Dua aktivis asal Swedia yang memulai perjalanannya bersepeda berkeliling dunia sedang singgah di Jogja. Mereka membawa misi untuk meningkatkan kesadaran tentang Sahara Barat yang tengah dijajah. Seperti apa kisahnya?
Benjamin Ladraa (31) dan Sanna Ghotbi (30) merupakan aktivis hak asasi manusia (HAM) yang menyoroti masalah penjajahan Maroko atas Sahara Barat. Namanya mulai dikenal saat mereka berdua berkeliling dunia menempuh puluhan ribu kilometer untuk menyebarluaskan perihal konflik tersebut.
"Kami memulai (perjalanan) pada Mei 2022. Sebenarnya, kami berencana untuk memulai pada tahun 2020, tetapi kemudian harus tertunda selama dua tahun karena COVID. Kami sekarang sudah setengah jalan, menjangkau 18 negara. Indonesia yang ke-18," jelas Sanna saat ditemui detikJogja di lingkungan UGM, Sleman, Kamis (7/12/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sanna bercerita sejak tahun 1975 hingga sekarang, Sahara Barat masih terkungkung di bawah kuasa Maroko. Sanna menjelaskan, sekitar 200 ribu penduduk Sahara Barat terpaksa tinggal di tenda pengungsian dengan sepenuhnya bergantung pada bantuan dari luar. Inilah yang mendorong mereka untuk melakukan aksi bersepeda.
"Banyak orang tidak tahu tentang apa yang ada di Sahara Barat, bahkan kebanyakan orang tidak tahu itu negara. Ada sekitar setengah juta orang Sahrawi (sebutan untuk orang Sahara Barat) dan sekitar 200 ribu orang di antaranya tinggal di kamp pengungsian," kata Sanna prihatin.
"Mereka (orang Sahrawi) tidak bisa membentuk asosiasi apa pun. Mereka tidak bisa menjadi jurnalis dan Maroko juga melarang jurnalis bepergian ke Sahara Barat karena mereka tidak ingin dunia mengetahui beritanya. Itulah sebabnya kami memilih melakukan tur sepeda ini," imbuh Benjamin.
Lelaki berusia 31 tahun itu mengakui bahwa sebelumnya ia tidak tahu-menahu soal konflik Sahara Barat, meski ia merupakan seorang aktivis.
"Orang Sahrawi menulis kepadaku di Instagram, di Facebook, dan bertanya apakah aku tahu tentang Sahara Barat. Aku sama seperti orang lain yang tidak tahu apa-apa dan aku malu karenanya. Aku seorang aktivis hak asasi manusia, kenapa tidak tahu tentang koloni terbesar di dunia," ujarnya.
![]() |
Bersepeda untuk Menarik Perhatian
Kedua aktivis ini lalu mengungkap alasannya memilih untuk menyuarakan nasib orang Sahara Barat dengan bersepeda dibandingkan dengan cara lain. Mereka berkata dengan bersepeda dapat lebih menarik perhatian masyarakat luas.
"Menurutku orang-orang menjadi kaget kalau kami bersepeda karena mereka akan bertanya asalmu dari mana, bendera apa ini, apa yang sedang kamu lakukan. Saat kami bilang kami berasal dari Swedia dan kami telah lama berpisah dari keluarga kami, ini menjadi pengorbanan yang besar sehingga orang-orang akan penasaran," ujar Sanna.
Reaksi Orang Indonesia Jadi yang Paling Berkesan
Dari sekian banyak negara yang dikunjungi, tanggapan masyarakat di Indonesia menjadi yang paling mereka ingat. Kisah ini disampaikan oleh Sanna, di mana beberapa orang bahkan menangis ketika ia menunjukkan situasi di tenda pengungsian melalui foto-foto yang diambilnya.
"Kami mengajar di banyak universitas. Berkali-kali mahasiswa menangis saat kami menunjukkan gambar-gambar dari kamp. Mereka sangat tersentuh dan hal ini belum pernah terjadi di negara lain," tutur Sanna.
Saat tiba di sini, Benjamin mengaku tertarik dengan julukan Kota Pelajar yang lekat dengan Jogja. Pun, ia menyoroti ruang jalan di Jogja yang lebih luas dibandingkan dengan kota lain.
"Ini seperti kota konseptual, banyak organisasi, banyak seni, dan itu Kota Pelajar. Seperti ada seratus universitas? Di sini juga lebih banyak ruang dibandingkan di Surabaya, seperti untuk berjalan. Kami akan ke candi-candi akhir pekan ini dan juga Forum Film Dokumenter (FFD)," ucap Benjamin sembari tertawa.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
Melanjutkan Perjalanan ke Kota Lain
Keduanya pun berencana untuk berada di Jogja hingga Kamis, (14/12) pekan depan. Setelah ini, keduanya akan meneruskan perjalanan ke Magelang, Semarang, dan Bandung.
"Pemberhentian selanjutnya adalah Ngablak. Lalu, ke Semarang dan Bandung. Kami harus melewati banyak gunung. (Berada di Jogja) Sampai Kamis minggu depan. Di sini, kami menjalin kontak dengan banyak orang, ada UMY dan juga PMI," ucap Sanna.
Perjalanan Benjamin dan Sanna di Indonesia diperkirakan akan selesai pada Januari 2024. Sanna berharap akan ada banyak orang yang terinspirasi dari aksi mereka berdua dan memberitahukan kepada lebih banyak orang tentang situasi Sahara Barat.
"Tidak harus dengan bersepeda. Kamu dapat melakukan banyak hal hanya dengan mengadakan acara, mendirikan organisasi kemahasiswaan. Begitu banyak orang dalam sejarah yang telah melakukan berbagai hal untuk dunia dan setiap orang yang mendengar cerita ini, aku harap bisa melakukan hal lain," ujar perempuan tersebut.
Benjamin pun mengamininya dengan menggarisbawahi jika orang Sahrawi memerlukan bantuan dari setiap orang di dunia, sekecil apa pun itu.
"Menurutku hal paling berarti yang bisa kamu lakukan dalam hidup adalah membantu orang lain. Masyarakat di Sahara Barat membutuhkan kamu, membutuhkanku, membutuhkan semua orang untuk meningkatkan kesadaran," kata Benjamin.
Artikel ini ditulis oleh Jihan Nisrina Khairani dan Anandio Januar Peserta program magang bersertifikat kampus merdeka di detikcom.
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
Siapa yang Menentukan Gaji dan Tunjangan DPR? Ini Pihak yang Berwenang