Pantauan detikJatim tampak baik santri laki-laki maupun perempuan terpisah membakar daging sate. Setelah masak, sate selanjutnya dimakan dengan nasi putih dengan polok'an atau dengan tangan.
Istilah nyate lanjeng karena proses pembuatan sate daging hewan kurban dibakar menggunakan alat pemanggang sepanjang 100 meter. Tradisi ini sempat terhenti pada tahun sebelumnya karena Pandemi COVID-19.
Dalam acara nyate lanjeng ini, terkumpul kurang lebih sekitar 2.000 tusuk sate kemudian dimakan 600 santri Ponpes Bani Rancang dengan nasi. Adapun takar atau alasnya adalah daun pisang.
"Tahun ini baru diadakan lagi (nyate lanjeng) tapi kalau tahun-tahun sebelumnya karena masih ada COVID-19, jadinya tidak bisa kumpul-kumpul seperti ini," kata salah satu santriwati Ponpes Bani Rancang, Siti Fatimah (18).
![]() |
Pemanggangan ribuan tusuk sate ini, menurut Fatimah, tidak mudah seperti pada umumnya dilakukan di rumah. Kesulitannya, terletak ketika hendak menghidupkan seluruh arang, kesulitan lainnya panggangan sate harus dijaga agar daging masak sesuai keinginan.
"Panjangnya (alat pemanggang) kan itu 100 meter jadi sulit mau dihidupkan cepat dan kalau sudah hidup kadang tidak merata kadang juga apinya besar, belum lagi harus menjaga tingkat kematangan daging. Jadi bisa gosong juga," ujar Fatimah.
Sementara itu, Pengasuh Pondok Pesantren Bani Rancang, Gus Hasan, mengatakan, tradisi itu sudah menjadi rutinan tiap tahun di pondoknya. Sebab, semua santri dalam aturan pondok memang tidak diperbolehkan pulang saat Idul Adha, sehingga tradisi tersebut bisa menjadi hiburan bagi para santri.
"Karena pada saat Idul Adha ini tidak boleh pulang, jadi ini menjadi hiburan mereka, karena biasanya masak atau kumpul merayakan hari raya bersama keluarga, tapi mereka tidak pulang. Kasihan, jadi ini sebagai penghibur," kata Gus Hasan.
Gus Hasan melanjutkan dalam tradisi nyate lanjeng, pengasuh dan pengurus menghabiskan arang untuk memanggang sate daging kurban kurang lebih sebanyak 100 kg arang.
"Semoga menjadi berkah dan para santri di sini merasa terhibur. Memang setiap mau merayakan tradisi ini, anak-anak biasanya beli arang dengan jumlah banyak, kali ini saja belinya sekitar enam karung atau kurang lebih 100 kilo," tandas Gus Hasan.
(abq/iwd)