Seperti diketahui, Tapera akan diwajibkan bagi pekerja swasta dengan potongan 3%. Sebanyak 2,5% dibebankan kepada pekerja, 0,5% kepada pemberi kerja.
Pakar Ekonomi Unair Gigih Prihantono mengungkapkan bahwa kebijakan ini belum jelas mekanismenya. Karena itulah pada praktiknya dia mengkhawatirkan justru menambah kerumitan.
"Kenapa pemerintah mengintervensi tabungan rakyat yang tidak jelas? Operatornya siapa yang membangun? Bentuknya seperti apa? Lokasi di mana?" kata Gigih, Kamis (30/5/2024).
"(Tapera) itu menambah kerumitan. Akhirnya kerumitannya, (akan muncul) mekanisme market yang dipaksakan pemerintah," tambahnya.
Gigih juga menyikapi penyampaian Presiden Jokowi yang menyamakan Tapera dengan BPJS Kesehatan. Padahal, dua program itu sudah jelas-jelas berbeda.
"Argumen itu kurang tepat, meskipun sama kebutuhan dasar tapi urgenitasnya beda. Orang sakit kalau enggak diobati bisa meninggal, kalau rumah enggak. Mereka bisa ngontrak," tegasnya.
Gigih pun menyarankan agar pemerintah lebih baik tidak mewajibkan program Tapera. Sehingga masyarakat bisa memilih memanfaatkan tabungan perumahan atau tidak.
"Itu kan bentuknya tabungan, kenapa enggak beri mekanisme pasar? Misal bank membuat tabungan yang menarik untuk masyarakat milenial agar bisa dapat rumah. Tapi jangan diwajibkan. Itu lebih efektif," jelasnya.
Dia juga mengatakan pemerintah seharusnya memahami tingginya biaya kredit rumah beberapa tahun terakhir hingga daya beli hunian turun. Karena biaya kredit Indonesia paling tinggi se-Asean, yakni 11-12 persen.
"Sarannya, pemerintah membahas ulang Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera," katanya.
(dpe/iwd)