Respons Pakar Hukum UII soal Ambang Batas Parlemen Harus Diubah

Respons Pakar Hukum UII soal Ambang Batas Parlemen Harus Diubah

Jauh Hari Wawan S - detikJogja
Sabtu, 02 Mar 2024 15:09 WIB
UII berhasil masuk top 10 universitas Islam terbaik di dunia dan top 3 kampus terbaik di Jogja
Universitas Islam Indonesia. Foto: Doc. UII
Sleman -

Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) memberi beberapa cacatan terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan Perludem dan memutuskan ambang batas parlemen 4% dalam UU Pemilu harus diubah sebelum Pemilu 2029.

Peneliti PSHK FH UII, Yuniar Riza Hakiki mengatakan sikap MK dalam melakukan perubahan angka ambang batas parlemen merupakan bentuk keberpihakan MK dalam memurnikan kembali berlakunya prinsip kedaulatan rakyat, hak politik, keadilan pemilu, dan kepastian hukum.

"Sikap keberpihakan MK yang demikian telah mengembalikan dan mengukuhkan kembali MK sebagai pengawal konstitusi (the Guardian Constitution) setelah mengalami krisis kemandirian dan imparsialitas pada era sebelumnya," kata Riza dalam keterangan tertulis yang diterima detikJogja, Sabtu (2/3/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bahwa perubahan besaran angka 4 persen ambang batas parlemen untuk mencegah banyaknya suara rakyat yang terbuang yang tidak mampu dikonversi untuk menjadi kursi parlemen," sambung dia.

Meski demikian, Riza mengatakan ketentuan tentang penghitungan ambang batas parlemen ke depan harus didesain untuk digunakan secara berkelanjutan.

ADVERTISEMENT

"Perubahan norma ambang batas parlemen termasuk besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional, terutama untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR," ujar dia.

Selain itu, perubahan ini harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyederhanaan partai politik.

"Perubahan telah selesai sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029 dan perubahan melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna termasuk melibatkan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR," urainya.

PSHK FH UII, lanjut Riza, juga memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, kepada pembentuk Undang-Undang untuk segera merevisi dan melakukan perubahan ambang batas sesuai dengan ketentuan dan amanat MK untuk keperluan Pemilu 2029.

"Kedua, Kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pemantauan dan pelaksanaan atas Putusan MK ini," pungkasnya.

MK Putuskan Ambang Batas Parlemen Harus Diubah

Dilansir detikNews, Jumat (1/3), MK mengabulkan sebagian gugatan Perludem dan memutuskan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) 4% dalam Undang-Undang Pemilu harus diubah sebelum Pemilu 2029. Putusan tersebut dibacakan dalam sidang MK pada Kamis (29/2). Gugatan ini diajukan oleh Perludem.

MK kemudian menyampaikan pertimbangannya terkait dalil yang disampaikan pemohon. MK menyatakan pada hakikatnya, ambang batas parlemen merupakan salah satu metode untuk menyederhanakan partai politik dalam sistem multipartai.

MK juga menguraikan soal perubahan ambang batas parlemen yang diterapkan sejak Pemilu 2009. Pada 2009, ambang batas parlemen 2,5% menyebabkan DPR diisi oleh sembilan partai.

Berikutnya, ambang batas parlemen 3,5% yang diterapkan pada Pemilu 2014 menghasilkan DPR yang diisi sepuluh partai. Pada Pemilu 2019, ambang batas parlemen menjadi 4% dan menghasilkan DPR diisi sembilan partai.

"Berdasarkan bentangan empirik tersebut, peningkatan angka atau persentase ambang batas parlemen dapat dikatakan tidak signifikan mengurangi jumlah partai politik di DPR," ujar MK, dikutip dari detikNews pada Sabtu (2/3).

Hakim MK mengatakan penerapan ambang batas parlemen itu dapat dinilai tidak efektif dalam menyederhanakan jumlah partai politik di DPR. Hakim MK juga menyatakan tidak menemukan argumen ataupun metode memadai terkait penetapan besaran angka atau persentase ambang batas yang selalu berubah-ubah.

"Bahkan, merujuk keterangan pembentuk undang-undang, yaitu Presiden dan DPR terhadap permohonan a quo, Mahkamah tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit 4% dimaksud dilakukan dengan metode dan argumen penghitungan atau rasionalitas yang jelas," ujar MK.

Selengkapnya di halaman selanjutnya.

MK juga beralasan penerapan PT berdampak pada konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR. Dalam pertimbangannya, hakim MK mengatakan suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR pada Pemilu 2009 sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18% dari suara sah nasional.

Pada Pemilu 2019, terdapat 13.595.842 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR atau sekitar 9,7% suara sah nasional. Pada Pemilu 2014, kata hakim MK, terdapat 2.964.975 suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR atau sekitar 2,4% dari suara sah nasional.

"Namun secara faktual jumlah partai politik di DPR lebih banyak dibandingkan hasil Pemilu 2009 dan Pemilu 2019, yaitu 10 (sepuluh) partai politik," ujar MK.

MK mengatakan, fakta tersebut membuktikan hak konstitusional pemilih menjadi hangus atau tidak dihitung dengan alasan penyederhanaan partai politik demi menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang kuat dengan ditopang lembaga perwakilan yang efektif. Padahal, kata MK, prinsip demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.

Menurut MK, penentuan ambang batas parlemen tanpa dasar metode dan argumen yang memadai selama ini telah menimbulkan disproporsionalitas hasil pemilu. MK mengatakan ambang batas parlemen dapat dibenarkan, sepanjang tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.

Atas dasar itu, MK berpendapat agar ambang batas parlemen sebagaimana ditentukan pasal 414 ayat (1) UU 7 tahun 2017 perlu segera dilakukan perubahan secara sungguh-sungguh dengan sejumlah cara. Salah satunya, perubahan telah selesai sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029.

Halaman 2 dari 2
(dil/cln)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads