Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Trenggalek Sunyoto, mengatakan penetapan warisan budaya tak benda itu dikeluarkan Mendikbud Nadiem Makarim pada 7 Desember 2021. Proses tersebut membutuhkan waktu selama satu tahun.
"Alhamdulillah Sinongkelan dari Desa Prambon akhirnya ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kemendikbud. Ini suatu kebanggaan tersendiri bagi Trenggalek khususnya Desa Prambon," kata Sunyoto, Jumat (21/1/2022).
Menurutnya sebelum mendapat penetapan, pihaknya terlebih dahulu mengajukan ke Kemendikbud disertai dengan kajian akademis serta sejumlah bukti-bukti lainnya. Tahapan tersebut tidaklah mudah. Sebab pihak kementerian juga harus melakukan tinjauan lapangan terhadap budaya yang diajukan.
"Pengajuan seperti ini kami harus menyertakan kajian akademis. Di sini kami kerjasama dengan Mbak Anugrah Octarianti dari Kampak, Dia yang sebelumnya meneliti secara akademis melalui skripsi dan tesis," imbuhnya.
Lanjut dia, tradisi Sinongkelan merupakan budaya adat yang rutin digelar masyarakat Desa Prambon, Kecamatan Tugu secara turun temurun. Tradisi tersebut digelar bersamaan kegiatan bersih desa pada Jumat Legi, bulan Sela dalam penanggalan Jawa.
"Sinongekalan ini merupakan perwujudan rasa syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas kemakmuran dan keberkahan yang diberikan. Masyarakat juga berharap pada tahun berikutnya diberikan keberkahan oleh Tuhan dan dijauhkan dari marabahaya," ujar Sunyoto.
![]() |
Tradisi Sinongekalan juga sekaligus sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa Kanjeng Sinongkel, yang dipercaya sebagai tokoh pemimpin Desa Prambon. Kanjeng Sinongkel adalah anak Raja Brawijaya yang memilih lari pada awal penyebaran Agama Islam pada tahun 1157, untuk mempertahankan agama lamanya.
Kanjeng Sinongkel akhirnya berbaur dengan masyarakat di Desa Jong Biru. Dari situlah Ia mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dan diangkat menjadi pemimpin desa dan dijuluki Prabu Anom. Desa Jong Biru pun akhirnya diubah namanya menjadi Prambon yang merupakan kependekan dari Prabu Anom.
Lebih lanjut Sunyoto menjelaskan rangkaian upacara adat Sinongkelan digelar dua hari berturut-turut. Diawali dengan nyadran, yakni pembersihan makam leluhur, tabur bunga dan puncaknya adalah kenduri bersama.
Tradisi ini dimulai sejak dini hari, berbagai kenduri serta aneka sesaji disiapkan oleh wanita desa yang telah lanjut usia atau menopause.
Sedangkan malam harinya digelar pertunjukan Sinongkelan. Upacara ini dilakukan di halaman luas dengan beralaskan tikar. Para peserta duduk bersila dan hanya akan berdiri pada gerakan tertentu.
"Pertunjukan Sinongkelan diperagakan oleh 15 sampai 20 orang sesepuh desa. Terdapat tiga tokoh utama yang diperankan, di antaranya Kanjeng Sinongkel, Patih Jaksa Negara dan Gandek atau pengawas. Sedangkan pemeran yang lain merupakan representasi dari wayang atau masyarakat.
"Pertunjukan itu berupa tari-tarian yang menceritakan perjuangan Kanjeng Sinongkel dalam mensejahterakan masyarakat Desa Prambon," jelas Sunyoto.
Menurutnya, dengan ditetapkan ritual Sinongkelan sebagai warisan budaya tak benda, maka tradisi itu harus tetap dilestarikan.
(fat/fat)