Doa di Balik Tradisi Mepe Kasur Masyarakat Adat Kemiren Banyuwangi

Doa di Balik Tradisi Mepe Kasur Masyarakat Adat Kemiren Banyuwangi

Eka Rimawati - detikJatim
Kamis, 29 Mei 2025 22:40 WIB
Tradisi mepe kasur di Desa Kemiren, Banyuwangi.
Tradisi mepe kasur di Desa Kemiren, Banyuwangi. (Foto: Eka Rimawati/detikJatim)
Banyuwangi -

Jajaran kasur dengan warna serupa berjajar sepanjang 3 km di depan rumah warga di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Ini adalah tradisi awal bulan Zulhijah yang tak pernah ditinggalkan oleh warga Suku Osing yang merupakan suku asli di Banyuwangi.

Masyarakat Osing masih menggenggam erat adat budaya asli leluhur mereka secara turun temurun. Di balik tradisi ini, terselip doa dan pengharapan bagi generasi Osing di masa depan.

Budayawan Kemiren Banyuwangi Haidi Bing Slamet menyebutkan tidak ada catatan pasti sejak kapan tradisi itu dipraktikkan. Tetapi ia dan seluruh warga Osing khususnya di Desa Kemiren meyakini tradisi baik itu telah dimulai sejak lahirnya Suku Osing di Bumi Blambangan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Haidi menyebutkan saat menikahkan anak mereka, masyarakat Suku Osing selalu membekali mereka dengan kasur yang sengaja diberi warna merah dan hitam. Bukan sekedar warna, kedua warna yang dipilih itu menyimpan makna doa yang akan terus dipanjatkan sepanjang hayat.

"Masyarakat suku Osing itu selalu memiliki makna dalam setiap gerak hidupnya, kasur itu memiliki makna doa yang dipanjatkan. Kalau warna merah itu bermakna keabadian rumah tangga dan warna hitam itu bermakna tolak bala," ujar Haidi kepada detikJatim, Kamis (29/5/2025).

ADVERTISEMENT

Simbol warna itu diyakini masyarakat Osing sebagai wujud perlindungan bagi anak-anak mereka yang telah menempuh bahtera rumah tangga, berlayar dengan perahunya sendiri sebagai nakhoda sekaligus awak untuk menuju kesejahteraan dan dijauhkan dari segala bala.

Tradisi mepe kasur di Desa Kemiren, Banyuwangi.Tradisi mepe kasur di Desa Kemiren, Banyuwangi. (Foto: Eka Rimawati/detikJatim)

Setiap tahun sebelum bulan Zulhijah, tanpa perlu diminta dan secara sadar masyarakat Suku Osing langsung menata tempat penjemuran kasur di depan rumahnya. Mulai pukul 9 pagi mereka akan mengeluarkan kasur masing-masing untuk dijemur.

"Masyarakat di sini tidak pernah absen, tanpa diminta mereka langsung menjemur kasur berjajar di depan rumahnya masing-masing. Itu tradisi yang sudah turun temurun, generasi muda sekarang juga mempraktikkan hal yang sama," kata Haidi.

Dia menambahkan, selain doa yang terselip untuk anak keturunannya. Mepe kasur atau menjemur kasur juga menjadi simbol membersihkan bagian dalam rumah dari pengaruh energi buruk.

"Kasur itu kan hal pribadi yang ada di dalam kamar. Orang luar tidak boleh tahu. Tapi di kasur itu juga ada pengaruh energi negatif dari luar yang harus dikeluarkan. Pada momentum inilah pengaruh energi negatif dari luar itu dikeluarkan dari rumah. Jadi, menolak bala yang masuk ke rumah," ujarnya.

Mbah Untung, warga Kemiren yang sudah berusia 70 tahun menceritakan kisah awal dirinya mendapatkan kasur dari kedua orang tuanya. Yakni pada kisaran tahun 60-an dia diberi petuah tentang kelanggengan dalam berumah tangga dan kerukunan dalam bertetangga.

"Saya menikah dengan suami Pak Sapari, dulu itu juga dikasih kasur seperti ini oleh orang tua. Dibilang ini untuk bekal menjaga tradisi dan kerukunan. Di sini ada doa-doa dari kedua orang tua," ujarnya sambil tersenyum ramah.

Sejumlah kasur yang dijemur di depan rumah warga Kemiren ini memiliki berbagai ukuran dan ketebalan. Semakin tebal kasurnya menunjukkan strata sosial kian tinggi. Meski demikian, strata sosial itu seolah tidak berarti apa-apa. Kultur sosial masyarakat adat di Kemiren tetap guyub dan sarat adat serta budaya.




(dpe/hil)


Hide Ads