Pengamat Ekonomi Unair, Gigih Prihantono menganalisa terkait kebijakan penghapusan tunggakan pajak yang dilakukan Pemprov Jabar, dibandingkan dengan kebijakan penghapusan denda yang biasanya rutin dilakukan Pemprov Jatim.
Gigih menyebut program kedua pemerintah provinsi tersebut sama-sama bagus, namun memiliki dampak berbeda, terutama untuk kemampuan fiskal daerah.
"Kalau Gubernur Jawa Barat itu sepertinya menarik popularitas ya, kalau kita lihat PAD Pemprov Jabar untuk pajak kendaraan motor per tahun sekitar Rp 10 triliun, tapi di berita sekarang dapatnya baru Rp 70 miliaran sekian, berarti tidak sampai 1 persennya. Saya kira itu kebijakan yang bagus untuk popularitas atau buat berita publik, tapi secara keuangan daerah malah nggak baik," kata Gigih saat dikonfirmasi detikJatim, Kamis (27/3/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Gigih, penghapusan tunggakan pajak selama bertahun-tahun, membuat pemerintah kehilangan PAD. Dampaknya, pelayanan publik bisa tidak optimal.
Gigih menyebut kebijakan pajak yang baik, justru dilakukan Pemprov Jatim. Sebab, Pemprov Jatim melakukan program penghapusan denda bagi wajib pajak yang sudah menunggak melebihi waktu jatuh tempo.
"Kemudian, kalau dari sisi Pemprov Jatim yang betul, memang pajak itu kan kewajiban dan pajak itu akan kembali ke kita dalam bentuk lain, misalnya fasilitas publik. Kalau di Jatim ada Bus Trans Jatim, itu kan subsidi," jelasnya.
"Kalau penghapusan tunggakan pajak kendaraan bermotor dihapus bertahun-tahun kayak Jawa Barat, saya khawatir pelayanan daerah mandek atau berkurang. Karena fasilitas umum kan juga dibiayai oleh pajak dari kendaraan bermotor. Belum lagi bantuan-bantuan untuk warga kurang mampu yang bisa terancam, sebab warga kurang mampu ada juga yang tidak tercover pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah yang memberi bantuan. Kalau meniru cara Jawa Barat dengan membebaskan pajak, maka PAD akan turun, tentu layanan juga potensi turun," tambahnya.
Bahkan, Dosen Fakultas Ekonomi Unair ini menyebut kebijakan penghapusan pajak dan sebagainya sebenarnya tidak berpengaruh signifikan. Ia kemudian mengungkit soal kebijakan pemerintah pusat terkait tax amnesty.
"Efektifitas dari kebijakan itu tidak berdampak besar sekali. Banyak studi pembebasan tarif pajak malah tidak membuat orang menjadi patuh terhadap pembayaran pajak. Jadi jika alasannya untuk patuh pajak terus menghapus semua tunggakan pajaknya selama bertahun-tahun saya kira kurang tepat. Kita punya pengalaman soal tax amnesty, itu tingkat rasio pendapatannya kan masih sama saja," bebernya.
Gigih mengatakan kebijakan menghapus tunggakan pajak bisa menjadi bumerang dan kecemburuan sosial. Sebab, orang yang taat pajak akan dirugikan dengan kebijakan tersebut.
"Jadi belum tentu memancing orang bayar, yang ada malah mengentengkan nanti. Paling rasional saya kira ya kebijakan yang dilakukan Jatim karena menghapus denda, itu yang lebih membuat orang mau bayar karena dendanya sudah dihapus jika yang bersangkutan menunggak pajak bertahun-tahun. Lihat saja nanti angkanya Jabar berapa, kalau kita lihat histori kebijakan Pemprov Jatim setiap penghapusan denda, justru efektif setiap program itu ada masuk ratusan miliar sampai bahkan triliunan," bebernya.
"Kalau dilepas kayak Jawa Barat malah tidak baik. Toh nyatanya DKI Jakarta juga masih ragu melakukan kebijakan itu. Ketika kita membebaskan pajak, itu malah tidak mendidik atau tidak efektif. Kemudian itu juga tidak adil bagi mereka yang patuh pajak. Dan tentu dampaknya bisa mengurangi layanan ke masyarakat. Jangan karena ingin naik popularitas tapi tidak menghitung dampak kebijakan dan membuat sebuah kebijakan publik yang buruk," tandasnya.
(hil/iwd)