Malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadan menjadi momen istimewa bagi umat Islam, terutama di Jawa Timur. Banyak masyarakat yang menghidupkan malam-malam tersebut dengan berbagai tradisi penuh makna, mulai dari ibadah hingga ritual adat yang diwariskan turun-temurun.
Salah satu momen yang paling dinantikan adalah malam Lailatul Qadar atau malam kemuliaan. Momen ini menjadi kesempatan bagi seluruh muslim untuk menggencarkan amalan baik dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Lailatul Qadar disebutkan akan terjadi di 10 hari terakhir bulan Ramadan, tepatnya pada malam ke-21, 23, 25, 27, atau 29. Masyarakat di Jawa Timur memiliki tradisi khas untuk menyambut malam-malam ganjil tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tradisi Malam Ganjil Ramadhan di Jatim
Malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadan tidak hanya diisi dengan ibadah, tetapi beragam tradisi khas yang telah diwariskan secara turun-temurun. Sejumlah daerah di Jawa Timur memiliki cara tersendiri dalam merayakan malam-malam penuh berkah ini. Berikut sejumlah tradisi di Jawa Timur untuk merayakan malam ganjil.
1. Tradisi Malam Selawe Gresik
Malam Selawe merupakan salah satu tradisi yang dapat ditemukan di Kabupaten Gresik, tepatnya di daerah Dusun Giri, untuk menyambut malam ke-25 di bulan Ramadan. Diketahui, tradisi ini sudah ada sejak zaman Sunan Giri, salah satu anggota Wali Songo yang berperan besar dalam proses penyebaran agama Islam di Jawa.
Mengulas karya ilmiah "Tradisi Malam Selawe di Desa Giri Kabupaten Gresik (Studi Living Hadits di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik" (Puteri, 2023), tradisi ini biasanya dilaksanakan tepat pukul 00.00 WIB.
Pelaksanaannya di masjid yang berlokasi di samping makam Sunan Giri, lalu dilanjutkan pada malam ke-29 di makam Syekh Maulana Malik Ibrahim. Acara ini kemudian ditutup dengan pasar bandeng dan pasar malam yang akan memadati sepanjang Kota Gresik.
Tradisi ini merupakan simbolisasi ungkapan syukur atas berkah dan nikmat yang telah dilimpahkan selama bulan puasa, sekaligus sebagai bentuk penghormatan terhadap tokoh-tokoh yang berperan penting dalam proses penyebaran Agama Islam.
3. Tradisi Colokan Songolikur Bojonegoro
Colokan merupakan sebuah warisan tradisi yang dilakukan masyarakat Bojonegoro, pada malam songolikur atau malam ke-29 di bulan Ramadan. Tradisi ini sudah berlangsung di Jawa Timur sejak tahun 80-an. Dalam tradisi ini, masyarakat akan membuat colok atau lampu penerangan.
Lampu-lampu itu terbuat dari kayu-kayu kecil, di mana ujungnya dibalut kain, kemudian dicelupkan ke minyak tanah. Colok tersebut ditancapkan di pinggir sepanjang jalan atau pojok-pojok rumah. Menjelang azan magrib, salah satu anggota rumah akan menyalakan colokan sembari bersahutan "colok colok malem songo" dengan meriah.
Tradisi ini menyimpan makna sebagai bentuk penghormatan terhadap arwah leluhur yang telah meninggal agar jalan "pulang"-nya senantiasa diberi penerangan. Ada juga yang memaknai api di tradisi colokan ini sebagai simbol penyucian atau pembakaran dosa-dosa.
3. Tradisi Bi'ibih Bondowoso
Masyarakat Bondowoso memiliki tradisi unik dalam menyambut malam Lailatul Qadar. Tradisi ini umumnya dilakukan pada waktu pergantian antara asar dan magrib (waktu Bi'ibih), tepatnya di malam ke-25 dan ke-27 di bulan Ramadan. Dalam tradisi ini, masyarakat akan saling memberikan sedekah berupa nasi Bi'ibih ke para tetangga di sekitar.
Biasanya, masing-masing rumah akan menyiapkan tujuh nasi Bi'ibih untuk dibagikan. Nasi Bi'ibih identik dengan serundeng dari parutan kelapa yang gurih, dan dibungkus daun pisang. Meski tradisi ini sudah hampir punah, Bi'ibih mengajarkan pentingnya menjaga tali silaturahmi dengan sesama, serta melakukan sedekah di bulan puasa.
4. Tradisi Sanggring Gumeno Gresik
Tradisi Sanggring Gumeno juga dikenal sebagai tradisi kolak ayam. Tradisi ini biasanya digelar masyarakat di Desa Gumeno Gresik, setiap malam ke-23 Ramadan, tepatnya mulai waktu asar hingga sebelum salat magrib.
Tradisi ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda di tahun 2019 untuk kategori Adat Istiadat, Ritus, dan Perayaan-perayaan. Berdasarkan akun Instagram Disparekrafbudpora Kabupaten Gresik, tradisi ini berawal dari Sunan Dalem (putra Sunan Giri) yang menjadi sehat bugar setelah mengonsumsi kolak ayam ketika sakit parah.
Sehingga, sebagai bentuk ungkapan syukur, beliau berwasiat agar masakan ini disajikan setiap malam ke-23 Ramadan dalam Tradisi Sanggring. Selain memasak kolak ayam, acara ini juga mencakup rangkaian pembacaan doa atau ujub yang diyakini sebagai sarana untuk menyampaikan permohonan di Bulan Ramadan kepada Allah SWT.
(hil/irb)