Pecel Pithik, Sajian Sakral Suku Osing Banyuwangi yang Sarat Makna

Pecel Pithik, Sajian Sakral Suku Osing Banyuwangi yang Sarat Makna

Eka Rimawati - detikJatim
Minggu, 01 Jun 2025 06:00 WIB
Abdul Karim saat membakar ratusan ayam ingkung dalam acara Tumpeng Sewu Kerimren
Abdul Karim saat membakar ratusan ayam ingkung dalam acara Tumpeng Sewu Kerimren (Foto: Eka Rima/detikJatim)
Banyuwangi -

Pecel tak selalu identik dengan bumbu kacang dan sayur mayur. Di Banyuwangi, pecel justru bisa berarti sajian ayam bakar utuh yang diurap dengan kelapa muda dan bumbu khas. Makanan ini dikenal dengan nama pecel pithik, kuliner sakral masyarakat adat Osing yang lekat dalam berbagai tradisi.

Dalam setiap upacara adat Osing, terutama di Desa Kemiren, ayam ingkung menjadi sajian utama. Ayam kampung itu dibakar utuh, lalu disuwir dan dicampur dengan parutan kelapa muda serta bumbu rempah khas. Cita rasanya gurih, aroma rempahnya kuat, dan maknanya sangat dalam.

Ayam ingkung sendiri memiliki makna mengayomi atau merangkul, di mana ayam ingkung ini pralambang kebersamaan, kesuburan dan keberkahan. Budayawan Kemiren Banyuwangi, Haidi Bing Slamet mengungkapkan bahwa selain makna dalam ingkung, ayam yang dijadikan sebagai sajian pecel pithik itu pun memiliki makna tersendiri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau pecel pithik itu maknanya ngucel ngucel barang hang becik, jadi maksudnya itu mengerjakan atau melakukan pekerjaan yang baik," terang Haidi kepada detikJatim, Sabtu (31/5/2025).

Ini pula yang menjadikan pecel pithik sebagai sajian wajib dalam setiap tradisi masyarakat adat Osing, bukan hanya dalam tradisi besar yang melibatkan masyarakat banyak, meski saat ritual pribadi dan tradisi secara mandiri sajian pecel pithik tak pernah ditinggalkan.

ADVERTISEMENT

"Itu sudah melekat sudah, tidak bisa dipisahkan dalam setiap tradisi. Dan itu rata dilakukan oleh masyarakat Osing baik yang tua maupun yang muda. Khususnya di Kemiren, sajian ini wajib ada," tambahnya.

Abdul Karim saat membakar ratusan ayam ingkung dalam acara Tumpeng Sewu KerimrenAbdul Karim saat membakar ratusan ayam ingkung dalam acara Tumpeng Sewu Kerimren Foto: Eka Rima/detikJatim

Slamet Abdul Karim adalah salah satu warga Desa Kemiren yang mendedikasikan diri untuk menjadi bagian dalam setiap tradisi pembakar ingkung. Sejak tahun 2010, Abdul Karim hampir tidak pernah absen menyiapkan ingkung-ingkung bakar bagi masyarakat Kemiren dan sekitarnya. Satu ekor ayam ia bandrol dengan harga Rp 70.000 hingga Rp 80.000. Ayamnya pun wajib ayam kampung dengan ukuran sedang yang masih berusia temanggang atau umur yang layak untuk dipanggang.

"Sejak 2010, saya bakar ayam ingkung ini, karena kalau pas acara bareng2 masyarakat ada yang sambil kerja jadi gak sempat memasak. Saya masak dan mereka langsung beli 1 ekor gitu harganya yang ada yang Rp 70 (ribu) ada yang Rp 80 (ribu)," terang Abdul Karim.

Bahkan, dalam tradisi masal seperti pada tradisi tumpeng sewu misalnya, Abdul Karim dapat membakar ayam antara 150-250 ekor sehari.

"Mulainya kalau tumpeng sewu itu jam 11 siang sampai besoknya jam 11 siang juga baru selesai. Saking banyaknya ayam yang dibakar," jelasnya.

Pria berusia 61 tahun ini tidak pernah lelah bekerja menyajikan ingkung terbaik untuk setiap tradisi adat Osing. Baginya hal itu sudah menjadi panggilan jiwa, rata-rata jasa yang ia terima untuk membakar 1 ekor ayam itu di kisaran Rp 10.000. Tak banyak yang ia terima, tapi kepuasan turut berkontribusi dalam menciptakan guyup dan rukun bagi masyarakat Kemiren adalah harga yang lebih memuaskan hatinya.

"Semoga tradisi ini tetap langgeng, seneng saja. Kalau capek ya pasti, tapi bukan capek yang kapok gitu nggak," pungkasnya.

Dalam satu kepala keluarga, rata-rata memesan ayam ingkung antara 2-4 ekor ayam. Kemudian, ayam ingkung tersebut akan diberi bumbu masing-masing sesuai selera setiap individu. Meski demikian, cita rasa khas bumbu yang diurap bersama kelapa muda tetap serupa.




(auh/hil)


Hide Ads