Mengenal Tradisi Mepe Kasur Menyambut Idul Adha di Banyuwangi

Mengenal Tradisi Mepe Kasur Menyambut Idul Adha di Banyuwangi

Allysa Salsabillah Dwi Gayatri - detikJatim
Rabu, 12 Jun 2024 20:00 WIB
Tradisi mepe kasur digelar setiap pekan pertama awal Dzulhijjah
Tradisi mepe kasur digelar setiap pekan pertama awal Zulhijah. Foto: Eka Rimawati
Surabaya -

Menjelang hari raya Idul Adha, terdapat beberapa tradisi dan budaya yang berbeda di Indonesia. Seperti Banyuwangi yang memiliki tradisi mepe kasur untuk menyambut Idul Adha.

Wilayah Jawa Timur memiliki berbagai tradisi menyambut Hari Raya Idul Adha. Tradisi penyambutan ini mempunyai makna dan tujuan masing-masing. Lantas apa itu tradisi mepe kasur?

Tradisi Mepe Kasur di Banyuwangi

Daerah Banyuwangi memiliki tradisi mepe kasur jelang Idul Adha. Tradisi ini biasanya dilakukan masyarakat Suku Osing di Desa Kamiren, Kecamatan Glagah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mepe kasur menjadi tradisi yang dilakukan secara turun menurun. Dalam bahasa Indonesia, mepe kasur bermakna menjemur kasur.

Tradisi ini digelar setiap 1 Zulhijah dan menjadi bagian dari ritual bersih desa. Masyarakat setempat akan menjemur kasur secara bersama di depan rumah.

ADVERTISEMENT

Kasur tersebut dijemur mulai pagi sampai sore hari. Ketika matahari melewati kepala alias pada tengah hari, semua kasur harus segera digulung dan dimasukkan.

Konon, jika tidak segera dimasukkan sampai matahari terbenam, kebersihan kasur dipercaya akan hilang. Khasiat untuk menghilangkan penyakit pun tidak akan ada hasilnya.

Uniknya, kasur yang dijemur memiliki warna seragam yaitu kombinasi merah dan hitam. Warna tersebut mempunyai filosofi yang mendalam.

Hitam memiliki arti kelanggengan atau keabadian. Sementara merah melambangkan keberanian.

Ukuran kasur tersebut juga berbeda-beda. Semakin tebal kasurnya, menunjukkan sang pemilik merupakan orang yang berada di desa tersebut.

Tak hanya sekadar menjemur, warga sekitar membaca doa dan sesekali memercikkan air bunga ke arah kasur. Harapannya dapat terhindar dari segala penyakit dan marabahaya.

Masyarakat Using meyakini dengan mengeluarkan kasur dari dalam rumah dapat membersihkan diri dari segala penyakit. Khusus bagi pasangan suami istri, tradisi ini memberikan arti kelanggengan. Pasalnya, setelah kasur dijemur, akan bagus kembali sehingga yang tidur tampak seperti pengantin baru.

Warga Osing juga percaya, sumber penyakit datang dari tempat tidur. Hal tersebut menjadi alasan mereka harus mengeluarkan kasur dari dalam rumah. Selanjutnya, kasur dijemur di luar supaya terhindar dari segala macam penyakit.

Kasur dipercaya sebagai benda yang begitu dekat dengan manusia. Maka dari itu, kasur wajib dibersihkan supaya kotoran yang ada di kasur hilang.

Setelah memasukkan kasur ke dalam rumah masing-masing, masyarakat Osing akan melanjutkan tradisi bersih desa dengan arak-arak Barong. Barong diarak dari ujung desa sampai ke batas akhir desa.

Setelah itu, berziarah ke makam Buyut Cili yang dipercaya sebagai penjaga desa. Kemudian dilanjutkan dengan acara Tumpeng Sewu yang diadakan pada malam hari dan menjadi puncak acara.

Semua warga akan mengeluarkan tumpeng dengan lauk khas warga Osing, yakni pecel pithik atau ayam panggang dengan parutan kelapa. Adapun ciri khas acara ini ada obor di setiap depan pagar rumah warga.

Artikel ini ditulis oleh Allysa Salsabillah Dwi Gayatri, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(irb/fat)


Hide Ads