Buruh di Jatim Tolak Tapera karena Bebani Pekerja

Buruh di Jatim Tolak Tapera karena Bebani Pekerja

Praditya Fauzi Rahman - detikJatim
Kamis, 30 Mei 2024 20:51 WIB
KPR-Tapera
Istimewa (Foto: Dok KPR-Tapera)
Surabaya -

Buruh di Jatim menolak program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Mereka menganggap Tapera tidak akan memberikan manfaat bagi pekerja dan hanya akan membebani.

Sekretaris Konferensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jatim Jazuli mengaku para buruh tidak setuju dengan program itu. Menurutnya, skema pembayaran 2,5% pada buruh dinilai memberatkan.

"Skema pembayarannya yang tidak setuju. Harusnya pemerintah juga mempertimbangkan pembiayaan dibebankan kepada buruh, apalagi dengan kondisi upah. Itu harusnya menjadi tanggung jawab perusahaan. Seperti JHT, jaminan kesehatan, dan lain sebagainya," ujar Jazuli kepada detikJatim, Kamis (31/5/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jazuli menyatakan bahwa upah para buruh sudah sangat kecil. Bahkan apabila direalisasikan dia khawatir potongan 2,5% itu tidak masuk dalam komponen UMK.

"Bayangkan, 4 tahun terakhir kita mendapat upah yang sangat kecil dan kenaikan hanya sekitar 2,5%. Nah kalau upah Rp 2 juta lalu dipotong lagi, maka kesejahteraan buruh semakin habis. Buruh tidak ada yang setuju. Tetapi kalau Tapera disediakan rumah lebih dulu, pemerintah juga ikut iuran, serta pengusaha juga iuran, maka kami setuju," katanya.

ADVERTISEMENT

Jazuli menilai potongan 2,5% dengan gaji buruh yang sekarang tidak akan cukup untuk membeli rumah. Apalagi, kata dia, nominal cicilan rumah terus meningkat.

"Hari ini kondisi ketenagakerjaan itu buruh yang bekerja kontrak serta harian lepas itu jauh lebih banyak dan besar jumlahnya daripada pekerja tetap. nah kalau pekerja-pekerja kontrak dan harian lepas Lalu bagaimana bisa menikmati tapera itu, apalagi pengangguran juga semakin banyak, apa bisa menikmati tapera itu. Lagian apa ya ada rumah Rp 100 juta di 20 tahun yang akan datang?" ujarnya.

Dia merasa banyak yang tidak jelas dengan program Tapera yang akan diterapkan. Menurutnya pemerintah hanya ingin mengambil uang dari rakyat saja melalui program Tapera ini.

"Ini (potongan 2,5% Tapera) mengesankan pemerintah itu hanya mencari duit saja dari pekerja tanpa memperhatikan kondisi kita. Masak kenaikannya upah per bulan sampai Rp 50.000 saja. Lalu kita harus numpuk dengan itu ya tidak logis, kan. Memberatkan bagi kita," paparnya.

Wakil Sekretaris DPW FSPMI Provinsi Jatim Nuruddin Hidayat juga menyampaikan bahwa kebijakan Tapera hanya akan membebani buruh. Menurutnya, format Tapera yang berupa tabungan sangat tidak masuk akal.

"Tapera ini di dalam aturan kok sifatnya komersial ya? Bentuknya tabungan dan secara otomatis tidak masuk akal. Karena potongan 2,5% buruh dan 0,5% pengusaha. Tentu untuk buruh potongan segitu sangat memberatkan untuk saat ini," katanya.

Di sisi lain, Nurrudin menilai kenaikan upah pasca adanya UU Omnibus Law tidak begitu signifikan kenaikannya. Menurutnya, secara matematis perhitungannya juga tidak sesuai.

"Katakanlah upah buruh Rp 3.5 per bulan, lalu dipotong 3% kurang lebih sekitar Rp 105 ribu, nah per tahunnya Rp 1.260.000. Jika memasuki sampai masa pensiun, hanya didapat uang Rp 25.200.000. Nah apakah bisa uang itu untuk membeli rumah saat ini?," tanya dia.

Dia memberikan saran perbaikan kepada pemerintah agar Tapera tidak berbentuk tabungan komersil. Kepastian buruh mengikuti program perumahan ini akan mendapatkan rumah dengan DP Rp 0 dan bunga cicilannya 0%. Artinya, lanjut dia, harus ada intervensi dari pemerintah.

"Bahasanya buruh ini membutuhkan rumah, cuma kalau iurannya dibebankan ke buruh ya memberatkan. Secara akal sehat, itung-itungan matematis anggap saja sampai 30 tahun, maka hasil tabungannya itu tidak cukup untuk membeli rumah," terangnya.

Ia menyebut ada 2 solusi yang bisa dilakukan pemerintah. Yakni mengintervensi harga rumah agar dapat dijangkau oleh buruh dari tabungan Tapera itu. Kedua, tingkatkan pendapatan buruh.

Nuruddin juga menyampaikan kebijakan pemerintah mewajibkan semua buruh mengikuti Tapera. Sebab, ada yang telah kredit rumah, punya warisan rumah, hingga telah membeli rumah.

"Jangan di 'gebyak uyah' semua buruh harus ikut program Tapera, karena ada juga buruh yang sudah mendapat rumah misalnya seperti membeli sendiri atau mendapat warisan. Nah itu kan tidak wajib ikut program Tapera," tutupnya.




(dpe/iwd)


Hide Ads