Namun, ternyata tak semua santri memutuskan pulang ke kampung halaman. Sebagian memilih bertahan di pondok. Ini seperti dilakukan para santri di Ponpes Tremas, Pacitan. Mereka yang tak mudik disebut Santri Nahun.
"Kalau yang masih di pondok (Santri Nahun) itu sekitar 900-an orang," tutur seorang santri Mohamad Ilham Al-Hatta kepada wartawan, Minggu (24/4/2022).
Di luar Santri Nahun ada santri yang memilih pulang jelang Idulfitri. Mereka lazim disebut Santri Puasanan. Kalangan ini, kata Ilham, jumlahnya cukup besar. Mencapai kurang lebih 2.000 orang.
Ilham sendiri memilih Nahun. Itu berarti dirinya untuk sementara tidak pulang kampung ke tanah kelahirannya di Salatiga, Jateng. Bahkan, saat ini merupakan tahun kedua Ilham tak mudik.
Sempat terlintas rasa sedih di benak Ilham. Saat banyak santri dapat bertemu orang tua untuk sungkem, dirinya hanya bisa menyapa dari jauh. Namun rasa itu ia tepis dengan niatnya menuntut ilmu di pondok.
"InsyaAllah kuat nanti sampai selesai tiga tahun di pondok," ujarnya.
Riwayat Nahun konon terinspirasi dari kisah sahabat Rasulullah SAW, Muadz bin Jabal. Kala itu Nabi Muhammad SAW mengutusnya ke wilayah Yaman. Di wilayah itu ia bertugas menjadi pendakwah sekaligus hakim agung. Selama beberapa tahun Muadz tak kembali ke Madinah.
![]() |
Ada pula riwayat lain tentang asal muasal tradisi Nahun. Menurut Pengasuh Perguruan Islam Pondok Tremas Kiai Lukman Harits Dimyathi, tradisi itu dimulai sekitar tahun 1900-an. Kala itu perkembangan pondok sangat pesat.
Itu ditandai dengan banyaknya santri yang memilih Ponpes Tremas sebagai tempat menempa diri. Mereka datang dari segenap penjuru Nusantara. Bahkan ada yang berasal dari negara tetangga. Baik dari Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura.
"Secara geografis Tremas tahun 1900-an kan masih hutan belantara. Transportasi sulit. Ke mana-mana jalan kaki. Daripada sulit, ya sudah lah ndak usah pulang," kata Gus Lukman tentang kebiasaan santri dahulu yang mengawali tradisi Nahun.
Tradisi Nahun juga dapat dimaknai sebagai bentuk tirakat. Tujuannya agar kegiatan belajar di pondok senantiasa lancar sehingga dapat menebar ilmu agama saat terjun di masyarakat kelak.
Masih menurut Gus Lukman, Nahun dalam arti hakiki berati tekun belajar dan tidak keluar dari kompleks pondok dalam jangka waktu tertentu. Biasanya dalam bilangan tiga tahun ataupun, tiga bulan dan tiga hari.
"Saya yakin santri jaman dahulu menjaga kehormatan fokus mencari ilmu sehingga ditiru oleh santri-santri yang sekarang ini," imbuhnya.
"Yang wajib dan harga mati itu adalah utlubul 'Ilma (mencari ilmu). Nahun dalam arti mencari ilmu," pungkas Kiai Lukman.
(dpe/fat)