4 Upacara Tradisi Kehamilan di Masyarakat Jawa

4 Upacara Tradisi Kehamilan di Masyarakat Jawa

Nabila Meidy Sugita - detikJatim
Kamis, 14 Des 2023 14:00 WIB
gaya hijab Aurel saat acara Mitoni.
Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah saat acara mitoni/Foto: Dok. Instagram @aurelie.hermansyah.
Surabaya -

Kehidupan masyarakat Jawa tidak terlepas dari berbagai upacara tradisi yang biasanya dilakukan saat momen-momen tertentu.

Upacara tradisi tersebut memiliki makna tersendiri bagi kehidupan masyarakat Jawa. Salah satunya upacara tradisi semasa kehamilan.

Upacara Tradisi Masa Kehamilan Masyarakat Jawa

Upacara tradisi semasa kehamilan dilakukan dengan menerapkan ajaran-ajaran dan nilai budaya setempat. Masyarakat Jawa membagi upacara tersebut menjadi empat tahapan di antaranya ngebor-ebori, tingkepan, ndadung atau procotan, dan ndaweti.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Simak penjelasan tentang tradisi yang dilakukan calon ibu di Jawa, seperti dikutip dari jurnal berjudul Upacara Tradisi Masa Kehamilan dalam Masyarakat Jawa karya Titiek Suliyati.

1. Ngebor-ebori

Upacara tradisi ini dilakukan untuk wanita mengandung dengan usia kehamilan satu sampai empat bulan. Ngebor-ebori biasanya dilakukan secara sederhana di rumah sang calon ayah dan ibu.

ADVERTISEMENT

Dalam upacara ngebor-ebori, pemilik hajat akan membagikan sajian jenang sumsum kepada para kerabat dan tetangga. Jenang sumsum merupakan bubur yang terbuat dari beras putih yang diberi juruh (gula aren cair).

2. Tingkepan atau Mitoni

Tingkepan atau mitoni merupakan istilah yang diambil dari bahasa Jawa 'pitu' yang memiliki arti tujuh. Upacara tingkepan atau mitoni dilakukan ketika wanita yang mengandung menginjak usia kehamilan tujuh bulan pada kehamilan pertama.

Mitoni biasanya diselenggarakan pada tanggal yang memiliki angka tujuh, seperti tujuh, 17, dan 27. Masyarakat Jawa cenderung memilih tanggal 27 untuk menggelar upacara ini. Waktu acara yang dipilih sekitar pukul 10.00 dan pukul 16.00.

Pemilik hajat perlu menyiapkan beberapa jenis makanan. Di antaranya rujak dengan tujuh macam buah, waluh atau labu, pala pendem atau umbi-umbian, tumpeng lengkap dengan lauk ikan laut, ingkung ayam, kuluban atau urap dari sayuran, nasi liwet, ketupat, lepet, tujuh macam bubur, jajanan pasar, dan dawet.

Selain makanan, pemilik hajat juga perlu mempersiapkan sejumlah perlengkapan dengan masing-masing berjumlah tujuh buah. Seperti air dari tujuh sumber atau sumur, telur ayam, cengkir (kelapa muda), kembang setaman (tujuh jenis bunga), dan tujuh lembar kain batik dengan motif yang berbeda.

Upacara ini biasanya dipimpin sesepuh, kemudian dilanjutkan dengan doa yang dilantunkan modin atau sesepuh. Terakhir, dilakukan prosesi siraman kepada sang calon ibu secara bergantian oleh tujuh wanita sesepuh.

3. Ndadung atau Procotan

Menginjak usia kehamilan sembilan bulan, biasanya akan dilakukan upacara procotan. Upacara dilakukan secara sederhana dengan menyajikan jenang atau bubur yang terbuat dari tepung ketan dan santan, kemudian diberi dengan gula merah dan pisang.

Bubur yang disebut jenang procot ini kemudian dibagikan kepada tetangga. Dalam tradisi ini, leher calon ibu diikat secara longgar menggunakan tali (dadung). Kemudian calon ibu dituntun oleh calon ayah menuju kandang kerbau atau sapi.

4. Ndaweti

Ketika usia kehamilan menginjak 10 bulan atau saat bayi belum lahir, maka calon ibu perlu melakukan upacara ndaweti. Upacara dilakukan dengan menyajikan dawet plencing yang dibuat dari tepung beras, santan, dan gula merah.

Dawet kemudian dijual secara simbolis kepada anak-anak di sekitar rumah. Anak-anak yang membelinya akan membayar dengan pecahan genting atau pecahan alat rumah tangga yang terbuat dari tanah liat.

Artikel ini ditulis oleh Nabila Meidy Sugita, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(irb/sun)


Hide Ads