Pengamat Ekonomi Unair Nilai Kenaikan BBM Tak Bisa Dihindari

Pengamat Ekonomi Unair Nilai Kenaikan BBM Tak Bisa Dihindari

Praditya Fauzi Rahman - detikJatim
Senin, 05 Sep 2022 06:43 WIB
spbu di diponegoro surabaya
SPBU di Surabaya (Foto: Praditya Fauzi Rahman/detikJatim)
Surabaya -

Beragam polemik, pro kontra, hingga argumen turut mewarnai kenaikan harga BBM di Indonesia. Namun di balik itu semua, pengamat ekonomi Unair menilai langkah yang dilakukan pemerintah sudah tepat.

Pengamat Ekonomi asal Unair Surabaya, Dr. Wisnu Wibowo menilai, langkah pemerintah dalam menaikkan harga BBM memang menjadi satu pilihan yang tidak bisa dihindari. Sebab, salah satu pemicu kenaikan BBM adalah kenaikan harga minyak bumi di pasar dunia.

Wisnu mengatakan, hal ini sudah berlangsung beberapa bulan lalu. Pemerintah juga sudah mencoba untuk melakukan proses adjusment. Namun, meski harga minyak dunia sudah cenderung menurun, tapi masih jauh di atas asumsi APBN yang kala itu berkisar 54 sampai 60 US$ per barel.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sekarang, kemudian dampak APBN-nya semakin lama menjadi semakin besar ya, bahkan sudah tembus Rp 502 triliun untuk subsidi. Karena, memang dari sisi kuota untuk BBM yang bersubsidi itu juga membengkak, mau tidak mau maka kemudian penyesuaian untuk harga BBM harus dilakukan," kata Wisnu saat dikonfirmasi detikJatim, Minggu (4/9/2022).

Dosen Makroekonomi dan Ekonomi Moneter itu menjelaskan, dalam titik ini, pemerintah harus membuka ruang diskusi secara terbuka kepada masyarakat. Terutama, terkait situasi fiskal yang dihadapi pemerintah dengan tujuan tetap menjaga suistanability dalam kesinambungan fiskal.

ADVERTISEMENT

Lalu, soal dampak yang ditimbulkan, Wisnu menyebut ada memberikan dampak jangka pendek dari kenaikan harga BBM. Ada yang bersifat langsung dan tidak langsung.

"Karena, memang BBM ini selain dikonsumsi langsung oleh masyarakat menengah ke bawah, juga menjadi salah satu input bagi salah berbagai sektor, baik industri maupun jasa transportasi," ujarnya.

Selain itu, Wisnu menegaskan, kenaikan BBM juga berdampak pada inflasi. Ia menganggap, naiknya harga pertalite dan pertamax di Indonesia, berpotensi meningkatkan inflasi di kisaran 2%.

"Padahal, kalau terjadi kenaikan inflasi 1%, itu bisa berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,21%, dengan demikian kalau misalnya inflasi ini berdampak pada kisaran 2%, baik dari efek langsung atau tidak langsung, maka nanti pertumbuhan ekonomi juga akan mengalami kontraksi 0,5% dari seharusnya," tuturnya.

Oleh karena itu, Wisnu menekankan agar pemerintah bisa melakukan edukasi kepada masyarakat. Menurutnya, kebijakan itu adalah alternatif terakhir bagi pemerintah selain demi pertumbuhan ekonomi.

"Tentu saja, inflasi ini kan berpotensi meningkatkan beban biaya hidup masyarakat, yang kita khawatirkan kelompok rentan yang miskin ya, mereka yang diduga banyak mengonsumsi BBM pertalite, dia yang memiliki gaji yang sedikit atau di kisaran UMR," katanya.

"Karena, adanya kenaikan harga ini, maka biaya hidup akan semakin meningkat, ongkos transportasi juga meningkat, itu bisa berpotensi berdampak pada mereka yang rentan miskin itu menjadi miskin," sambung Wisnu.

Selain pertumbuhan ekonomi yang akan turun di 0,4 sampai 0,5% dari yang seharusnya, Wisnu menilai hal tersebut juga bisa meningkatkan angka kemiskinan. Belum lagi dampaknya pada sektor industri manufaktur yang memiliki ketergantungan cukup tinggi terhadap minyak bumi ini.

"Misalnya, industri semen, barang refactory 16%, hingga kapur 19%, serat 4%, ada juga sektor industri yang memiliki komponen biaya minyak bumi, misalnya untuk reproduksi media rekaman 17%, kemudian generator uap 8,48%, semen kapur dan gips 6,42%, lalu juga ada reparasi produk logam fabrigasi 6,13%," ujar dia.

Artinya, kenaikan biaya produksi akan ditanggung oleh sektor manufaktur yang ada. Apabila sektor industri manufaktur akan dibebani biaya yang cukup tinggi, maka langkah penyesuaiannya ada 2 kemungkinan.

Pertama, dibebankan kepada konsumen. Menurutnya, dalam hal ini konsumen sudah menerima dampak dari harga BBM. Baik secara langsung dan tidak langsung.

"Karena, itu akan berpengaruh pada komponen transportasi untuk kebutuhan konsumsi masyarakat. Nah kalau itu terjadi dampak dari konsumen akan double," tutur dia.

Lalu yang kedua, terjadi pengurangan kapasitas produksi. Mengingat, industri di Indonesia belum sepenuhnya kuat. Artinya, akan berdampak pada PHK.

Nah, ini yang kita takutkan, itu adalah dampak jangka pendeknya, karena memang potensi permasalahan itu cukup sensitif dari adanya penyesuaian," ungkapnya.

Maka dari itu, Wisnu berharap pemerintah harus melakukan upaya edukasi secara menyeluruh kepada masyarakat. Khususnya, kelompok masyarakat yang benar-benar terdampak.

Ia ingin, pemerintah menerangkan secara gamblang dan detail bahwa pilihan menaikkan harga BBM telah melalui proses dan upaya untuk penyesuaian sekian bulan sebelumnya untuk tidak menaikkan. Namun, tidak bisa lebih lama lagi menanggung beban subsidi yang membengkak dari APBN daripada semakin berdarah-darah.

Bahkan, pemerintah dalam hal ini, lanjut Wisnu, juga harus menjelaskan bila kenaikan BBM akan mengurangi kemampuan pemerintah dalam mendorong akselerasi untuk pemulihan ekonomi. Tak ayal, penyesuaian ini jadi 1 pilihan yang tidak bisa dihindarkan.

Lalu, pemerintah juga diminta harus segera mengkompensasi dampak kenaikan harga BBM terhadap biaya hidup, salah satunya dengan penyaluran subsidi langsung kepada masyarakat.

"Jadi, memang ini salah satunya bisa menjadi momentum dalam melakukan realokasi atau refocusing dalam penyaluran subsidi langsung kepada masyarakat, karena kalau subsidi komoditas itu kan siapa penerimanya tidak bisa dikendalikan karena kita belum punya sistem data yang terintegrasi untuk bisa membedakan data mana yang boleh mengakses," kata dia.

Wisnu menyatakan, hal itu harus segera dilakukan dan tidak boleh terlambat. Ia khawatir, dampak jangka pendek itu bila tidak dikelola akan mempengaruhi ekspektasi dan optimisme terhadap perekonomian ke depan.

Halaman 2 dari 2
(hil/fat)


Hide Ads