Candi Jago di Desa Tumpang, Kabupaten Malang kembali menjadi sorotan seiring pemugaran yang tengah berlangsung. Selain keunikan relief naratifnya yang memadukan kisah-kisah Hindu dan Buddha, proses restorasi terbaru mengungkap susunan batu kuno yang diduga berasal dari era Majapahit.
Temuan ini menambah lapisan sejarah di situs yang selama ini dikenal sebagai peninggalan bersejarah Kerajaan Singhasari, sekaligus membuka kesempatan baru untuk memahami seni, budaya, dan ritual masyarakat Jawa kuno.
Sejarah Singkat Candi Jago
Candi Jago berasal dari kata "Jajaghu", dan didirikan pada masa Kerajaan Singhasari abad ke-13. Terletak di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, tepatnya 22 km ke arah timur dari Kota Malang, candi ini juga sering disebut Candi Tumpang karena lokasinya di Desa Tumpang. Penduduk setempat kerap menyebutnya Cungkup.
Dilansir Pemkab Malang, Candi Jago diperkirakan mula-mula dibangun atas perintah Raja Kertanegara untuk menghormati ayahandanya, Raja Wisnuwardhana, yang wafat pada tahun 1268. Kemudian, Adityawarman menambahkan beberapa bangunan dan menempatkan Arca Manjusri, yang kini tersimpan di Museum Nasional.
Candi Jago unik karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian. Menurut cerita setempat, hal ini disebabkan sambaran petir. Di candi ini juga terdapat relief-relief Kunjarakarna dan Pancatantra, yang menjadi bukti akulturasi seni Hindu-Buddha di Jawa Timur pada masa itu.
Seiring waktu, candi menjadi pusat ritual keagamaan sekaligus monumen penghormatan bagi raja-raja Singhasari. Relief-reliefnya menceritakan kisah epik seperti Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa, yang mengandung nilai kepahlawanan, kesetiaan, dan ajaran moral.
Candi Jago ditemukan Belanda pada tahun 1834, ketika kondisinya sudah rusak akibat akar pohon beringin besar di sekitarnya. Keberadaan pohon tersebut diduga sengaja ditanam sebagai penanda sekaligus pelindung candi.
Pada tahun 1890, candi dipugar. Dan, pada tahun 1908, Candi Jago memperoleh bentuk yang mendekati kondisi sekarang. Bagian atas candi masih belum sempurna karena beberapa bagian belum ditemukan, sehingga sulit untuk direkonstruksi.
Letak candi yang strategis di Kecamatan Tumpang memudahkan akses dari Kota Malang, dan menjadikannya simbol kejayaan masa lalu Kerajaan Singhasari, sekaligus pusat pendidikan spiritual bagi masyarakat sekitar.
Keunikan Arsitektur Relief Candi
Keistimewaan Candi Jago tidak hanya terletak pada bentuk piramidalnya, tetapi juga pada deretan relief yang menghiasi dindingnya. Relief-relief ini menampilkan berbagai kisah, mulai dari cerita Tantri dan Kunjarakarna, hingga adegan-adegan moral dan kosmologis yang diukir dengan detail menakjubkan.
Menurut jurnal "Relief Cerita Bersifat Hindu di Candi Jago" karya Andi Muhammad Said, para peneliti mencatat bahwa candi ini memiliki relief naratif-relief yang mengandung unsur cerita tertentu-serta beragam figur yang menyampaikan pesan moral dan ajaran.
Relief-relief Candi Jago menjadikannya sumber penting untuk memahami sastra, agama, dan seni Jawa kuno. Kisah-kisah seperti Arjuna Wiwaha, Tantri, dan Kunjarakarna yang terpahat di dinding candi bukan hanya menampilkan cerita dan karakter, tetapi mencerminkan nilai moral dan ajaran etika yang dianut masa itu.
Dari sisi agama, candi ini memadukan elemen Hindu dan Buddha, misalnya relief berisi kisah moral Hindu berdampingan dengan arca Manjusri Buddha, sehingga menjadi bukti akulturasi budaya di era Singhasari.
Teknik pahatan, komposisi, dan detail figur yang tersaji menunjukkan keahlian seniman Jawa kuno, sekaligus memberi gambaran estetika dan tradisi visual yang berkembang pada masa itu. Candi Jago bukan sekadar monumen religius, tetapi arsip hidup yang merekam sastra, keyakinan, dan seni masyarakat Jawa kuno.
Pemugaran Candi
Dilansir dari detikJatim, pemugaran Candi Jago dilakukan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI Jawa Timur. Tim yang turun ke lapangan bekerja dalam beberapa unit (pemasangan, pembongkaran, finishing) dengan pendekatan konservasi berbasis penelitian.
Menurut rencana resmi, pemugaran ini ditargetkan akan selesai pada 2027, sebuah upaya pemugaran yang disebut pertama kali dalam skala terencana di situs ini. Pendekatan ilmiah dan keterlibatan ahli konservasi menjadi poin penting agar restorasi tidak mengaburkan bukti arkeologis.
Saat pemugaran berlangsung, para pekerja menemukan susunan bata yang berbeda dan tersusun rapi pada bagian depan barat candi, sekitar beberapa meter dari badan utama.
Para arkeolog menduga struktur bata ini merupakan bagian dari fase pembangunan atau penambahan pada era Majapahit, yang menunjukkan kompleks situs itu mengalami fase pemanfaatan dan modifikasi berulang sehingga mencerminkan dinamika kekuasan dan ritual dari Singosari ke Majapahit.
Proses restorasi harus menjaga prinsip reversibilitas (dapat di balik), dokumentasi lengkap, dan penggunaan bahan serta teknik yang kompatibel, karena terdapat kemungkinan pelapukan material dan perbaikan yang tidak tepat di masa lalu.
Temuan bata Majapahit menegaskan pentingnya kajian stratigrafi dan konservasi arkeologis sebelum melakukan pemasangan atau rekonstruksi masif agar informasi historis tetap terjaga.
Sehingga diharapkan untuk menghargai pembatas area kerja dan ikuti petunjuk petugas lapangan. Bagi pengunjung yang ingin menggali pengetahuan lebih jauh disarankan membaca kajian soal relief dan sejarah candi yang tersedia di repositori akademik.
Pemugaran Candi Jago membuka lapisan baru dalam pemahaman kita tentang situs-situs peninggalan Jawa Timur, bukan sekedar perawatan fisik, melainkan juga kesempatan menulis ulang fragmen sejarah yang selama ini tersembunyi di bawah tanah.
Temuan susunan batu era Majapahit menjadi pengingat bahwa setiap lapis tanah dapat menyimpan cerita baru, selama konservasi dilakukan dengan ketelitian ilmiah dan penghormatan terhadap warisan budaya.
Artikel ini ditulis Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
Simak Video "Keindahan Budaya dan Pariwisata Jawa Barat Menyatu dalam Kekayaan Nusantara"
(irb/hil)