid Gede Kauman, Kota Jogja.
Dia menyebut ibadat-ibadat Ramadan memiliki dua fungsi utama, yaitu penyucian diri (tazkiyat al-nafs atau self refinement), dan penguatan diri (tarqiyat al- nafs atau self empowerment).
Selama sebulan penuh, kata Din, para shaimin dan shaimat menyucikan jiwa dari segala noda dan dosa, dengan meningkatkan hubungan dengan Allah SWT melalui puasa, qiyamul lail, dzikir, i'tikaf, dan lain sebagainya.
Selama sebulan penuh pula, para shaimin dan shaimat meningkatkan kapasitas diri, dengan menampilkan jati diri yang sejati sebagai manusia dengan potensi-potensi positif dan konstruktif, untuk kehidupan. Hal ini ditunjukkan dengan kecenderungan berbagi terhadap sesama, mengembangkan solidaritas dan kesetiakawanan sosial, serta budaya silaturahmi.
"Dari kedua fungsi ibadah Ramadan tadi diharapkan kaum beriman kembali menemukan fitrah kemanusiaannya yang sejati," ujarnya.
Din mengatakan fitrah kemanusiaan ini akan menampilkan kepribadian paripurna, yaitu kepribadian yang bernafaskan akhlak mulia. Seseorang yang mampu mencapai tingkat kepribadian paripurna ini adalah orang yang berhasil meraih puncak keberagamaan, yaitu akhlak mulia.
"Akhlak mulia adalah hakikat sekaligus muara keberagamaan. Oleh karena itu, Ramadan yang kita lalui sebulan yang lalu bukanlah tujuan terakhir. Ramadan hanyalah jalan dan tonggak pendakian menuju puncak atau tujuan," ucapnya.
"Puncak dan tujuan itu adalah meraih akhlak mulia. Keberagamaan sejati haruslah mampu membuahkan akhlak mulia," lanjut Din.
Namun, akhlak mulia dalam pandangan Islam tidak hanya mengenai nilai-nilai etika kesusilaan seperti berlaku baik, sopan, dan santun terhadap sesama, tetapi juga menyangkut nilai-nilai etos sosial seperti kerja keras, kerja cerdas, kerja sama, daya juang, dan daya saing serta cenderung melakukan amar makruf nahi munkar, dan orientasi kepada kemajuan dan keunggulan.
Singgung soal Demoralisasi
Selanjutnya, mantan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini menyebut jika bangsa Indonesia yang besar dan memiliki modal sosial dan budaya yang tinggi sekarang mengalami pergeseran dan perubahan, dan bahkan pada tingkat tertentu mengalami demoralisasi terselubung.
Pertama, ujar Din, jika dulu bangsa dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah, sekarang sebagian anak bangsa cenderung pemarah, mudah tersinggung, dan kemudian menempuh jalan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.
"Mereka tega menghilangkan nyawa orang lain hanya karena harga diri dan persoalan sepele. Sebagian anak bangsa terjebak ke dalam fanatisme buta dalam membela kepentingan duniawi dari pada bersaing secara sejati," katanya.
Simak Video "Video: Dibanding Relokasi, Din Syamsuddin Usul Pemerintah RI Rekonstruksi Gaza"
(ams/ams)