Penyebaran nyamuk Wolbachia untuk mengendalikan kasus demam berdarah dengue (DBD) menuai polemik. Hal itu setelah muncul penolakan oleh masyarakat di Bali.
Warga di Bali menolak penyebaran jutaan telur nyamuk Wolbachia karena khawatir akan ada dampak lain yang dibawa hewan tersebut. Di sisi lain, penyebaran nyamuk Wolbachia sudah dilakukan di wilayah Jogja dan tidak ditemukan dampak negatif.
Ditolak di Bali
Dilansir detikBali, rencana penyebaran jutaan telur nyamuk Wolbachia di Kota Denpasar dan Kabupaten Buleleng, Bali, untuk mengantisipasi DBD terpaksa ditunda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kan sudah ditunda, kami tunda ya, perlu sosialisasi ada penolakan dari masyarakat terbelah, yang pro dan kontra bagus ditunda dulu," ujar Penjabat (Pj) Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya seusai menghadiri rapat paripurna DPRD Provinsi Bali di gedung DPRD Provinsi Bali, Kamis (16/11/2023).
Menurutnya, sosialisasi terkait penyebaran nyamuk Wolbachia harus lebih intens agar memberikan pemahaman kepada masyarakat seperti apa nyamuk Wolbachia itu.
Terkait opsi penyebaran, ia meminta untuk menanyakan kepada ahlinya. Akibat penundaan tersebut, jutaan telur nyamuk Wolbachia terpaksa dihancurkan.
Telur Nyamuk Wolbachia Dihancurkan
Telur nyamuk ber-wolbachia yang semula akan disebar di Denpasar pada Senin (13/11) dan Buleleng pada Minggu (12/11) dihancurkan.
"Dengan penundaan yang terjadi, maka telur akan dihancurkan karena memiliki masa simpan yang singkat," tutur Chief of Partnership, Strategic Program, and Operation Save the Children Indonesia Erwin Simangunsong dikutip dari detikBali, Rabu (15/11).
Sukses di Jogja
Peneliti nyamuk Wolbachia dari UGM, Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc, MPH, Ph.D, angkat bicara soal keresahan masyarakat Bali. Meski UGM tidak terlibat dalam implementasi teknologi Wolbachia di Bali.
Adapun teknologi Wolbachia telah diteliti sejak 2011 oleh World Mosquito Program (WMP) dan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Prof Uut, begitu biasa dia disapa, mengatakan dari hasil penelitian di Jogja, tak ada dampak buruk yang terjadi di masyarakat.
Dia menegaskan teknologi Wolbachia aman bagi masyarakat maupun lingkungan.
"Pascapelepasan di Jogja, kami tetap melakukan pemantauan secara kontinyu bersama dinas kesehatan dan tidak ada dampak negatif terhadap manusia dan lingkungan. Teknologi Wolbachia aman bagi manusia dan lingkungan, dan di Kota Yogyakarta teknologi ini menurunkan kegiatan fogging sebesar 83 persen," kata Prof Uut saat dihubungi detikJogja, Minggu (19/11).
Dia bilang, kajian mengenai keamanan teknologi Wolbachia sangat penting dan hal ini menjadi perhatiannya sejak mengawali penelitian di Yogyakarta pada 2011.
"Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa, nyamuk Culex sp yang tinggal berdampingan dengan nyamuk Aedes aegypti di lingkungan alamiah tidak mengandung strain wMel dari nyamuk Aedes aegypti yang bersamaan ditangkap," jelasnya.
"Demikian pula halnya pada manusia, penelitian kami menunjukkan tidak ada respons antibodi Wolbachia pada warga yang tinggal di area pelepasan nyamuk Aedes aegypti Wolbachia," imbuhnya.
Lebih lanjut, berdasarkan keilmuan dia mengatakan teknologi Wolbachia ini terbukti efektif menurunkan demam berdarah dengue.
"Hasil pemantauan kejadian DBD di Sleman dan Bantul juga menunjukkan penurunan dibanding sebelum pelepasan. Kestabilan hasil ini perlu terus diamati ke depannya," pungkasnya.
Terpisah, Dinas Kesehatan Bantul menyebut ada penurunan kasus DBD yang sangat signifikan tahun ini akibat sebaran nyamuk Wolbachia.
Kepala Bidang Penanggulangan Penyakit (P2P) Dinkes Bantul Samsu Aryanto menjelaskan, bahwa hingga bulan Oktober kasus DBD di Bantul mencapai 125 kasus. Rinciannya, bulan Januari 32 kasus, Februari 19 kasus, Maret 17 kasus, April 10 kasus, Mei 12 kasus, Juni 7 kasus, Juli 8 kasus, Agustus 11 kasus, September 4 kasus dan Oktober 5 kasus.
"Untuk kasus kematian akibat DBD tahun ini tidak ada atau nol kasus," katanya kepada detikJogja, Rabu (15/11).
Menurutnya, jumlah kasus DBD tahun ini berbanding sangat terbalik dengan tahun 2022. Di mana tahun lalu ada 956 kasus DBD.
"Jadi tahun ini di Bantul memang ada penurunan kasus DBD dibanding tahun lalu. Penurunannya juga sangat signifikan," ujarnya.
Terkait penyebab terjadinya penurunan kasus DBD secara drastis tersebut, Samsu mengaku salah satunya karena sebaran nyamuk Wolbachia yang merata. Mengingat penyebaran ke-519 Pedukuhan se-Kabupaten Bantul sudah berlangsung sejak Selasa 24 Mei 2022.
"Kalau penyebab kasus DBD di Bantul turun salah satunya karena ada program inovasi Wolbachia. Program itu sangat berperan dalam menurunkan kasus DBD di Bantul," ucapnya.
(rih/apl)
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
PDIP Jogja Bikin Aksi Saweran Koin Bela Hasto Kristiyanto
Direktur Mie Gacoan Bali Ditetapkan Tersangka, Begini Penjelasan Polisi