Cerita Warga Kota Jogja, Hidup Berdampingan dengan Nyamuk Wolbachia

Cerita Warga Kota Jogja, Hidup Berdampingan dengan Nyamuk Wolbachia

Jauh Hari Wawan S - detikJogja
Kamis, 23 Nov 2023 13:48 WIB
Nyamuk Wolbachia yang siap kawin dengan nyamuk Aedes Aegypti.
Nyamuk Wolbachia yang siap kawin dengan nyamuk Aedes Aegypti. Foto: Pradito Rida Pertana/detikJogja
Jogja -

Penyebaran nyamuk Wolbachia masih menjadi pro dan kontra di masyarakat. Di Kota Jogja, masyarakat kini sudah mulai hidup berdampingan dengan nyamuk ber-Wolbachia.

Jogja Kota Pertama Penyebaran Nyamuk Wolbachia

Untuk diketahui, Kota Jogja menjadi kota pertama di Indonesia yang mengimplementasikan teknologi nyamuk ber-Wolbachia dalam pengendalian demam berdarah dengue (DBD). Sejak program ini dimulai pada tahun 2016 lalu, angka kasus DBD di Kota Jogja berangsur menurun, dan pada tahun 2023 mencatatkan rekor terendahnya di angka 67 kasus.

"Pada tahun 2016 jumlah kasus di Kota Jogja masih sangat tinggi, mencapai lebih dari 1.700 kasus. Tahun 2023 sampai pada minggu lalu tercatat hanya di angka 67, terendah sepanjang sejarah di Kota Jogja," kata Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, dr. Lana Unwanah, dalam rilis resmi UGM, Kamis (23/11/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Selain cara-cara yang sudah kita kenal seperti pemberantasan nyamuk dengan 3M dan jumantik, penurunan kasus ini tidak terlepas dari intervensi program nyamuk ber-Wolbachia yang dilakukan sejak tahun 2016 sampai saat ini," sambungnya.

Lana menerangkan, berkat penerapan program WMP pengendalian DBD di Kota Jogja kini berjalan lebih efektif. Seiring dengan tren penurunan angka kasus dan tingkat rawat inap, kebutuhan akan intervensi fisik berupa pengasapan atau fogging menjadi berkurang.

ADVERTISEMENT

Penggunaan anggaran pemerintah daerah untuk penanganan DBD pun menjadi lebih efisien sehingga dapat dialokasikan untuk penanganan penyakit lainnya.

Cerita Warga Jogja

Sementara itu, tokoh masyarakat Kelurahan Cokrodiningratan, Kota Jogja, Totok Pratopo mengatakan sebelum penerapan program WMP, kondisi penyebaran DBD di kampung tersebut bisa dibilang memprihatinkan. Kasus baru selalu muncul menjelang akhir tahun, bahkan hingga mengakibatkan kematian.

"Kampung di pinggir Kali Code sebenarnya memiliki potensi yang tinggi karena tingkat kebersihan lebih rendah dan banyak genangan. Bersyukur teknologi ini ditemukan. Hari ini kampung saya Jetisharjo nol kasus. Tidak ada yang sampai masuk rumah sakit dan meninggal, ini sungguh melegakan bagi kami masyarakat," kata Totok dalam rilis yang sama.

Menurut Totok, teknologi ini memang sulit untuk dipahami masyarakat awam. Hal inilah yang mungkin membuat sejumlah orang sempat meragukan efektivitas program yang diterapkan.

"Selama ini kita diajarkan untuk memberantas nyamuk, sekarang justru mau menyebarkan nyamuk," ucapnya.

Nyamuk Ber-Wolbachia

Menilik kembali perjalanan riset dan implementasi teknologi nyamuk ber-Wolbachia, berbagai tonggak penting telah dicatatkan dalam setiap tahapan yang telah dilalui.

Setelah melalui serangkaian proses penelitian, pelepasan perdana telur nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia dilakukan pertama kali pada tahun 2014 lalu di empat padukuhan kecil di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Sleman. Dengan demikian, sudah hampir 10 tahun sebagian masyarakat Jogja hidup dengan nyamuk ber-Wolbachia.

Peneliti Utama WMP Yogyakarta, Prof. Adi Utarini, menjelaskan bahwa implementasi teknologi tersebut di masyarakat didahului analisis risiko oleh tim ahli yang dibentuk Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi untuk mengidentifikasi berbagai potensi dampak, dengan kesimpulan bahwa risiko dari penerapan teknologi ini sangat rendah atau dapat diabaikan.

"Tidak serta merta diterapkan, ada proses penting yang dilakukan sebelumnya. Semua dilakukan dengan kehati-hatian dan dikawal dengan ethical clearance," kata Prof Uut.

Program WMP di Yogyakarta sendiri telah berakhir pada tahun 2022 lalu, dengan hasil yang membuktikan bahwa teknologi ini efektif mengurangi 77% kasus Dengue dan 86% rawat inap karena Dengue. Berbekal data-data ini, WMP kemudian berhasil memperoleh rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) serta Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), dan selanjutnya akan diimplementasikan di kota-kota lain di Indonesia.

Agar bisa diterapkan secara luas di berbagai daerah, tim WMP telah mengembangkan model implementasi program bekerja sama dengan Dinas Kesehatan daerah, termasuk melakukan rangkaian kegiatan pelatihan dan menyediakan buku panduan.

Proteksi Berkelanjutan

Pascaberakhirnya Program WMP, pemantauan terhadap jumlah kasus dan pengamatan nyamuk terus dilakukan oleh Pusat Kedokteran Tropis FK-KMK UGM.

Direktur Pusat Kedokteran Tropis, dr. Riris Andono Ahmad, MPH Ph.D, yang juga merupakan salah satu peneliti WMP, menerangkan bahwa teknologi nyamuk ber-Wolbachia merupakan teknologi yang berkelanjutan, selain juga lebih ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan.

"Teknologi ini adalah teknologi yang berkelanjutan, karena sifatnya bisa diturunkan ke nyamuk berikutnya. Hanya perlu satu kali melepaskan, kemudian kita tinggal menikmati hasilnya. Populasi Wolbachia di Yogyakarta sampai saat ini masih sangat tinggi, sehingga memberikan proteksi yang berkelanjutan," kata Riris dalam rilis yang sama.

Simak Video 'Nyamuk Wolbachia Dikaitkan dengan Konspirasi Bill Gates, Ini Kata Ahli':

[Gambas:Video 20detik]



(rih/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads