Ekskavasi Tahap 5 Candi Tribhuwana Tunggadewi Gali Lahan 1.500 Meter Persegi

Ekskavasi Tahap 5 Candi Tribhuwana Tunggadewi Gali Lahan 1.500 Meter Persegi

Enggran Eko Budianto - detikJatim
Selasa, 25 Okt 2022 07:31 WIB
Ekskavasi tahap 5 Candi Tribhuwana Tunggadewi, lahan 1.500 persegi digali
Ekskavasi tahap 5 Candi Tribhuwana Tunggadewi, lahan 1.500 persegi digali. (Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim)
Mojokerto -

Ekskavasi tahap 5 Candi Tribhuwana Tunggadewi atau Situs Bhre Kahuripan di Mojokerto bakal menggali lahan seluas 1.500 meter persegi. Penggalian arkeologi kali ini untuk mengungkap tata ruang sekaligus menemukan komponen candi yang dibangun pada masa Raja Hayam Wuruk.

Situs Bhre Kahuripan terletak di tengah sawah Desa Klinterejo, Sooko, Kabupaten Mojokerto. Yaitu di lahan yang menjadi aset pemerintah desa setempat. Oleh sebab itu sebelah barat Candi Tribhuwana Tunggadewi dimanfaatkan masyarakat untuk lapangan sepakbola, balai tani, dan jalan.

Ketua Tim Ekskavasi Situs Bhre Kahuripan Muhammad Ichwan mengatakan ekskavasi tahap 5 digelar 30 hari terhitung mulai hari ini. Pihaknya telah menentukan 4 titik ekskavasi. Yaitu di sebelah utara Candi Tribhuwana Tunggadewi, di bagian timur lapangan sepakbola atau sebelah barat candi, di sebelah utara balai tani atau sebelah barat lapangan sepakbola, serta di sebelah barat balai tani sekitar 300 meter dari candi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tujuan ekskavasi mencari data untuk mengungkap struktur dan komponennya di Situs Bhre Kahuripan. Ekskavasi 30 hari dengan luasan sekitar 1.500 meter persegi," kata Ichwan kepada wartawan di lokasi, Senin (24/10/2022).

Di titik ekskavasi pertama, lanjut Ichwan pihaknya melanjutkan hasil penggalian arkeologi tahap 4. Sebab pada ekskavasi sebelumnya telah ditemukan dinding tebal membentang sekitar 36 meter dari utara ke selatan. Tebal tembok berbahan bata merah kuno ini 140 cm. Terdapat sejumlah tonjolan berbentuk pilaster di sisi barat tembok. Masing-masing pilaster seluas 100 x 100 meter persegi. Jarak antar pilaster sekitar 6 meter.

ADVERTISEMENT

Sebelah berat struktur purbakala ini ditemukan beberapa umpak berbahan batu andesit. Dinding panjang dan tebal ini ditemukan sekitar 300 meter di sebelah barat Candi Tribhuwana Tunggadewi. Dari hasil penggalian hari pertama ekskavasi tahap 5, ternyata ujung selatan tembok ini berbelok ke arah barat. Berdasarkan hipotesis tim ekskavasi tahap sebelumnya, struktur ini pagar paling barat Situs Bhre Kahuripan. Artinya, diduga kuat terdapat pintu masuk di struktur ini.

Namun, tak tertutup kemungkinan struktur panjang dan tebal itu bekas pondasi sebuah bangunan besar. Pilaster-pilaster di sisi barat tembok sebagai tempat meletakkan umpak. Untuk menemukan jawaban teka-teki ini, tim ekskavasi dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI Jatim bakal menggali 29 kotak di sebelah barat pagar tersebut. Luas setiap kotak gali 4 meter persegi.

"Pilaster-pilaster itu apakah bidang untuk menempatkan umpak-umpak batu, atau seperti apa, kami mencoba menemukan struktur ke arah barat seandainya ada bangunan besar yang mempunyai atap," terang Ichwan.

Bangunan berbentuk dinding tebal juga ditemukan di titik ekskavasi kedua, yakni di sebelah barat lapangan sepakbola dan jalan Desa Klinterejo. Di titik sebelah utara balai tani ini, tim ekskavasi akan membuka 45 kotak gali. Penggalian hari pertama ekskavasi tahap 5 sudah membuka 4 kotak tersebut. Sehingga tampak dua dinding sejajar membentang kurang lebih 30 meter dari selatan ke utara. Jarak antar dinding 160 cm.

Struktur berbahan bata merah kuno sebelah timur mempunyai ketebalan 96 cm. Di tengahnya terdapat struktur yang menjorok ke timur sekitar 75 cm. Namun, struktur ini tidak mempunyai pilaster. Sedangkan dinding sebelah barat hanya setebal 1 bata merah. Titik ekskavasi kedua ini sekitar 150 meter di sebelah barat Candi Tribhuwana Tunggadewi.

Titik ekskavasi ketiga sekitar 15-20 meter di sebelah barat Candi Tribhuwana Tunggadewi. Tim dari BPK Wilayah XI Jatim yang sebelumnya bernama BPCB Jatim bakal menggali 57 kotak di bagian timur lapangan sepakbola Desa Klinterejo. Mereka memburu struktur pagar yang membentang dari selatan ke utara.

"Dari ekskavasi sebelumnya ditemukan struktur yang indikasinya pondasi gapura. Kami mencoba mencari pagar sayap gapura itu ke arah utara," jelas Ichwan.

Sedangkan titik ekskavasi keempat sekitar 10-15 meter di sebelah utara Candi Tribhuwana Tunggadewi.

"Di sebelah utara candi kami ingin membuktikan apakah di situ ada struktur yang terkait situs ini. Kami curigai apakah di situ ada anomali struktur, maka kami coba ekskavasi," ujarnya.

Luasnya area situs candi. Baca di halaman selanjutnya.

Ekskavasi tahap 5 ini menunjukkan bahwa Situs Bhre Kahuripan ini sangat luas. Berdasarkan konsep tata ruang candi zaman Majapahit, kata Ichwan terdapat 3 halaman. Yaitu halaman jaba sebagai area profan, halaman jaba tengah sebagai area semi sakral yang menjadi tempat persiapan kegiatan keagamaan, serta halaman jero atau inti tempat bangunan suci atau candi untuk aktivitas pemujaaan. Antarhalaman biasa dipisahkan dengan pagar.

"Candi ini dibangun pada masa Hayam Wuruk untuk mendarmakan ibunya, Tribhuwana Tunggadewi," tandasnya.

Candi Tribhuwana Tunggadewi di Situs Bhre Kahuripan ditemukan dari ekskavasi sebelumnya yang bergulir sejak 2018. Bangunan suci pada zaman Majapahit seluas 14 x 14 meter persegi ini terbuat dari potongan batu andesit. Struktur tangga untuk masuk ke candi terletak di bagian barat. Pada puncak bagian tengah candi terdapat batu yoni berdimensi 191 x 184 x 121 cm.

Pada permukaan atas sisi barat yoni terdapat ukiran angka tahun 1294 saka atau 1372 masehi menggunakan Aksara Jawa Kuno. Struktur bata merah kuno hanya ditemukan di bawah batu yoni. Yaitu berupa struktur penyangga yoni berukuran 345 x 345 cm dan sumur kotak 250 x 250 cm dengan kedalaman yang sudah diekskavasi 390 cm. Sumur ini menjadi tempat menyimpan peripih, barang berharga sebagai roh candi.

Sayangnya peripih maupun wadahnya sudah dijarah. Satu-satunya barang berharga yang ditemukan di sumur Candi Tribhuwana Tunggadewi hanya lempengan emas berbentuk kura-kura sepanjang 6 cm. Dalam mitologi Hindu, kura-kura sebagai makhluk penyangga bumi. Emas tersebut telah diamankan di kantor BPK Wilayah XI Jatim.

Pada kaki Candi Tribhuwana Tunggadewi ditemukan batu astadikpalaka. Batu berukir simbol dewa-dewa penjaga dalam Agama Hindu itu dipasang di 8 sisi mata angin. Sebuah arca berbahan batu andesit setinggi 200 cm, lebar 180 cm dan tebal 25-30 cm juga ditemukan di candi ini. Sayangnya, wujud arca tersebut tidak bisa dikenali karena sudah dirusak.

Arca besar ini diduga berbentuk Harihara, yaitu gabungan Dewa Wisnu dengan Dewa Siwa yang dipasang di atas batu yoni Candi Tribhuwana Tunggadewi. Karena yoni di candi ini ditemukan tanpa lingga sebagai pasangannya. Lazimnya di candi beraliran Hidu Siwa, yoni sebagai simbol perempuan berpasangan dengan lingga sebagai simbol laki-laki. Nah, di zaman Majapahit arca tersebut diduga dipasang pada yoni sebagai pengganti lingga.

Di ekskavasi sebelumnya juga ditemukan struktur berbahan bata merah kuno yang diduga mandapa di sebelah barat Candi Tribhuwana Tunggadewi. Struktur tersebut dikelilingi dinding berbentuk persegi panjang 20 x 15 meter. Tebal dinding sekitar 70 cm.

Mandapa ini sebagai altar tempat masyarakat zaman Majapahit melakukan pemujaan menghadap ke Candi Tribhuwana Tunggadewi. Sehingga ritual pemujaan tidak hanya dilakukan di bangunan candi, tapi juga di mandapa.

Sesuai angka tahun di batu yoni, Candi Tribhuwana Tunggadewi ini dibangun pada zaman Majapahit ketika Raja Hayam Wuruk memerintah 1350-1389 masehi. Namun, belum bisa dipastikan apakah candi ini untuk mendarmakan Tribhuwana atau raja lain. Sebab penguasa ketiga Majapahit atau ibu kandung Hayam Wuruk itu wafat tahun 1294 saka atau 1372 masehi. Tahun itu pula batu yoni selesai dibuat.

Artinya, jika candi ini dibangun Hayam Wuruk untuk mendarmakan ibunya, maka tak sesuai dengan konsep srada yang dianut pada zaman Majapahit. Yaitu upacara pemujaan arwah leluhur yang digelar setelah 12 tahun kematiannya. Kemungkinan lainnya adalah candi ini memang untuk mendarmakan Tribhuwana. Hanya saja pembangunannya yang dilakukan bertahap, akhirnya tak pernah tuntas.

Karena tidak ada satu pun batu pada dinding candi yang dipahat halus. Selain itu, tim ekskavasi juga tidak menemukan fragmen batu berelief yang biasa dipasang pada dinding candi. Pada struktur mandapa jarang sekali ditemukan bata yang berprofil unik, seperti tatahan, relief dan pelipit. Terlebih lagi tidak ada angka tahun di bangunan candi sebagai penanda waktu selesainya pembangunan.

Tribhuwana Tunggadewi tercatat sebagai raja perempuan (ratu) pertama dalam sejarah Majapahit. Pemilik nama Dyah Gitarja ini putri dari Kertarajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya dan Dyah Gayatri atau Rajapatni. Putri pendiri Majapahit ini pernah menjabat sebagai Bhre Kahuripan di wilayah Sidoarjo.

Ia lantas menggantikan kakak tirinya, Jayanegara yang berkuasa di Majapahit tahun 1309-1328 masehi. Istri Cakradhara atau Kertawadhana atau Bhre Tumapel ini menjadi raja ketiga Majapahit sejak tahun 1328 masehi. Ratu Tribhuwana Tunggadewi memilih turun tahta tahun 1350 masehi. Ia mewariskan tahta ke putranya, Hayam Wuruk.

(dpe/iwd)


Hide Ads