Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fisipol UGM Zainal Arifin Mochtar sebut penonton Dirty Vote saat ini mencapai angka 20 juta. Angka ini merupakan akumulasi dari beberapa channel Youtube yang mengunggah secara langsung maupun ulang. Tiga di antaranya adalah akun resmi, channel Dirty Vote, PSHK dan Indonesia Baru.
"Tercatat tadi terakhir kalau kemarin naikan di beberapa yang resmi Dirty Vote channel sama PSHK dan Indonesia Baru kalau kita jumlah 3 itu sudah 15 juta. Kalau ditambah dengan lain karena mas Refly Harun siarkan lalu beberapa lain bisa menyentuh 18 juta sampai 19 juta mungkin 20 juta kalau sama yang kecil," jelasnya ditemui dalam diskusi Film Dirty Vote di Kampus Fisipol UGM Yogyakarta, Selasa (13/2/2024).
Pria yang akrab disapa Uceng ini mengaku tidak menyangka apresiasi akan tinggi. Terlebih film ini baru diluncurkan pada 11 Februari 2024. Namun dia mengaku bersyukur karena pesan dari film bisa tersampaikan ke khalayak luas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita juga kaget, ekspektasi tidak segitu," katanya singkat.
Di satu sisi Uceng mengaku terjadi perdebatan sengit usai Dirty Vote terunggah. Tak hanya di dunia nyata tapi juga media sosial. Uceng menuturkan banyak akun yang memotong dan mengunggah ulang klip Dirty Vote.
Perdebatan sengit terjadi di platform media sosial TikTok. Uceng menuturkan banyak perundungan dan tuduhan muncul dalam platform tersebut. Mulai dari film pesanan oleh pasangan calon tertentu hingga sengaja menerbitkan saat hari tenang Pemilu 2024.
"Kami kalah di TikTok, di TikTok dihabisin film ini. Tapi sebenarnya kalau teman pikir, artinya kami tidak punya tim, tidak ada sama sekali. Kalau kami punya tim atau dipesan 01 (atau) 03 tentu mereka yang akan bertarung karena banyak bilang penguasa afiliasi ke 02," ujarnya.
Terkait data, Uceng menegaskan melalui riset. Dia bersama tim produksi Dirty Vote terlebih dahulu memilah data yang masuk. Tak sendiri, Uceng bersama dua narasumber lainnya Bivitri Susanti dan Feri Amsari mengurasi setiap data secara terperinci.
Uceng menyebut produksi film ini ibarat cerita Bandung Bondowoso. Dilakukan secara sesingkat-singkatnya dengan banyaknya data yang masuk. Setelahnya berlanjut dengan proses pengambilan gambar, editing hingga akhirnya terunggah di channel Youtube.
"Kita perdebatkan substansi datanya dengan cara penyajiannya plus kuat atau tidak. Saya harus bilang itu, ada beberapa hal yang kita buang, tidak bisa dinaikkan karena buktinya enggak kuat," katanya.
(ahr/cln)
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
Siapa yang Menentukan Gaji dan Tunjangan DPR? Ini Pihak yang Berwenang